Kekosongan dalam hati manusia sering kali diisi dengan sesuatu yang dikira bisa mengisi kekosongan itu. Sering rasanya, lebih baik berlari dari kenyataan pahit, daripada menatap mata kekosongan untuk mengerti mengapa begitu gelap dan sendu. Hidup manusia seringkali tidak sehitam-putih apa yang kita pikirkan atau inginkan. Dalam tanya jawab kali ini, saya duduk bersama seorang mantan pecandu narkotika dan menapaktilasi sepotong perjalanan hidupnya.
Q: Bagaimana awal mula bisa pakai narkotika?
A: Mulai di kelas dua SMP. Pertama kalinya (memakai) di rumah teman gue, sama salah seorang teman yang kemudian jadi sahabat gue – yang sekarang sudah meninggal. Kita berempat di kamarnya dia. Tiba-tiba temen gue mengeluarkan 'perkakas'-nya. Mereka menyebutnya 'kodok' – kotak dokter.
Di situ ada sendok, aluminium, dan ada stuff-nya. Sepertinya mereka sudah memakai beberapa kali, tapi kayaknya tidak terlalu sering karena gue lihat mereka masih membaca cara menggunakannya. Pada saat dia mengeluarkan barang-barang itu, gue penasaran luar biasa. Perdebatan (dalam diri) antara ‘ayo’ dan ‘tidak’ tipis sekali. Gue tidak kepikiran ketakutan akan orangtua. Cuma masalah penasaran atau tidak. Tapi karena melihat efeknya di teman-teman gue kayaknya seru, gue coba aja. Rasanya mixed feelings antara memang efek yang ditimbulkan itu menyenangkan, dengan perasaan bebas yang muncul dari dalam diri gue.
Q: Maksudnya bebas?
A: Gue dibesarkan di keluarga yang harmonis. Bokap dan nyokap hubungannya baik. Mereka juga cukup religious. Gue sama adik-adik dibesarkan dengan baik, artinya orangtua memperhatikan sekali membesarkan anak-anaknya itu harus seperti apa. Tapi karena lingkungan gue yang sangat religius itu membuat gue menjadi rebel. Ternyata keharusan-keharusan yang gue jalankan saat itu sebagai seorang anak – sekolah lalu pulangnya harus pergi ke tempat ibadah; ada norma-norma yang mungkin sama nyokap gue ditanamkan ke gue, yang saat itu tidak gue sadari, membuat tertekan.
Q: Seperti apa?
A: Saat itu mungkin karena sangat religius. Gue tahu harapan besar nyokap gue ke gue adalah menjadi anak yang sangat religius, rajin beribadah, beribadah dengan baik, segala macam yang baik. Pembatasan-pembatasan yang berhubungan dengan agama itu yang saat itu membuat gue merasa cukup terkekang. Misalkan seperti masalah bermain. Saat itu gue merasa orang lain mungkin bisa pergi kemana-mana, sementara gue banyak mendapatkan pertimbangan-pertimbangan yang pada akhirnya gue harus bilang “ya udah, tidak usah.”
Saat itu (pembatasan-pembatasan) berjalan cukup lama – dari SD sampai masuk SMP. Perasaan terkekang muncul dari harapan-harapan orangtua yang berbeda dengan kemauan gue saat itu, terutama dalam bidang kehidupan sosial.
Q: Bidang kehidupan sosial maksudnya?
A: Kebebasan seperti mau pergi menonton konser musik. Nyokap terutama bukan tipe yang meng-iya-kan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial seperti menonton konser atau menonton film – yang berhubungan dengan yang duniawi lah. Saat gue mau minta izin, sikap mereka tidak suportif.
Q: Kenapa begitu?
A: I don't know. Gue jadi punya ketakutan-ketakutan tentang apa yang gue mau, terutama terkait kehidupan sosial. Gue inget banget, waktu acara perpisahan sekolah, gue dan teman-teman SMA mau berlibur ke Anyer. Meski acara perpisahan sekolah, tapi kita sudah punya rencana sendiri-sendiri. Gue cukup lebay, untuk liburan itu gue langsung beli rokok dua slop. Pokoknya lebay banget lah saat itu. Nyokap gue tidak mengungkung gue sampai dimarahin gitu, sih. Tapi harapan-harapan yang tadi itu yang sangat terasa buat gue.
Q: Ekspektasi?
A: Gue ingat sekali nyokap bilang kalau gue rajin ibadah, pasti akan bikin dia bahagia sekali. Kalimat itu yang nempel di gue. Walaupun nantinya gue tahu apa penyebabnya yang membuat beliau punya ekspektasi seperti itu.
Nyokap gue itu dulu dari keluarga pedagang yang sangat berada. Punya tujuh saudara. Keluarganya jadi disfungsi karena harta yang mereka punya; adik dan kakak berkelahi karena berebut harta, kakek gue punya beberapa istri lagi. Visual bahwa segala harta duniawi, segala macam yang sangat mewah itu, yang membuat nyokap gue khawatir banget.
Sementara bokap dari keluarga polisi. Bokap ketemu nyokap di kegiatan ibadah, aktif di kegiatan agama. (Bagi nyokap) agama itu yang menyelamatkan masalah-masalah dia dulu waktu kecil. Dia merasa dunia ini akan merusak kita. Harta atau kenikmatan-kenikmatan ini akan merusak kita dan cara untuk mengatasi semua ini adalah agama. Itu yang dipegang nyokap gue saat itu. Bubble itu yang akhirnya diciptakan nyokap gue dan keluarga gue. Gue masih ingat, terasa sekali, nyokap membesarkan gue dari SD sampai SMP dengan penuh kekhawatiran. Misalnya gue minta: “Mama, aku mau pergi ke sini ya." Pasti reaksi yang muncul pertama kali dari dia adalah apa yang paling buruk bisa terjadi dari rencana itu. Akhirnya tidak kejadian sama sekali.
Sementara itu gue orang yang ekstrovert, ingin punya kehidupan sosial yang banyak. Ada kontradiksi di situ (antara keinginan gue dan ekspektasi nyokap).
Ketika gue gabung dengan circle gue dan menciptakan habit yang hanya gue dan temen-temen gue yang tahu, itu agak menciptakan perasaan bebas. Gue punya dunia sendiri yang membuat gue menjadi outsider dari bubble yang diciptakan di rumah. Tidak ada perasaan bersalah sama sekali. Pelarian saja.
Q: Maksudnya pelarian?
A: Sekarang gue tahu itu pelarian. Saat itu yang gue rasakan kenikmatan. Sekarang gue bisa bilang itu pelarian.
Tahun 1998 saat Indonesia sedang rusuh-rusuhnya, gue sudah mulai addicted. Mulai marah-marah kalau tidak mengonsumsi narkotika. Di rumah ingin pergi terus, bagaimana caranya pokoknya gue harus keluar dari rumah. Pulang sekolah tuh gue harus cabut dari rumah. Gue bisa pulang jam 11 malam masih pakai seragam. Gue bilang sama keluarga, 'tugas sekolah'-lah, 'ada ekskul'-lah, apalah.
Q: Jadi mulai berbohong ya?
A: Mulai mencuri juga. Apapun yang bisa gue dapat dari rumah – uang jajan, uang sekolah, jual game console. Gue ingat waktu lagi kerusuhan, putau agak susah didapat. Gue ingat sekali dua hari gue dan temen gue tidak ‘memakai’ karena tidak ada barang. Gue tidak pulang, menginap di rumah temen. Nyokap gue sampai mencari-cari. Datanglah si kurir ini, tukang ojek yang jemput kita setiap hari yang akhirnya jadi kurir kita dan dia pakai narkotika juga. Yang penting gue tidak di rumah.
Kelas dua SMA, gue ketahuan sama keluarga. Banyak orangtua sudah mulai sadar karena media sudah mulai mengangkat. Gue inget waktu itu Majalah Tempo atau Gatra membahas tentang putau, dijelaskan gejala-gejalanya dan efek di penggunanya. Gue sudah mulai merasa nyokap mulai curiga.
Gue pulang, masuk kamar ada bokap dan nyokap di sana. “Sini. Mak mau ngomong.” Ditembak bokap gue: “Kamu pakai (narkotika) ya?” Gue jawab: “Nggak.” Nyokap mengatakan dengan manis: “Kamu pakai, ya? Sudah jujur saja. Tidak apa-apa, jujur saja sama kita. Kita sudah tahu kok. Kamu pakai ya?' Gue jawab jujur terus nyokap langsung meledak. Beliau panik, gue langsung disuruh direhabilitasi. Dunia gue sudah kebalik, tuh. Gue tidak mau masuk tempat rehabilitasi.
Gue akhirnya dimasukan ke tempat rehabilitasi bersama junkie-junkie yang lain. Rumahnya cukup menyenangkan – ada kolam renangnya, ruang tamunya bagus karena banyak dipakai untuk sesi diskusi, kamar-kamarnya baik. Tapi tetap saja kita di sana kan tidak penting yang di luar (fasilitas bagus). Dalamnya (diri kita) sudah hancur sekali.
Gue menginap di sana dengan memberanikan diri. Gue merasa diperlakukan seperti narapidana. Perasaan yang muncul saat itu bukan untuk diselamatkan, tapi disalahkan. Maksudnya, gue sebagai anak untuk berangkat ke rehabilitasi dengan orangtua, gue tidak punya perasaan seperti orang yang mau ditolong untuk disembuhkan. Tapi gue dianggap seperti sampah; dititipkan di tempat sampah, didaur ulang, syukur-syukur keluar jadi barang baru. Perasaan seperti itu yang muncul di pikiran saat itu. Gue ingat kesedihan dan kekecewaan nyokap.
Q: Terus bagaimana proses rehabilitasi saat itu?
A: Ada satu tabib di daerah Jakarta Timur. Dia pakai jamu. Dia terima beberapa pasien pemakai (narkotika). Metodenya pakai terapi. Dia biksu. Kita dikasih jamu yang membuat antibodi muncul dan pelan-pelan membuang racun itu. Setiap hari minum jamu yang rasanya buat gue kayak air seni kuda. Hahaha! Gue minum itu langsung muntah-muntah. Itu enam bulan terburuk dalam hidup gue. Tapi ternyata setelah itu kondisi gue membaik. Gue sudah tidak punya perasaan ingin memakai lagi. Gue tidak tahu itu sugesti, placebo, atau apa. Gue mulai bersekolah normal dan berolahraga normal kembali.
Q: Lalu apa yang membuat kamu punya kesadaran untuk tidak memakai narkotika lagi?
A: Mungkin karena teman-teman gue sudah tidak ada. Kita berlima juga semuanya tercerai berai; ada yang ketahuan, ada yang DO, ada yang dikirim ke Amerika. Semua tercerai berai. Akhirnya teman mainnya tidak ada lagi.
Gue masih ingat, tanda yang membuat gue ternyata memang udah tidak bisa pakai lagi adalah ketika gue main ke rumah teman yang dikirim ke Amerika saat dia lagi balik ke Jakarta. Dia buka lagi 'perkakas-perkakas' itu. Kalau kita membakar narkotika, ada timah. Bau timah kebakar aja langsung bikin gue muntah-muntah dan akhirnya gue sakit tiga hari. Kepala gue pusing. Gue pikir antibodinya mungkin bekerja menolak (narkotika). Rasa trauma pada saat itu yang muncul.
Gue sekolah lagi. Gue pacaran sama salah satu anak pintar di sekolah. Gue disuruh les di rumah dia. Nilai gue akhirnya membaik. Akhirnya gue lulus dengan cukup baik.
Q: Apa yang berbeda dari kamu sekarang?
A: Ini gue tahu setelah gue punya dialog yang cukup baik dengan nyokap. Kejadian gue pakai narkotika itu ternyata sangat menampar beliau. Itu yang menohok. Kekecewaan yang nyokap rasakan adalah saat cara yang beliau pakai – yang katanya paling benar untuk menyelamatkan keluarga dari disfungsi seperti yang pernah dialami dulu – ternyata berakibat lebih parah dari yang beliau bayangkan. Anak yang diantar sekolah setiap hari ternyata begitu (terjerumus narkotika). Untungnya beliau akhirnya ikut grup konseling para orang tua yang dibimbing psikolog untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kehidupan mereka. Beliau ikut workshop pengembangan dan pengenalan diri. Beliau juga ikut berubah. Beliau akhirnya tahu caranya dulu terhadap gue kurang tepat. Dan saat itu cara pandang beliau terhadap gue juga mulai berubah.
Q: Apa yang berubah?
A: Penerimaan beliau terhadap gue. Jangan mengharapkan sosok yang paling sempurna karena itu tidak ada.
Q: Kapan kamu akhirnya memutuskan untuk punya hubungan yang lebih baik dengan ibu?
A: Gue berhenti menggunakan narkotika secara total di 2008. Waktu itu mau menikah pertama kali. Gue mau menikahi perempuan yang gue perjuangkan sekali. Proses penerimaan orangtua gue terhadap perempuan ini cukup berat, sampai akhirnya bisa disetujui. Gue tidak mau merusak ini. Dan gue juga sudah merasa lelah dengan drugs.
Q: Kamu menggunakan narkotika berarti waktu itu sudah 10 tahun?
A: Iya, sudah capek juga. Pernikahan itu tidak berlangsung lama. Hubungan gue membaik banget (sama nyokap) waktu sama-sama menghadapi masalah perceraian itu. Walaupun sebetulnya sudah cukup baik waktu gue menikah.
Q: Apa yang terjadi?
A: Sikap dia ke gue. Gue udah merasa dalam pernikahan, beliau menghargai gue sudah menikah dan gue bukan tanggung jawab dia lagi.
Pada saat gue menikah pun sebetulnya beliau juga sudah tidak setuju. Beliau sudah wanti-wanti, “These things are not going to work.” Tapi ya sudah, gue yang mau ya gue tanggung jawab sendiri. Walaupun memang akhirnya yang dikatakan beliau memang benar. Tapi pada saat gue kembali ke nyokap, dia tidak “Tuh, kan” atau menyalahkan gue. Saat itu beliau juga sudah berproses (dengan dirinya sendiri) cukup lama. Perceraian gue, kita hadapi bersama. It's a different level of relationship. Completely new relationship (dengan nyokap). Hubungan gue dengan nyokap berada di tingkat yang berbeda, hubungan yang baru dengan dia.
Q: Bagaimana perasaan kamu sekarang?
A: Gue sekarang dalam tahap merasa beruntung sekali punya ibu seperti beliau. Karena kejadian-kejadian dan penolakan-penolakan beliau dulu, kalau gue tidak pernah 'ditolak' sama nyokap – mau beli ini, mau beli itu – mungkin gue tidak akan kerja sedini mungkin. Gue kerja dari 2003; waktu kuliah gue jualan batik untuk memenuhi keinginan gue karena tidak ada yang kasih. Dia punya alasan untuk hati-hati karena punya pengalaman buruk (waktu kecil). Motivasi gue bekerja tidak akan terbentuk dari awal banget. Waktu kuliah gue sudah dapat kerjaan cukup layak. Banyak yang gue hadapi bersama nyokap yang membentuk pribadi gue sekarang.
Apa yang kita alami waktu kecil itulah yang membentuk kita sekarang. Kalau kita mau memperbaiki hidup kita, kita harus sadar betul kita itu siapa; hubungan kita dengan orangtua seperti apa. Tidak pernah ada orang yang sempurna, dan tidak semua orang beruntung punya hubungan yang cukup baik dengan keluarga kita sendiri. Tapi kita perlu tahu dan sadar betul kita itu terbentuk dari pengalaman-pengalaman hidup kita seperti apa, karena kalau tidak, kita hanya bereaksi dan menyelesaikan masalah kita hanya karena perasaan-perasaan negatif kita saja.
Apa yang kita alami waktu kecil itulah yang membentuk kita sekarang.