Dear aku yang dulu,
Tentu kamu pernah dengar kalau angka tiga belas acap kali disematkan sebagai pembawa sial. Tapi semenjak menjajaki hidup di dunia ini, ada lagi angka yang menurutku juga dihujani kemalangan. Cerita kali ini, biarlah dia yang berbicara.
Kenalkan, saya tiga puluh.
Cukup banyak orang, seperti kamu di masa depan, mau tidak mau akan menemui masalah saat berpapasan denganku. Memang tidak dalam semua konteks aku menjadi kenahasan, karena aku tidak seternar sepupu-sepupuku si tiga belas atau si angka empat. Mungkin dulu aku tidak begitu menjadi momok. Melainkan, istilah ‘lanjut usia’ yang kerap dielakkan. Tapi zaman berubah, dan dalam konteks umur, sekarang aku cukup ditakuti. Stigma yang lekat di lingkunganmu menjadikan aku seperti hantu di setiap keputusan besar nantinya.
“Cepat menikah sebelum umur 30”
“Ayo punya anak, kamu sudah hampir 30”
“Sudah 30 baru mau sekolah lagi?”
“Mau coba kerjaan baru? Kamu kan sudah 30 lebih?”
Karena aku diizinkan bercerita, maka aku ingin protes. Apa salahku? Apakah aku seperti expiration date layaknya susu segar? Namaku dibawa-bawa sebagai alasan untuk mempercepat segala aktivitas hingga semua orang terbirit-birit. Ibarat hidup mereka akan berhenti saat bertemu denganku. Baru juga tiga puluh. Bagaimana dengan empat puluh, lima puluh, enam puluh? Jika angka harapan hidup rata-rata melebihi tujuh puluh, lalu apa yang akan dikejar selama setengah lebih umurmu?
Aku tidak tahu apakah mereka sadar dengan opini yang dibentuk secara massal ini merupakan prasangka yang dinormalisasi. Penolakan dan pembedaan terhadap umur-umur tertentu kurang mendapat sorotan seperti tindakan yang bersifat rasis dan seksis. Betapa normalnya untukmu nanti menerima perkataan seperti: “Menari? Umurmu sudah di pertengahan tiga puluhan, menari itu kan untuk anak-anak,” atau“Sekolah lagi di umur ini? Memangnya otaknya masih bisa lancar dipakai untuk belajar yang susah-susah?” dan bahkan “Sebenarnya kami mencari karyawan yang masih di usia youth, dan lagi kalau Mbak kan sudah ada tanggungan. Nanti takutnya susah kalau ada tantangan pekerjaan yang cukup berat.” Sedihnya, pertanyaan-pertanyaan ini bukan fiksi. Pertanyaan seperti ini hadir akibat opini publik yang banyak membentuk orang-orang di usia yang jauh lebih dewasa sebagai persona yang rapuh, menjadi beban, sarat tanggungan dan butuh tempat bergantung.
Membuka lembaran baru merupakan sesuatu yang menggairahkan saat bertemu adik-adikku si belasan dan dua puluhan. Tetapi seperti yang kamu alami, mulai melewatiku, lembaran baru membawa bersamanya pikulan yang sangat berat. Secara internal, maupun dorongan dari luar. Prasangka ini berdampak bagiku, tapi akan lebih berat lagi untuk kakak puluhanku yang angkanya paling besar. Tapi ini juga menjadi tanggung jawabku dan adik-adikku untuk menciptakan dunia yang bebas dari prasangka pada saat aku menemui angka tersebut nantinya. Seperti saat ini di usia yang terbilang muda, bukankah kita semua ingin merasa berdaya dan bermakna di umur berapa pun?
Pertemuanku denganmu memang sudah lewat, tetapi bukan sesuatu yang mudah. Penantian sekaligus penyangkalan berbuah kemerosotan pada kesehatan fisik dan mentalmu. Tapi setelah pertemuan kita, aku senang bisa membuka mata dan menjadi titik balik untukmu akhirnya memutuskan berani melawan stagnansi. Menemuiku, dan kakak-kakak puluhanku nanti bukan hukum alam yang dapat dihindari. Meskipun masih banyak produk konsumeris yang ingin melawan fakta itu, tapi aku cukup senang dengan mulai adanya perbincangan mengenai pertemuan denganku dan teman-teman puluhanku. Meskipun bisa dihitung jari, tetapi sudah mulai muncul pergeseran makna dari ‘hidup hanya sekali’.
Mungkin hari ini penuh ambisi, mungkin besok saatnya rehat dan berhenti.
Mungkin hari ini gagal, mungkin besok coba lagi.
Mungkin besok belum siap, mungkin sepuluh tahun lagi.
Kamu menemukan bahwa hidup itu tidak hanya sekali, hidup itu setiap hari.
Karena bila dikaruniai hidup hingga seratus tahun, maka seratus tahunlah kita harus ‘hidup’.
Sebelumnya diunggah pada 10 Agustus 2019