Mimpi harus dihidupi. Namun hidup selalu penuh pilihan dengan berbagai risikonya.
Hanya pemberani dan mereka yang berhati lurus akan teguh bersetia pada mimpi.
Sejak kecil, saya sudah akrab dengan nama Neil Armstrong. Perkenalan dengannya
terjadi lewat buku pelajaran, koran yang dilanggani Ayah, majalah kanak-kanak yang
saya baca. Ekspedisinya menerbangkan pesawat luar angkasa Apollo 11 yang
membuat Neil dan dua koleganya Edwin Aldrin serta Michael Collins menjadi tiga
manusia pertama yang berhasil menyambangi permukaan bulan pada 20 Juli 1969,
sewindu lebih beberapa bulan sebelum saya lahir, begitu memukau imajinasi anak
kecil seperti saya, bahkan hingga sekarang.
Bacaan pula yang membuat saya tahu bahwa Neil dan para koleganya melewati
serangkaian panjang latihan, percobaan dan penugasan berat untuk menjadi
seorang astronot yang dipercaya menerbangkan Apollo 11 pesawat milik lembaga
luar angkasa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration
(NASA). Pesawat tersebut berhasil mendarat di bulan dan kembali dengan selamat
di bumi.
Perjalanan ke luar angkasa itu dimulai dari sebuah mimpi besar yang ditiupkan
presiden John F. Kennedy yang dinyatakannya di hadapan kongres Amerika lewat
sebuah pidato monumental bertajuk “Why We Choose To Go To The Moon” pada
1962 . Mimpi tersebut, meski muncul dari persaingan negara adidaya itu dengan Uni
Soviet yang lebih dulu mengembangkan percobaan untuk menaklukkan luar
angkasa, tentu saja sama besarnya dengan mimpi-mimpi lain dari manusia yang
berbeda di tiap zaman yang selalu menginginkan kemajuan dan tak mudah puas
dengan apa yang telah dicapainya.
Oktober 2018 lalu, First Man, film biopic tentang Neil dan pengalamannya pergi ke
bulan sampai di Indonesia. Film yang disutradarai Damien Chazelle itu diangkat dari
kisah hidup Neil Armstrong yang dituliskan James R. Hansen dalam buku First Man:
A Life of Neil A. Armstrong. Meski tak mengganjar Ryan Gosling yang menjadi
pemeran utama pria dengan penghargaan dan hanya mendapat dua penghargaan
golden globe untuk pemeran pendukung wanita dan penata musik terbaik, First Man
tetaplah menarik. Terutama bila Anda, seperti saya, termasuk penonton yang
senang menjaring siratan-siratan pesan dari rangkaian gambar bergerak yang kita
lihat dalam sebuah film.
Pada sepertiga bagian pertama film tersebut, saya mengira, First Man hanya akan
berkisah tentang kesalahan, kegagalan, dan kekerasan kepala “anak-anak” NASA,
lembaga angkasa luar Amerika Serikat untuk terus melanjutkan percobaan mereka
yang adrenalinnya diperoleh dari persaingan dengan Uni Soviet. Nyatanya, ada
banyak kisah lain yang tersisip di lapisan-lapisan lain yang bertebaran sepanjang
lebih dari 120 menit film itu diputar.
Kesalahan, kegagalan, dan upaya yang keras kepala untuk mencoba lagi tentu
menjadi bungkus luar yang tampak. Percobaan panjang yang begitu jumud
dilakukan meski berkali-kali gagal, korban-korban nyawa yang tak kembali akibat
percobaan tersebut, keluarga yang terpaksa kehilangan ayah-ayah mereka, merupakan harga yang harus dibayar atas nama kemajuan dan penyempurnaan.
Namun bagi Neil dan para koleganya, tak ada kata mundur. Mereka terus melaju,
bangkit kembali tiap kali kesalahan dan kegagalan menyerimpung usaha mereka.
Selalu ada yang bertanya, “Apakah pantas harga yang harus dibayar dengan apa
yang diperoleh?” Tapi tampaknya, memang tak ada harga yang terlalu murah atau
terlalu mahal untuk sebuah pelajaran berharga.
Dengan bentuk dan kisah yang berbeda, dalam hidup, kita pun sebenarnya akrab
dengan kesalahan dan kegagalan. Hampir tak ada satu manusia pun yang tak
pernah melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan. Penemu paling fenomenal
seperti Thomas Alva Edison, bahkan harus melalui 2.233 kali kegagalan sebelum
akhirnya berhasil menciptakan lampu pijar yang menjadi salah satu pemicu
perkembangan bidang elektronik. Hidup memang perlu dijalani dengan keras kepala,
apalagi bila kita memiliki mimpi yang ingin diwujudkan.
Selain ketiga hal tersebut, ada beberapa hal penting lain yang tersisip dalam First
Man yang dengan muncul dan membungkuk manis di depan mata saya, seakan
mengajak untuk berkelana dalam relung kesadaran. Keyakinan adalah soal pertama
yang saya tengarai. Dalam film tersebut, tak satu pun dari pekerja NASA yang
meragukan mimpi yang mengawang-awang. Mereka, lewat kegigihan untuk
mengatasi persoalan, memperbaiki kesalahan, dan menyempurnakan kegagalan,
meyakini mimpi yang sama: manusia akan bisa tiba di bulan. Neil, misalnya, tak
sedikitpun surut langkah meski sepanjang ekspedisi itu harus kehilangan dua
sahabat dekatnya.
Dalam upaya terus meyakini mimpi, bukan berarti tak ada rasa takut dan gentar
yang datang bertandang. Neil, dalam First Man, juga menghadapinya berkali-kali,
bahkan dalam intensitas sangat tinggi. Tak mungkin ia tak gentar melihat bagaimana
kolega dan dua sahabatnya terpaksa kehilangan nyawa dalalm tugas. Ia harus
bergulat mengatasi ketakutan, kegentaran dan traumanya menghadapi kejadian-
kejadian tersebut. Dibutuhkan kekuatan serta keberanian luar biasa untuk
menghadapi dan berdamai dengan rasa takut untuk terus bisa melangkah. Kekuatan
dan keberanian seperti itu yang selalu kita butuhkan dalam hidup, bukan?
Selain hal-hal itu, ada satu hal penting yang juga disisipkan dalam First Man, yakni
kesetiaan pada mimpi. Menghadapi begitu banyak kritik dari masyarakat dan
kongres Amerika karena biaya percobaan yang sangat besar dan nyawa yang terus
harus dikorbankan karena percobaan yang gagal, Presiden Kennedy dan semua
orang di NASA tetap tak menyerah melakukan upaya mewujudkan mimpi, mengirim
manusia pergi ke bulan, dan menjelajah angkasa raya. Kesetiaan seperti itu tentu
saja kita butuhkan pula dalam menjalani hidup.
Bersetia pada mimpi, terlebih untuk mewujudkan sesuatu yang baik, tentu harus
dirawat dan terus dihidupkan. Menyitir Kennedy, hal itu dilakukan bukan karena
mewujudkan mimpi itu mudah, justru karena sulit. Cuplikan Kennedy saat
menyampaikan pidatonya di hadapan kongres yang dimasukkan dalam scene
penutup First Man, sangat menyentuh hati saya. “We choose to go to the moon. We
choose to go to the moon in this decade and do the other things, not because they
are easy, but because they are hard, because that goal will serve to organize and
measure the best of our energies and skills, because that challenge is one that we are willing to accept, one we are unwilling to postpone, and one which we intend to
win, and the others, too.” First Man seperti mengingatkan saya untuk bersetia dan
memberikan upaya terbaik untuk mewujudkan mimpi-mimpi.