Anda pasti sering melihat orang yang sedang mengantre di kedai kopi di lobi gedung kantor sambil menelpon membahas mengenai bisnis atau pekerjaan. Tanpa peduli sekitarnya, ia mengambil latte pesanan sambil berlalu – tetap dengan ponsel di telinganya. Atau Anda mungkin mengenal orang yang hari-harinya dihabiskan dalam berbagai rapat mulai dari pagi hingga malam. Atau yang satu ini, orang yang setiap hari waktunya dipenuhi jadwal sosialisasi; mulai dari arisan, acara peluncuran koleksi baru di butik fesyen mewah, lelang lukisan, sampai pesta-pesta lainnya. Atau jangan-jangan Anda salah satu di antaranya?
Kehidupan metropolitan terkadang memberikan tekanan yang begitu besar bagi setiap penghuninya. Dalam pekerjaan, setiap orang seakan harus mendorong kemampuan dirinya habis-habisan agar bisa naik jabatan atau lebih cepat kaya. Dalam pergaulan, setiap orang seakan harus selalu tampil ‘wah’ dan menunjukkan eksistensinya dengan menyetor muka di setiap pagelaran.
Ada sesuatu dalam kesibukan yang menjadikan kita seakan punya nilai lebih. Apalagi dalam masyarakat yang menjunjung tinggi produktivitas seperti di kota-kota besar. Orang-orang seperti kisah di atas menjadi prototipe masyarakat urban – penuh aktivitas sehingga terlihat keren. Semakin sibuk, semakin hebat. Sementara mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu bersantai justru dicibir, dilabeli ‘pengangguran’ atau ‘pemalas, dan stigma lainnya.
Padahal, apa salahnya menjalani hari dengan lebih santai?
Di mata masyarakat, menjadi seseorang yang sibuk sama artinya dengan meniti jalan menuju kesuksesan. Namun sesungguhnya kita masih bisa menjadi sukses tanpa harus hidup tergesa-gesa, kok. Menyederhanakan hidup serta menjalaninya dengan santai bukan berarti kita malas. Hanya saja dengan lebih santai artinya kita memilih untuk fokus pada satu hal tertentu yang lebih penting bagi dalam hidup – yang merupakan definisi sukses bagi diri kita sendiri.
Menjalani hidup dengan santai, atau yang kini kerap dikenal dengan istilah slow living, bukan berarti Anda harus berhenti dari pekerjaan atau menutup bisnis lalu pindah ke pelosok Bali atau Jogja yang sepi untuk mencari ketenangan. Slow living adalah tentang fokus, menikmati setiap waktu yang terlewati dalam hidup, dan merasakan momen-momen yang tercipta. Sesederhana, duduk dan benar-benar menikmati kopi dibandingkan harus mengambil kopi dalam gelas to-go untuk diminum terburu-buru sambil mengejar jadwal rapat.
Karena memang yang namanya hidup harusnya dilakukan dengan kecepatan perlahan, persis seperti sedang berjalan dan bukan berlari. Namanya saja ‘menjalani hidup’… bukan ‘melarikan hidup’.