Self Lifehacks

Dunia Maya vs Dunia Nyata

Greatmind x Wealth Wisdom 2019

@permatabank

Advertorial

Fotografi Oleh: Noah Buscher (Unsplash)

Beberapa tahun belakangan masyarakat urban pasti semakin sadar betapa hampa hidup tanpa smartphone. Bahkan ada yang lebih rela dompet tertinggal di rumah ketimbang smartphone. Seakan-akan hidup tanpanya seperti hidup tanpa jiwa. Tiap hari kita tenggelam dalam lautan konten media sosial. Entah di antrean kantin, bank, atau bahkan dibawa hingga ke kamar mandi demi mengisi waktu-waktu senggang. Tiap hari, layaknya detektif kita memantau kehidupan orang asing yang tampil di explore Instagram atau menyaksikan deretan aktivitas mereka yang kita ikuti. Tak jarang tertawa sendiri, memicingkan mata hingga marah-marah pun seringkali menjadi reaksi sesudah mengkonsumsi konten-konten di dunia maya tersebut.

Kemudian seakan tidak mau ketinggalan kita pun mulai melakukan kurasi pada foto-foto yang ada di galeri ponsel. Memulasnya dengan berbagai aplikasi fotografi bahkan tak jarang memberikan berbagai macam filter sampai sosok asli tak lagi terlihat sama. Semua demi mendapatkan tanda hati, jempol atau pesan akun media sosial kita. Tidak lupa dengan rentetan kata-kata di bagian caption yang belum tentu sesuai dengan gambar yang dipublikasikan. Terkadang berbentuk puisi, terkadang sekadar barisan emoji. Banyak juga dari kita yang berlomba-lomba menuliskan curahan hati baik kala sedih, kecewa, atau senang. Bisa dari pengalaman tidak menyenangkan di sebuah restoran sampai kepuasan menggunakan jasa kecantikan di sebuah salon. Seolah-olah kita tidak lagi memikirkan privasi. Tidak masalah mengumbar jati diri ada orang lain, orang yang bahkan tidak mengenal kita sama sekali.

Kita pun mulai melakukan kurasi pada foto-foto yang ada di galeri. Memulasnya bahkan tak jarang memberikan berbagai filter sampai sosok asli tak lagi terlihat sama. Semua demi mendapatkan tanda hati, jempol atau pesan di akun media sosial kita.

Ya, hidup di era modern memang penuh dengan jebakan yang tidak kita sadari. Hari demi hari kita lewati dengan berjalan dalam bayangan dunia maya. Tiada hari tanpa mengabari para followers di mana kita menghabiskan makan siang atau apa yang sedang kita kenakan ke kantor hari ini dengan tagar #ootd (outfit of the day). Kita bahkan rela menghabiskan uang demi kepentingan konten. Makan di restoran mewah, memegang gelas dengan merek kopi ternama, hingga berfoto dengan baju desainer yang harganya separuh gaji. Kita rela kelaparan hanya untuk mengambil gambar makanan yang ada di atas meja. Tata letak dan sisi estetisnya harus sempurna. Kalau tidak belum boleh disentuh sama sekali.

Kita rela kelaparan hanya untuk mengambil gambar makanan yang ada di atas meja.

Kalau boleh ditanyakan kembali ke diri sendiri, semua itu untuk apa? Apakah kita bercita-cita untuk menjadi seorang influencer? Atau sebenarnya kita menjajal menjadi seorang social climber di mana kita bersusah payah untuk memperlihatkan pada orang lain bahwa kehidupan kita lebih baik? Apa tujuan yang sesungguhnya di balik foto-foto dan kata-kata mutiara yang kita biarkan wira-wiri di linimasa orang banyak? Apakah kita membutuhkan validasi mereka akan eksistensi diri? Atau benar-benar sekadar iseng dan mengisi waktu luang? Lalu mengapa kita terlalu peduli dengan seberapa banyak orang yang menekan tombol hati itu? Sampai-sampai setelah posting tidak berhenti kita buka tutup aplikasi medsos. Mengapa kita bahkan tidak menghiraukan orang-orang di sekeliling dan justru memilih memberikan komentar atau berbalas pesan dengan mereka yang ada di dunia maya?

Apa tujuan yang sesungguhnya di balik foto dan kata mutiara yang kita biarkan wira-wiri di linimasa? Apakah kita membutuhkan validasi mereka akan eksistensi diri? Atau benar-benar sekadar iseng dan mengisi waktu luang?

Jika kita memberikan waktu sebentar untuk meresapi pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya kita mulai menyadari betapa besar efek negatif media sosial dalam hidup kita kini. Lama-kelamaan kita menjadi orang yang aktif secara sosial di dunia maya namun pasif di dunia nyata. Dan benar yang banyak dibilang orang: dunia maya itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Kita lupa untuk menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tinggal serumah dan justru lebih senang bertegur sapa dengan akun-akun yang bahkan tidak menggunakan nama asli mereka. Kita membangun karakter “palsu” demi mendapatkan sebuah pengakuan di dunia maya. Aslinya tidak suka menggunakan sepatu hak tinggi, demi terlihat cantik di foto kita mau-mau saja mondar-mandir di tengah penyeberangan jalan untuk foto kekinian. Aslinya tidak suka makanan kebaratan tapi untuk mendapatkan label “keren” kita tidak enggan menggesek kartu kredit untuk menikmati hidangan resto bintang lima.

Coba tanyakan kembali apakah betul pengalaman-pengalaman tersebut kebahagiaan untuk kita? Pengalaman mendapatkan puluhan pesan, ratusan likes, hingga ribuan followers membuat kita merasakan kepuasan batin? Bukannya sedikit riset yang menunjukkan betapa seseorang dapat mengalami stres berat akibat terlalu banyak mengkonsumsi media sosial. Faktanya melihat ribuan konten orang-orang dengan tujuan untuk mendapatkan validasi dari orang lain hanya akan membuat kita mengembangkan rasa iri. Kemudian perasaan tersebut akan berkembang menjadi kompetisi di mana kita selalu tidak mau kalah dengan orang lain. Tentu saja ini tidak akan baik untuk mental kita, kan?

Melihat ribuan konten orang-orang dengan tujuan untuk mendapatkan validasi dari orang lain hanya akan membuat kita mengembangkan rasa iri.

Setelah merefleksikan kembali semua aktivitas dunia maya kita seharusnya kini kita bisa lebih bijaksana untuk menggunakan akun-akun tersebut. Mendefinisikan kebahagiaan diri dengan hal-hal yang riil. Hal-hal positif yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Hakikatnya, detoksifikasi media sosial sangat penting kita lakukan secara rutin. Misalnya seminggu sekali sama sekali tidak membuka media sosial dan mengganti hari tersebut dengan mengajak orang tua pergi makan di luar bersama. Atau jika ingin lebih aktif lagi secara sosial jadilah sukarelawan di hari-hari detoks media sosial. Buatlah kebahagiaan yang konkret di dunia nyata.

Definisikan kebahagiaan diri dengan hal-hal yang riil; hal-hal positif yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024