Hal apa yang paling kamu sesali?
Siapa di dunia ini yang tidak pernah menyesal terhadap sesuatu? Memang, jika ditanya apakah ada sesuatu di masa lampau yang mereka ingin ubah, maka banyak yang akan menjawab ‘tidak’. Akupun begitu. Tapi sejujurnya, jawabanku itu hanya jawaban demokratis karena aku melindungi apa yang aku miliki sekarang, meski tidak sempurna. Tapi bila pertanyaan itu datang dengan kondisi bahwa tidak ada hal berharga yang berubah pada masa kini, atau bahkan seperti teori fiksi ilmiah bahwa melompat ke masa lalu tidak semerta-merta mengubah keadaan saat ini karena lapisan waktu hidup kita bergerak secara paralel, maka aku akan menjawab…
Tentu ada.
Banyak, bahkan.
Penyesalan tidak kenal usia. Kamu juga pasti sudah pernah mengalaminya. Dari masa kecil sesederhana kamu menyesal sudah makan banyak sebelum berangkat ke acara keluarga di rumah Oma karena ternyata ada bakso kuah favoritmu, hingga saat kamu memberanikan diri untuk mengambil langkah nekat yang ternyata mengorbankan beasiswa yang lama diidam-idamkan. Penyesalan datang dalam berbagai bentuk. Kecil, besar, sebentar, lama, bisa ataupun tidak bisa dibayar. Saat merasa bersalah karena lebih memilih pergi bersama teman dibandingkan keluarga, kita bisa menjanjikan kepada mereka pergi di waktu yang lain. Tapi untuk sebagian besar penyesalan yang menyangkut hal-hal di mana kita tidak bertindak, bagaimana dengan kasus seperti dia yang sekarang menikah dengan orang lain karena kita yang tidak pernah berani menyatakan perasaan, atau seperti kesempatan berpetualang sekali seumur hidup namun kita urung diri untuk mencoba?
Berbeda dengan perasaan bersalah yang mungkin bisa dibayar, ada rasa kehilangan besar yang ditinggalkan oleh penyesalan akibat kita tidak bertindak apa-apa. Ingat saat kamu pertama mengalaminya? Dan saat kekosongan ini kamu bawa bertahun-tahun, ingat apa kata orang-orang saat kamu menceritakan penyesalanmu ini? Yang paling sering?
Coba belajar memaafkan diri sendiri.
Aku tahu kamu sudah mencoba melakukannya. Kadang bekerja, tapi juga seringkali kamu terjerumus di posisi yang sama lagi. Akan jauh lebih mudah untuk meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan terhadap orang lain. Penyesalan yang datang akibat tidak bertindak juga tidak bisa kusebut sebagai kesalahan. Lebih tepat jika aku menganggapnya sebagai langkah yang tidak kuambil untuk menjadi ‘aku yang lebih ideal’.
Nampaknya, ‘aku yang lain’ ini terus menghantui, dan ini tidak ada hubungannya dengan memaafkan diri sendiri.
Søren Kierkegaard mengatakan bahwa manusia adalah sintesis dari yang terbatas dan tidak terhingga, yang sementara dan abadi. Sebuah paradoks yang dapat dimengerti bahwa kita adalah makhluk yang merelasikan diri dengan yang sudah lampau dan yang belum terjadi, yang nyata dan yang tidak mungkin. Kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari untuk terus melihat ke belakang dan ke depan, berandai-andai, yang lama kelamaan menjadi sebuah tantangan besar karena melangkah maju dari penyesalan itu dapat menjadikan kita kehilangan keyakinan terhadap diri sendiri.
Penyesalan itu bagian penting dari hidup, sebuah proses yang memanusiakan manusia.
Aku tidak berbicara seperti ini agar kamu tenggelam dalam penyesalan. Tentu, kamu harus melangkah maju. Biarkan penyesalan memelukmu sejenak sampai dia beralih bentuk dan memisahkan diri sebagai hal yang positif. Kierkegaard pernah menuturkan bagaimana saat kita berdoa, sebenarnya kita tidak mengubah pikiran Yang Maha Kuasa, tapi kita melakukannya untuk mengubah diri sendiri. Mungkin dengan menyesal yang sedalam-dalamnya, kamu tidak dapat mengubah kenyataan. Tapi mana tahu, paradoks dalam dirimu mungkin sedang bernegosiasi, mencari jalan tengah, dan berekonsiliasi, agar batinmu kemudian dapat hidup dan terlahir kembali.
Sebelumnya diunggah pada 5 Oktober 2019