Ada cerita yang ingin kubagikan. Tapi cerita ini bukan dongeng, melainkan cerita dari hasil pengamatanku sejauh ini. Cerita ini tentang salah satu sifat kita manusia, yang kadang egoisnya keterlaluan. Tokoh di sini adalah aku sendiri.
Pernah tidak kamu janji dengan siapapun? Aku sering. Janji dalam pekerjaan, aku berusaha tepat waktu untuk datang dan hadir pada pertemuan karena aku pikir penting. Janji dengan teman, aku berusaha juga untuk hadir tepat waktu. Pernah mengingkari sesekali, misalnya hanya karena perubahan mood-ku sendiri. Aku berdalih, "ah, yang penting kebahagiaanku sendiri dulu, baru orang lain". Pembelaan terhadap diri sendiri.
Benar, kebahagiaanku penting. Tapi di sisi lain, aku mengesampingkan temanku yang sudah meluangkan waktunya untuk bertemu denganku. Lalu, aku ditampar oleh karma. Suatu ketika, aku sudah membayangkan akan datang ke pertemuan dengan teman dan makan makanan kesukaan. Lalu tiba-tiba, pagi harinya, aku mendapat kabar ada hal yang lebih penting sehingga temanku tidak bisa menemuiku. Kecewa iya, tapi aku mencoba memahami dan sadar, "mungkin ini yang dirasakan oleh orang lain ketika aku semena-mena membatalkan janji dengan alasan yang dibuat-buat hanya kadang karena mood-ku berubah".
Di lain waktu, aku sudah janjian dengan Ibu yang biasa ke rumah untuk memjiat bahuku yang tegang. Hari itu karena fokus bekerja, aku lupa bahwa jam 19.00 aku sudah janjian dengan si Ibu tukang pijat. Saat sore hari, aku diajak kakakku untuk makan ke luar, aku langsung menyetujuinya. Sekitar pukul 18.00, aku pun mandi. Di saat itu, aku baru ingat bila sudah membuat janji lain sebelumnya. Bergegas, aku pun langsung menghubungi ibu tukang pijat yang rupanya tidak membuka handphone-nya dan langsung menuju rumahku setelah selesai di tempat lain.
"Bu, kita ngurutnya 30 menit cukup? Aku jam 19.30 sudah ada janji dan mau keluar. Tadi sempat hubungi Ibu via chat untuk ubah waktu urutnya jadi besok saja," ujarku saat mendapati si Ibu rupanya sudah berada di depa pintu rumah. Ibu tersebut menyanggupinya dan syukurlah ia selesai tepat waktu sehingga aku bisa makan di luar. Dalam hati, aku yang merasa bersalah.
Dari dua cerita di atas, aku belajar. Kadang kita cukup egois tidak menghargai orang lain karena merasa kita benar, atau kadang kita seenaknya membatalkan janji pertemuan karena merasa di zaman komunikasi yang mudah seperti sekarang. Kadang kita merasa orang lain akan mudah paham dengan keadaan kita tanpa kita peduli dengan keadaan atau perasaannya, padahal tidak selalu demikian. Kita pun kadang lupa bahwa menepati janji adalah tanggung jawab kita juga. Memang, ada hal diluar kendali yang bisa membuat kita membatalkan janji. Akan tetapi, kita juga jangan terlalu egois membatalkan janji hanya karena masalah sepele. Kita tidak pernah tahu, orang yang berusaha menepati janji untuk bertemu dengan kita, misalnya, sudah menolak untuk bertemu siapa, menyiapkan apa, dan lain sebagainya.
Kadang kita merasa orang lain akan mudah paham dengan keadaan kita tanpa kita peduli dengan keadaan atau perasaannya, padahal tidak selalu demikian.
Kita boleh memikirkan dan mengutamakan diri sendiri. Namun, ini bukan alasan yang tepat untuk ingkar dengan sebuah janji pertemuan. Jika kita tidak mampu menepati janji, memberi jawaban 'tidak' di awal akan lebih baik daripada memberikan harapan palsu. Dari sini aku memahami, menepati janji adalah salah satu sikap yang bisa menentukan apakah kita memiliki sifat yang bisa memegang komitmen atau tidak.
Jika kita tidak mampu menepati janji, memberi jawaban 'tidak' di awal akan lebih baik daripada memberikan harapan palsu.