Dari waktu ke waktu, kita pasti pernah mendengar seruan atau dorongan untuk keluar dari zona nyaman. Khususnya dalam konteks pekerjaan, keluar dari zona nyaman seakan menjadi sebuah mandat yang menjanjikan kesuksesan. Namun apakah ini berarti kita harus selalu keluar dari zona nyaman setiap kali sudah menemukan kenyamanan?
Menjadi seseorang yang menginginkan kehidupan nan dinamis, saya adalah salah satu orang yang (bisa dibilang) selalu berada di luar zona nyaman. Ketika berusia lebih muda dari sekarang, saya selalu mencari tantangan dalam berbagai aspek kehidupan. Terutama yang berhubungan dengan karier. Perjalanan keluar dari zona nyaman dimulai ketika hendak masuk universitas. Saya adalah satu-satunya anak lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di satu angkatan yang masuk ke universitas negeri. Memangnya sulit? -Sangat. Kami murid SMK tidak mendapatkan pelajaran yang selayaknya murid SMA karena memang murid SMK dipersiapkan untuk langsung bekerja seusai sekolah. Sedangkan ujian masuk universitas negeri menggunakan materi SMA yang tidak saya pelajari. Akhirnya saya meminjam buku-buku pelajaran SMA dari tingkat satu sampai tiga dan memelajarinya dalam kurun waktu kurang lebih enam bulan untuk mengikuti ujian masuk universitas negeri.
Perjalanan “menantang” diri dan keluar dari zona nyaman terus berlangsung hingga saya lulus dan meniti karier. Bekerja di perusahaan multinasional, tinggal berbeda pulau dengan keluarga tanpa punya kerabat di sana, hingga kemudian melompati satu perusahaan ke perusahaan lainnya karena (secara tidak sadar) tidak mau terlalu nyaman berada di satu tempat. Bahkan saya pernah bekerja dengan penghasilan di bawah penghasilan saya sebelumnya hanya karena keinginan akan sebuah perubahan. Meski kala itu saya harus bergulat dengan beberapa pekerjaan sampingan dalam satu waktu demi bertahan pada pekerjaan tersebut. Akhirnya pada satu masa, saya menyadari lambat laun kebiasaan keluar dari zona nyaman terasa seperti upaya melarikan diri. Selalu keluar dari zona nyaman bisa membuat saya kebingungan yang ternyata upaya tersebut mengaburkan tujuan sebenarnya. Hingga saya melupakan pentingnya konsistensi di pekerjaan yang dilakukan.
Berkata begini, tentu saya tetap bersyukur akan segala upaya keluar dari zona nyaman dan semua eksplorasi diri serta perjalanan menemukan apa yang betul-betul diinginkan dalam hidup. Tanpa adanya upaya tersebut, saya mungkin tidak akan menemukan beragam pintu kesempatan yang menempatkan pada titik sekarang ini. Keluar dari zona nyaman sangatlah penting untuk perkembangan diri asalkan kita tidak melupakan apa tujuan yang ingin dicapai. Jadi keluar dari zona nyaman bukan hanya sekadar untuk berada dalam hidup yang dinamis tapi untuk mendekatkan pada apa yang dicita-citakan. Di sisi lain, kita juga harus tetap tahu apa yang membuat kita nyaman karena pada akhirnya kita tetap butuh stabilitas hidup. Apalagi di masa yang tidak menentu dan tak bisa diprediksi seperti sekarang ini. Kita seolah digiring untuk berada dalam zona nyaman dan teraman.
Seorang motivator, penulis buku “Fearless Living”, dan fear expert Rhonda Britten mengatakan bahwa sebenarnya kita tidak perlu selalu keluar dari zona nyaman tapi memperluas zona nyaman tersebut. Jadi kita bisa mengambil risiko dan menerima tantangan di dalam zona nyaman untuk tetap berkembang. Mengapa? Karena jika kita selalu berupaya untuk keluar dari zona nyaman, mencari sesuatu yang ada di luar diri, lama kelamaan kita akan kelelahan secara mental. Jadi sebenarnya pada satu masa hidup kita justru harus mencari zona nyaman, memperluas cangkupan zona tersebut dan berkembang di dalamnya.
Sebenarnya kita tidak perlu selalu keluar dari zona nyaman tapi memperluas zona nyaman tersebut.
Menemukan zona nyaman yang dapat terus membuat kita berkembang memang membutuhkan waktu dan proses. Pencarian zona nyaman tersebut sebenarnya sejalan dengan pencarian jati diri untuk mengetahui apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup, di aspek atau area mana yang ingin kita investasikan lebih banyak. Menurut saya untuk dapat tetap berkembang di zona nyaman, kuncinya adalah 3K: komitmen, konsistensi, dan kompromi. Pertama tentu kita harus mempertanyakan diri di mana kita ingin berinvestasi apakah itu untuk melakukan kontribusi di masyarakat, menjaga lingkungan, menegakkan hukum, atau berkarya di dunia seni.
Pencarian zona nyaman tersebut sebenarnya sejalan dengan pencarian jati diri untuk mengetahui apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup, di aspek atau area mana yang ingin kita investasikan lebih banyak.
Setelah mengetahuinya, kita perlu berkomitmen untuk tetap berada di area tersebut. Ketika sudah berkomitmen artinya kita perlu konsistensi dalam mengembangkan diri di dalamnya. Sesuatu yang matang butuh konsistensi. Entah itu menjaga lingkungan maupun berkesenian, semua butuh konsistensi untuk mematangkan kemampuan diri hingga akhirnya zona nyaman kita pun turut berkembang. Terakhir adalah kompromi. Saat sudah menemukan satu zona nyaman, kita harus bisa pintar-pintar berkompromi dengan diri sendiri. Ketika sudah mahir dalam zona nyaman itu, berkompromilah dengan diri untuk dapat menciptakan tantangan-tantangan baru di dalamnya. Misalnya jika zona nyaman kamu berkaitan dengan kegiatan sosial. Ciptakan tantangan di dalam kontribusimu seperti memperbanyak jumlah institusi yang ingin dibantu atau melangkah ke organisasi sosial bertaraf internasional. Jadi sebenarnya kamu tetap berada dalam zona nyamanmu, zona yang familiar untuk dirimu sendiri di mana kamu merasa "terancam" dengan sesuatu di luar hidupmu. Namun kamu memperluas zona nyaman itu untuk terus berkembang.