Mendengar kata hustle culture di kota urban pasti sudah bukan hal yang aneh lagi. Secara sederhana, hustle culture bisa dijelaskan sebagai sebuah gaya hidup yang tak kenal lelah dan mendorong masyarakat untuk produktif di mana saja kapan saja. Belakangan, topik tentang hustle culture sering menjadi perbincangan melihat adanya tuntutan di masyarakat untuk berkompetisi jadi lebih produktif. Entah karena takut tergilas atau sekadar tidak mau ketinggalan momen, banyak dari kita yang bahkan rela mengorbankan waktu di akhir pekan untuk tetap produktif.
Menurut beberapa studi, hustle culture pertama kali ditemukan pada tahun 1971 dan menyebar dengan sangat cepat terutama di kalangan milenial. Gaya hidup “gila kerja” ini dari masa ke masa pun membentuk definisi baru tentang kesuksesan yaitu bekerja tanpa henti demi tujuan profesional. Padahal, menurut jurnal ilmiah yang berjudul Occupational Medicine, mereka yang bekerja lebih panjang dapat berpotensi mengalami gangguan kecemasan, gangguan tidur, hingga depresi. Tidak peduli berapapun usianya, mereka berisiko untuk menjangkit penyakit mental tersebut. Bahkan di Indonesia terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa 1 dari 3 orang pekerja mengalami gangguan kesehatan mental karena menerapkan gaya hidup “gila kerja”.
Mereka yang bekerja lebih panjang dapat berpotensi mengalami gangguan kecemasan, gangguan tidur, hingga depresi
Kota-kota besar seperti Jakarta dan New York seringkali dijuluki sebagai kota yang tak pernah tidur. Mungkin ini bukan tanpa alasan. Mungkin ini menjadi representasi bagi masyarakatnya yang dalam arti harfiah tak pernah tidur. Setiap hari kita berupaya untuk terus “tancap gas” agar dapat melaju kencang kejar target yang diharapkan. Tidak jarang saat sedang melaju kencang kita lupa untuk menikmati hari ini dan lupa untuk mencintai diri sendiri. Produktivitas yang sekuat tenaga dipertahankan siang-malam dengan alasan mencapai kesuksesan justru bisa berbalik menjadi kegagalan kalau kita tidak menjaga kesadaran.
Jadi, kalau bisa dipikirkan kembali, apa sebenarnya alasan kita bekerja tak kenal waktu selama ini? Sebagian dari kita mungkin akan menjawab ingin cepat-cepat punya uang banyak supaya bisa sering berlibur dan melarikan diri dari hiruk-pikuk kota. Ada pula yang mungkin merasa khawatir tertinggal dari orang lain yang terlihat lebih produktif, sudah punya bisnis sendiri di usia muda atau terdaftar dalam "30 under 30". Seakan-akan kalau tidak tidak terlihat produktif, tidak punya perusahaan rintisan yang ditulis dalam bio akun Instagram, berarti kurang berprestasi, kurang sukses. Kalau tidak unggah foto sedang bekerja atau ikut lokakarya di akhir pekan berarti kurang produktif. Padahal kalau tidak punya semua itu bukan berarti tidak sukses, bukan? Dan padahal kalau akhir pekan digunakan untuk beristirahat, kita juga tidak akan rugi.
Sayangnya, masyarakat yang sudah akrab dengan gaya hidup “gila kerja” ini justru seringkali diliputi rasa bersalah kalau tidak mengisi setiap hari dengan kegiatan yang produktif. Rasanya kalau tidak buka surel di akhir pekan untuk cek pekerjaan jadi dosa besar. Kenyataannya, dua hari dalam seminggu didedikasikan sebagai hari libur untuk menjaga keseimbangan hidup kita. Sebab hidup tidaklah hanya untuk berkegiatan produktif saja. Sesekali, kita butuh tidak produktif untuk melemaskan segala saraf-saraf yang menegang karena banyak berpikir. Terlebih lagi, hidup itu sebenarnya adalah sebuah perjalanan. Bukan pelarian.
Sayangnya, masyarakat yang sudah akrab dengan gaya hidup “gila kerja” ini justru seringkali diliputi rasa bersalah kalau tidak mengisi setiap hari dengan kegiatan yang produktif.
Pertanyaannya kini, sampai kapan kita ingin terus berlari? Tidakkah kita lelah berada dalam jalur balap lari sprint?
Hidup itu sebenarnya adalah sebuah perjalanan. Bukan pelarian.
Kenyataannya, hidup itu ibarat berlari maraton. Kita harus menata energi dan kecepatan agar tidak kehabisan tenaga di tengah jalan sehingga dapat sampai di garis akhir yang jaraknya jauh. Kalau sekarang kita pertaruhkan semua demi produktivitas, langkah maju tancap gas tanpa mengenal proses sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, bisa-bisa masa depan yang sudah direncanakan justru berantakan. Bagaimana kalau tiba-tiba di tengah jalan mencapai cita-cita kita justru kelelahan dan tidak lagi kuat menahan segala tekanan yang sudah lama dipendam? Yang ada bukannya mencapai impian justru terhempas ke belakang yang bukannya tidak mungkin justru membuat kita memulai kembali dari nol.
Menjaga produktivitas, pada dasarnya, bukan sebuah larangan. Asalkan kita tahu kapan harus menyisihkan waktu untuk jeda, kapan maju kembali. Kita harus tahu cara yang efektif untuk menemukan titik keseimbangan diri sebab keseimbangan itulah sebenarnya yang dapat membantu kita untuk tetap berkesadaran dalam menjaga kesehatan fisik dan mental. Jika fisik atau mental kita mengalami gangguan, sudah pasti produktivitas kita juga akan terhambat, bukan? Yang ada kita justru harus merelakan waktu lebih dari dua hari seminggu untuk mendapatkan kembali kesehatan jiwa raga agar dapat kembali melangkah maju.
Jadi, lanjutkan perjalananmu, bukan pelarianmu.
Referensi:
https://fk.unair.ac.id/mengenal-hustle-culture-budaya-gila-kerja-generasi-muda/