Self Lifehacks

Bermain Dengan Kegagalan

Dalam beberapa bulan terakhir, saya kehilangan sahabat, teman, bahkan yang sudah saya anggap sebagai keluarga. Kepergian itu sangat membekas dalam diri saya. Ditambah kondisi fisik saya yang tidak fit serta kesibukan tanpa ampun, rasanya tiap hari air mata itu sudah mengantre untuk turun. Tinggal tunggu pemantiknya saja.

Sulit memang kalau perasaan sudah terlibat. Segala hal akan menjadi tidak logis, dan nurani kita seakan dikendalikan oleh hal negatif. Seakan hiang tujuan dan bingung apa yang ingin diungkapkan. Rasanya itu saya sudah gagal menjalani hari itu.

Namun saya teringat, beberapa waktu lalu saya membuat sharing terbuka di Instagram mengenai pentingnya menyadari kesehatan mental dalam rangka pengingat hari pencegahan bunuh diri. Sebagai seorang ‘moderator’ di topik ini, saya terkejut dengan banyaknya respon yang masuk.

Mulai dari hampir terteguknya obat nyamuk karena diri merasa gagal. Jendela terbuka yang hampir menjadi saksi lompat dari ketinggian lantai 20, sampai sisi gunting yang siap menyayat urat nadi. 

Jujur saya merinding dan sekaligus ngeri ketika membacanya. Rasanya tidak etis saya membayangkan permasalahan yang biasa saya keluhkan dibandingkan beban mental yang mereka hadapi. Namun di satu sisi, saya melihat ada hal yang membuat lega, yakni saat mereka mengatakan bahwa, “Saya beruntung tidak melakukannya! Hampir saya gagal dalam hidup! Rasanya saya seperti ‘tertampar’ petir saat saya hampir nekad, untung tidak!”

“Saya menyesal melakukannya. Namun kebangkitan dari jatuhnya saya ini, membuat saya menjadi manusia yang lebih mengenal diri saya!”

“Saya kini mendalami ilmu psikologi dari apa yang saya rasakan, dan kini saya bisa membantu berkomunikasi pada mereka yang pernah di posisi saya, kak.”

Bukan main rasanya perasaan saya saat membacanya. Rasanya tangan kanan saya yang memegang handphone tidak berhenti merinding. Mereka bisa melampaui kegagalan dalam hidupnya. Mereka bisa ‘bermain’ dengan kegagalannya hingga itu bisa menjadi pelajaran berharga bagi mereka.

Memang, ketika saya mengunggah respon mereka — dengan ijin tentunya, tak sedikit yang menganggap sesi ini sangat negatif. Sebab muncul tanggapan kenapa harus curhat di media sosial. Kenapa mengumbar permasalahan atau kesedihan, atau bahkan kegagalan di media sosial. Saya tanggapi keraguan itu dengan senyum. Sebab saya kira tidak ada salahnya menjadi ‘telinga’ bagi mereka. Bahkan yang lebih mengharukan ketika antar mereka ada yg terbantu dan terpatahkan keinginan untuk melakukan aksi nekad. 

Memang kata ‘gagal’ itu tajam, bahkan bisa menusuk pikiran dan membayangi akal sehat kita. Normal rasanya jika kata ‘gagal’ sontak mengurungkan semangat kita. Namun pertanyaannya, mau sampai kapan meratapinya? Bukankah ketika kita gagal, kita tahu apa kelemahan kita? Apa penyebab kegagalan itu? Kenapa tidak menjadikannya sebagai amunisi untuk mengenal dirimu sendiri, dan bermain dari kegagalan itu? 

“Kata gagal itu muncul dari orang lain atau lingkunganmu.”

Selalu ada. Perbedaan standar, idealisme, atau bahkan fisik. 

Kita punya seribu ekspresi emosi untuk melampiaskannya, tapi kita bisa memilih untuk berkata, ”Terima kasih,” untuk menjawab segala tudingan itu. Setelah itu marilah kita bertenang diri, dan berfokus pada akal sehatmu: "Ya, saya lemah, tak rupawan, tidak cerdas. Namun saya hidup!"

“Ya saya kerap dibandingkan dengan anggota keluarga lain atau bahkan saya dianggap tidak unggul dan lainnya, lalu?” Lihatlah dirimu sekarang dan apa yang sudah kamu capai sampai sekarang?

Lihatlah dirimu sekarang dan apa yang sudah kamu capai sampai sekarang?

Perkenalkan, nama saya Marvin Sulistio, saya kerap dipanggil bodoh, tapi saya suka bermain dengan panggilan itu. Sehingga kini saya menjadi orang tangguh atas keraguan itu.

Mungkin apa yang dilihat oleh banyak orang melalui sosial medianya ke feed Instagram saya, adalah keindahan dan easy money. Beragam foto dengan filter berlapis untuk keindahan foto yang tak hentinya terunggah. Dibalik itu ada saya yang pernah bekerja menghiasi layar dari pagi sampai pagi lagi, dan tidak libur dalam tiga minggu.

Saya dulu sering dibilang bodoh. Apalagi kalau berbicara soal kemampuan kognitif dan wicara. Tidak pernah berlatih dan tidak terfasilitasi selayaknya zaman sekarang yang bisa menemukan beragam tutorial di YouTube — gratis. Bahkan feed influencers pun menawarkan materi pengayaan diri dalam bentuk post — gratis. Kita bisa menikmatinya kapan pun.

Besar di lingkungan kecil, dengan dibayangi ketakutan tahun 1998, membuat lingkup komunikasi menjadi terbatas. Pertemanan penuh tembok penghalang, pelajaran pun tidak bisa sepenuhnya terserap di otak saya. Berulangkali guru berkata, “Bodoh!” Atau ungkapan lain sudah sering saya terima sampai kenyang. Bahwa kegagalan akademik itu menjadi luka bahkan aib untuk diakui kemudian.

Tapi sampai usia saya menginjak dewasa, dan mampu membedakan mana yang layak dan mana yang tidak, di situ lah saya baru menyadari, “Mau sampai kapan?”

Mau sampai kapan kita terus menyimpan kegagalan dan pemikiran itu terus? Predikat gagal mungkin bisa melekat, tapi kita lah yang bisa melepaskannya — bukan mereka, dan membuatnya menjadi pijakan untuk melangkah dua kali lipat lebih jauh.

Predikat gagal mungkin bisa melekat, tapi kita lah yang bisa melepaskannya — bukan mereka

Keinginan untuk, “Ya, saya mau berubah,” itu pasti boleh muncul, tapi “Ya, saya berusaha berubah.” Itu yang harus terwujud. 

Related Articles

Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024
Card image
Self
Pendewasaan dalam Hubungan

Pendewasaan diri tidak hadir begitu saja seiring usia, melainkan hasil dari pengalaman dan kesediaan untuk belajar menjadi lebih baik. Hal yang sama juga berlaku saat membangun hubungan bersama pasangan.

By Melisa Putri
06 April 2024