Self Lifehacks

Bercakap Bersama: Reza Rahadian

Fotografi Oleh: Nafhan Nurul

Benarkah kalau menjadi figur publik harus punya akun media sosial pribadi? Sepertinya tidak demikian menurut aktor Reza Rahadian. Satu sore kami duduk bersama, bercengkerama, menikmati tukar pikiran tentang media sosial, fenomena influencer, ruang pribadi yang makin tergerus di era Internet, dan kebahagiaan dalam interaksi antar manusia. 

Marissa (M): Kenapa nggak punya akun pribadi media sosial yang biasanya sering dipakai public figure seperti Instagram, Twitter atau Facebook?

Reza (R): Alasan yang paling sederhana adalah I don't really like to post anything. Aku tidak suka nge-post sesuatu. Aku merasa exposure sebagai figur publik sudah cukup banyak di media.  Begitu masuk ke media sosial, yang diinginkan mungkin sesuatu yang sifatnya pribadi. Kalau melihat di traffic media sosial, konten yang paling banyak dilihat itu justru bukan promo, tapi foto pribadi kita, aktifitas kita di rumah, atau waktu pergi, sesuatu yang tidak dilihat dimana-mana. Sementara menurutku, kehidupan yang seperti itu (yang pribadi) aku mau itu jadi milikku sendiri.

M: Sekarang lagi banyak figur publik yang gerebek rumah, semuanya dibuka, bahkan sampai kamar tidurnya dibuka untuk publik. 

R: Yup. I don't do that. Hahaha.

M: Mengapa? 

R: Di luar saja untuk punya ruang privasi sudah susah, and then you bring (the public) home? Aduh males banget, Marissa. I don’t have time for that. Sudah punya kamar yang aku saja yang cukup tahu, itu sudah menyenangkan sekali. It’s my private space. Aku bisa ngundang siapa pun yang aku mau, ngobrol, makan, dan lain-lain. Kita punya ruang pribadi kemudian kita bagi ke publik, akhirnya ruang pribadi itu menjadi tidak pribadi lagi, menjadi ruang publik.

M: Sekarang kita lagi hidup di era extimité (keinginan untuk menunjukkan aspek diri yang bersifat pribadi). Mengapa privasi menjadi suatu hal yang penting buat kamu?

R: Karena privasi sudah mahal harganya. Menurutku, untuk mempertahankan privasi, aku mengambil resiko. Dengan tidak punya akun media sosial pribadi, aku kehilangan banyak endorsement, kesempatan untuk bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tapi sepertinya aku hidup bukan cuma buat nyari duit. Aku butuh menyeimbangkan hidupku karena ini adalah hal yang paling penting.

Prinsipku adalah hidup cukup itu ternyata cukup. Ternyata aku cukup mensyukuri bahwa aku bekerja dan aku masih bisa bekerja di bidang perkerjaan yang aku cintai, ter-expose juga, sepertinya sudah cukup.

Teman pernah bilang kalau tidak punya medsos pribadi dibilang ‘nggak ngikutin perkembangan jaman’, kalau endorse produk per hari elo cuma duduk santai di rumah, trus elo nge-post something, trus elo dapet duit.

Hidup cukup itu ternyata cukup.

M: Duduk manis dan nge-post sesuatu itu nominalnya berapa?

R: Aku bisa terbuka tentang hal ini karena aku tidak melakukannya. Pernah ada sebuah penawaran produk. Mereka tanya berapa tarifku untuk nge-post dan meng-endorse produk mereka. Mereka menawarkan Rp 75.000.000.

M: Sebentar. Mereka menawarkan Rp 75.000.000 per post?

R: Ya.

M: Ah, gila!

R: Hahaha. Beneran. Aku minta ke mereka untuk ketemuan dulu karena aku belum tahu produknya seperti apa. Dan aku tidak merasa nyambung dengan produknya. Mereka minta aku untuk post empat foto untuk feed dan empat lagi untuk story dengan aku melakukan beberapa aktifitas dengan produk itu.

Saya bilang ke mereka: "I don’t do that." Kalau mereka mau bikin iklan kecil untuk sosial media mungkin berbeda ya. Tapi kalau membuat video: "Hai guys, saya memakai produk ini." Aku bilang nggak deh. Terus mereka malah menaikkan tarifnya menjadi Rp 100.000.000 per post dan naik lagi Rp 150.000.000 per post.

M: ...

R: Karena aku percaya kalau mau melakukan sesuatu, lakukan sesuatu yang kita suka. If you don't like it and you don't feel it, then don't do it.

Risikonya kita kehilangan sesuatu. Biar aku yang tanggung risikonya. Toh, aku juga nggak menyakiti orang lain dengan tidak mengambil proyek promosi produk tadi. Mereka juga nggak akan rugi. Produknya juga nggak akan tiba-tiba nggak laku cuma karena aku nggak ngambil produknya. Masih ada banyak orang lain yang akan mengambil produknya.

Kalau mau melakukan sesuatu, lakukan sesuatu yang kita suka. If you don't like it and you don't feel it, then don't do it.

M: Kamu bisa seperti ini karena kamu sudah dalam posisi yang nyaman, kan? Happy secara finansial, berkecukupan sehingga bisa mengambil keputusan-keputusan seperti ini?

R: Kenyamanan itu tolok ukurnya macam-macam. Orang bisa merasa nyaman ketika dia punya sekian misalnya. Orang kan nggak tahu berapa yang aku punya. Dan orang juga nggak tahu perjuanganku untuk memenuhi kebutuhan hidupku, ibuku, dan adikku. Aku juga harus membayar tagihan kebutuhan sehari-hari. Aku juga harus menabung banyak. Tapi aku merasa lebih lega dan bahagia ketika aku mengerjakan sesuatu yang aku suka karena aku masih punya pilihan untuk melakukan itu. Mungkin lain cerita kalau misalnya aku nggak ada yang nawarin apa-apa. Aku akan ambil. Aku sikat apa pun itu yang penting keluargaku dan aku hidup.

M: Kamu nggak punya medsos pribadi, tapi punya @officialpilarez. Apa itu @officialpilarez?

R: @officialpilarez dibentuk enam orang Pilarez, fanbase singkatan dari 'pilar-pilarnya Reza Rahadian'. Enam orang admin ini membuat sebuah media sosial lewat akun Instagram dan Twitter. Setelah itu berjalan, postingannya awal-awal macam-macam sampai akhirnya kita melihat perlu dikurasi. Arya sebagai manajerku mengambil alih. Ngobrol dengan mereka coba diatur apa yang di-posting kita kurasi. Isinya semua memang promosi. Jadi ini memang akun fanbase.

M: Penggunaan media sosial seperti ini efektif?

R: Cukup efektif. Engagement dengan mereka yang disebut fans atau ikut follow akun tersebut, mereka merasa cukup engage, mereka bisa berkomentar, memberikan opini, kritik, saran, dan lain-lain. Engagement itu yang dirasakan penting tapi buat aku antara engagement sama kepo itu ada (bedanya). Hahaha.

M: Hahaha. Bedanya?

R: Kepo, ingin tahu maksudnya, "Ngapain sih Reza hari-harinya?" Aku suka publik tahu apa yang aku lakukan dalam kaitannya dengan pekerjaan. Kalau kita punya medsos pribadi berarti kan harus mau nggak mau meng-update sesuatu yang personal.

M: Karena harus posting setiap hari...

R: Karena kan harus tiap hari. Kita harus Instastory lagi makan siang sama teman, harus nge-post sesuatu seperti #OOTD. I don't think I can pull that off. Aku merasa malas banget ngerjain hal-hal seperti ini.

M: Terlalu melelahkan?

R: Ya. Itu akan memakan waktuku untuk memikirkan tentang apa yang harus aku post. Di @officialpilarez, karena itu fanbase ketika aku posting sesuatu, jaraknya lama-lama. Kalau lagi ada film, ada kegiatan kampanye sesuatu saja.

M: Tentang komentar netizen di medsos fanbase. Kamu baca? 

R: Aku tanya manajerku Arya tentang tanggapan netizen. Arya nanti akan screen capture dan dikirim ke aku.

M: Bagaimana tanggapan kamu tentang beberapa netizen yang bersembunyi di balik akun anonim yang biasanya mengeluarkan komentar yang tidak enak? 

R: Ini menarik. Aku merasa bahwa ada haters akan selalu menjadi haters. Kita nggak bisa memaksa mereka untuk suka dan aku merasa nggak punya tanggung jawab untuk membuat orang lain harus suka sama aku. Jadi ketika ada yang nggak suka, ya nggak apa-apa.

Tapi kalau mereka memberi kritik, kemudian aku baca dan ada benarnya, terimakasih karena sudah diingatkan sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Tapi kalau komentar menggunakan kata-kata yang kasar, karena aku nggak berkecimpung secara pribadi di medsos, jadi aku nggak tahu banyak tentang itu.

M: Arya cukup melindungi kamu dari komentar-komentar pedas seperti ini? 

R: Nggak. Malah aku minta Arya terbuka saja. Aku ingin tahu komentar netizen tentang filmku.  Misal: "Filmnya jelek banget, gue nggak suka!" Ya, kasih tahu aku saja. Dan ini terjadi kok. Jadi memang like and dislike, bagaimana orang memanfaatkan medsos dan berlindung di balik akun-akun anonim, mereka bisa berkata apa pun, ya silakan saja. Tapi satu hal: aku nggak bisa memuaskan semua orang. Dan aku tidak harus.

M: Kalau ada komentar netizen di medsos, dibalas? 

R: Ada beberapa temanku yang bilang kalau kita punya Instagram pribadi, komentar itu sebaiknya elo dibalas supaya punya engagement, supaya terus merasa dekat dan ini dampaknya besar sekali. Likes jadi nambah. Tapi aku berpikir: jadi kita menjalani hidup kita bergantung sama likes dan dislikes orang lain? Memang kalau mendapat likes lebih banyak jadi lebih bahagia? Tolok ukurnya likes dan dislikes, orang bisa depresi gara-gara ini.

Beberapa orang memang bisa cari uang dari platform ini, jadi nggak ada salahnya juga, selama kita bisa membawa keseimbangan dalam keseharian kita. Hidup kita nggak cuma tentang media sosial. Kita punya kehidupan lain.

Jadi kita menjalani hidup bergantung sama likes dan dislikes orang lain? Memang kalau mendapat likes lebih banyak jadi lebih bahagia?

M: Seperti apa kehidupan lain itu? Apa yang kau lakukan ketika ada momen ‘bosan’?

R: Aku kadang nonton YouTube, nonton wawancara politik karena aku suka politik. Aku juga nonton banyak komedi. Di mobil nonton, biasanya karena macet. Aku juga suka ngumpul sama teman-teman, nonton. Banyak banget lagi kegiatan yang kita bisa lakukan.

Aku juga suka punya waktu untuk diri sendiri, me time: baca buku, dengerin musik, menikmati essential oil, bicara sama ibu selama berjam-jam. Ini yang aku rasa mungkin mulai hilang: komunikasi langsung antar sesama manusia dalam lingkup kecil keluarga. Kita perlu tanya ke diri sendiri, berapa lama kita habiskan ngobrol bersama keluarga. Aku merasa lebih seimbang dalam hidup dan aku bisa mengeluarkan hal-hal yang menurutku toxic seperti dendam, pikiran negatif, kepala yang penuh. Bicara seperti terapi buat aku. Ketemu orang itu rasanya beda dengan ngobrol di teks atau komentar di Instagram.

M: Bicara influencers, ketika dengar kata ini, apa yang muncul di pikiran?

R: Aku belum melihat ini sebagai profesi jangka panjang. Aku lagi mencari tahu di mana letaknya ini bisa dijadikan sesuatu yang bisa bertahan lama. Bagaimana kalau Instagram suatu hari sudah tidak ada lagi?

Aku punya teman, seorang influencer dengan pengikut 150.000. Aku tanya apa cita-cita dia. Dia tanya balik maksud pertanyaanku. Aku tanya balik apa goal atau tujuan dia dalam hidup. Apakah cita-citanya memang menjadi influencer? Dia menjawab bahwa dia memanfaatkan media sosial yang sedang trend untuk menghasilkan uang. Dia meng-endorse produk karena dibayar, sementara produknya belum tentu dia pakai.

M: Bicara media sosial, bicara filter foto. Beberapa waktu lalu, aku foto dengan adikku menggunakan ponselnya. Ketika melihat hasilnya, aku bilang ke adik bahwa setting kamera ponsel dia membuat kulitku jadi terlihat tanpa cela. Padahal jelas, kulitku ada flek hitam. Dia sempat keukeuh kamera ponsel tidak dalam moda filter. Setelah aku minta dia cek settings-nya, dia baru sadar selama ini menggunakan filter.

R: Ketika orang meng-edit dengan sangat maksimal, tangan jadi lebih kecil, paha juga, muka jadi kurus, kulit lebih flawless, bagaimana kita bangun di pagi hari dan melihat diri kita di kaca yang merefleksikan kita sebenarnya? Bagaimana kita melihat diri kita? Apakah kita bahagia? Kalau kita tidak bahagia, itu harus menjadi pertanyaan paling besar, kenapa kita nggak happy?

M: Ada yang bilang kalau nggak main sosial media, nggak update informasi. Setuju?

R: Bisa buka Internet, bisa buka YouTube, atau TV sudah bertaut ke streaming. Media sosial itu untuk melihat apa yang lagi viral, tapi yang viral kebanyakan informasinya dipertanyakan. Video sepotong-sepotong kemudian diviralkan. Kita harus critical thinking.

M: Di jaman sekarang semua orang bisa jadi paparazzi. Setiap orang yang punya ponsel berkamera, bisa ambil gambar siapa saja, kapan saja mereka mau, dan mengunggah tanpa izin orang yang ada di dalam gambar itu. Bagaimana kamu melihat ini?

R:  Aku pernah ngobrol dengan salah satu seniman senior yang tenar pada 1990-an. Dia bilang: "Jaman aku, ketika ngumpul dengan lingkaranku, kita nggak pernah ketakutan, Rez." Sekarang? (Kita) generasi anxious. Video bisa dipelintir. Kita pergi ke club atau ke restoran sama seseorang bisa jadi berita. Itu sudah menjadi cukup tekanan buat aku. Misal, aku lagi mau party sama teman, ada yang ngambil video, lalu konteksnya dibikin apa, lalu jadi berita. Males kan? Aku sekarang memutuskan mau jadi diri. Kalau ada yang ambil foto waktu aku pergi sama teman, ketawa kencang, atau merokok, ya terserah. Aku tidak apa-apa dihakimi sama orang selama aku jadi diri sendiri. Aku nyaman dan jadi mengurangi beban. Mereka boleh mengkritik aku tapi jangan pernah keluargaku. Aku berharap kemajuan teknologi harus disertai kemajuan berpikir. Kita jangan sampai jadi budak teknologi.

Kemajuan teknologi harus disertai kemajuan berpikir. Kita jangan sampai jadi budak teknologi.

Related Articles

Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024
Card image
Self
Pendewasaan dalam Hubungan

Pendewasaan diri tidak hadir begitu saja seiring usia, melainkan hasil dari pengalaman dan kesediaan untuk belajar menjadi lebih baik. Hal yang sama juga berlaku saat membangun hubungan bersama pasangan.

By Melisa Putri
06 April 2024