Self Lifehacks

Bercita-cita Menjadi Sempurna

Greatmind

@greatmind.id

Redaksi

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Kalau kita pikirkan baik-baik mengapa sih ketika kecil kita harus bersekolah? Mengapa baik orangtua dan guru mengajarkan kita untuk memiliki cita-cita setinggi langit, untuk menjadi seseorang yang “wah”, untuk mencapai “kesuksesan”? Kemudian kenapa adanya cita-cita tersebut dihubungkan erat dengan menjadi anak yang baik sehingga jika tidak memiliki cita-cita kita dianggap menjadi anak yang tidak baik? Apakah sebenarnya sedari kecil kita selalu mendapatkan momok untuk menjadi sempurna? Padahal sejauh perjalanan hidup kita hingga dewasa kita paham betul betapa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi mengapa tetap saja banyak dari kita mengejar kesempurnaan?

Salah satu jawabannya sebenarnya terdapat pada sebuah teori di mana menemukan bahwa kebanyakan orang di dunia merupakan “children of snob”. Pengertian ini sebenarnya dapat dijelaskan dari kata snob itu sendiri yang secara harafiah berarti sok atau berusaha melakukan sesuatu yang sebenarnya di luar kapasitasnya. Pengertian ini mengalami penurunan makna (peyoratif) karena dapat pula diartikan sebagai sifat manusia yang ingin memanjat status sosial atau mendapatkan pengakuan sosial yang lebih tinggi. Mengapa? Tentu saja agar tidak mendapatkan diskriminasi di tengah masyarakat dan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tersendiri dari status tersebut.

Tanpa disadari sebenarnya sebagian dari kita sudah diajarkan untuk memanjat sosial sedari kecil karena budaya yang diajarkan orangtua. Ketika kecil kita selalu dituntut untuk menjadi anak yang pintar, mengejar prestasi hingga harus berkompetisi dengan mereka yang sebaya untuk menjadi lebih. Tuntutan itu pun dipercaya untuk membuat kehidupan kita menjadi lebih baik di mana banyak dikaitkan dengan posisi tertinggi di pekerjaan dan seberapa banyak uang yang dapat dimiliki nantinya demi kesejahteraan. Secara tidak sadar pun sebenarnya kita sedari berumur belia sudah diajarkan untuk menjadi snob. Menjadi seseorang yang harus memaksimalkan kemampuan demi mendapatkan status sosial yang tinggi di masyarakat. Menjadi orang yang memiliki ini-itu. Dikenal banyak orang.

Tanpa disadari sebenarnya sebagian dari kita sudah diajarkan untuk memanjat sosial sedari kecil karena budaya yang diajarkan orangtua: dituntut untuk menjadi anak yang pintar, mengejar prestasi hingga harus berkompetisi untuk menjadi lebih.

Tidak hanya soal prestasi dan pekerjaan saja. Kehidupan pribadi pun menjadi salah satu faktor penentu apakah seseorang dianggap berhasil, sukses dan sejahtera. Pernikahan pada umur tertentu dan memiliki anak menjadi variabel lain dalam membentuk sebuah formula menjadi sempurna. Seseorang seolah-olah telah merampungkan misinya di dunia jika mengikuti semua pola kehidupan yang dianggap ideal oleh masyarakat. Mulai dari lulus setiap jenjang sekolah: TK, SD, SMP, SMA, kuliah, kemudian bekerja, menikah, dan punya anak. Seakan-akan ketika seseorang telah melewati semua tahapan tersebut, misinya di dunia sudah selesai. Hidup terasa lebih lengkap. Dia menjadi sempurna. Tak peduli apakah itu yang sebenarnya diinginkan atau tidak.

Lalu apa yang terjadi ketika kita tidak melewati tahap nan ideal tersebut? Label “gagal” melekat pada kita. Seorang anak yang mendapatkan nilai matematika rendah dianggap bodoh dan tidak akan sukses di masa depannya. Orang-orang yang tidak menikah dianggap tidak sempurna dan mendapat perlakuan berbeda di masyarakat. Bahkan tidak jarang orang-orang tersebut dianggap “bermasalah” dan tidak menjalani hidupnya dengan senang. Padahal mungkin saja mereka bahagia dengan tidak menikah dan memang bukan itu visi-misinya dalam hidup. Berlaku juga sebaliknya. Apabila seseorang telah melewati semua tahap yang dianggap ideal di masyarakat belum tentu berarti mereka bahagia, bukan? Bahkan bukannya tidak mungkin mereka malah terjebak dalam besarnya tekanan.

Terdapat berbagai riset dan observasi kejiwaan yang menunjukkan bahwa seseorang yang sedari kecil selalu dituntut menjadi yang terbaik justru mengalami krisis identitas di masa dewasa. Terutama ketika terdapat kejadian yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Terdapat kotak yang belum berhasil dicentang. Ini terjadi karena secara tidak sadar orang tersebut merasa takut tidak lagi dapat dicintai atau diterima orang-orang sekitarnya. Kesulitan menerima diri apa adanya yang dapat berbuat salah atau gagal akan suatu hal. Pun menuntun pada kesulitan menerima penolakan, dan terlebih lagi kesulitan merasa cukup. Pada akhirnya tidak ada rasa cukup inilah yang dapat memunculkan gangguan kejiwaan karena ketakutan yang memupuk dalam diri. Ketakutan ini jugalah yang akan terus mengaktifkan kutub-kutub negatif dan menggerogoti kesehatan pikiran.

Seseorang yang sedari kecil selalu dituntut menjadi yang terbaik justru mengalami krisis identitas di masa dewasa.

Related Articles

Card image
Self
Melihat Dunia Seni dari Lensa Kamera

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya fotografi menjadi salah satu jalan karir saya hingga hari ini. Di tahun 1997 saya pernah bekerja di majalah Foto Media, sayang sekali sekarang majalah tersebut sudah berhenti terbit. Setelahnya saya juga masih bekerja di bidang fotografi, termasuk bekerja sebagai tukang cuci cetak foto hitam putih. Sampai akhirnya mulai motret sendiri sampai sekarang.

By Davy Linggar
04 May 2024
Card image
Self
Rayakan Keberagaman dalam Kecantikan

Keberagaman jadi satu kata kunci yang tidak akan pernah lepas saat membahas tentang Indonesia. Mulai dari keragaman budaya, bahasa, hingga kecantikan perempuan di negeri ini adalah salah satu kekayaan yang sudah sepatutnya kita rayakan.

By Greatmind x BeautyFest Asia 2024
27 April 2024
Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024