Self Lifehacks

Bercakap Bersama: Proses Melewati Duka

Kalau kita berbicara tentang lagu ada yang bercerita tentang kebahagiaan ada juga lagu-lagu yang berkisah tentang kesedihan. Tetapi mungkin dari lagu-lagu ini tidak banyak yang menceritakan tentang rasa dan proses perasaan ini secara mendalam. Salah satu bentuk kesedihan adalah saat kita berduka. Apakah itu kehilangan seseorang yang kita sayangi atau sesuati yang kita sayangi atau cintai. 

Kesedihan itu bukan perasaan yang nyaman apalagi dalam duka, sehingga mungkin kadang karena rasa ini tidak nyaman kita sering kali terburu-buru untuk bisa melewati kesedihan dan kedukaan. Sebetulnya duka itu adalah proses yang perlu dirasa, perlu dijalani, sehingga mungkin suatu hari duka ini akan pergi dengan sendirinya. Hari ini teman bercakap saya ada seorang musisi dan penulis, Dee Lestari. Baru-baru ini perspektif dirinya akan kedukaan dalam lagu terbarunya “Berduka”.

Marissa Anita (MA): Hai, Dee!

Dee Lestari (DL): Hai, seneng deh denger suara kamu. Sudah kangen. Suaramu itu khas sekali.

MA: Thank you. Pertama-tama, turut berduka atas kepergian suami dan teman baikmu, Mas Reza Gunawan. Bagaimana kabarmu hari ini?

DL: Hari ini, aku baik. Banyak kegiatan yang menyenangkan hari ini. Termasuk malam ini bincang-bincang sama kami yang sudah sekian lama tidak bertemu. Hari-hari belakangan ini rasanya sudah lebih mudah beradaptasi, sudah lebih mudah dan bisa menjalani ritme baru walaupun rasa kangen yang masih sering kali hadir dan kadang aku nggak bisa duga kapan datangnya. But, it’s a good feeling. Belakangan sih kangennya bukan pilu tapi lebih kepada rasa kangen yang haru. Kangen yang bahagia dengan keberadaan dia yang baru.

MA: Anak-anak gimana? Bagaimana mereka berdamai dengan hal ini?

DL: Anak-anak so far so good, karena memang mereka karakternya beda, ya. Kalau anakku yang besar, Keenan, dia lebih ekstrovert jadi semuanya terekspresi. Apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu dapatkan dari Keenan. Jadi aku lebih mudah menebak atau melihat apa yang sedang dia rasakan. Dengan yang kecil, Atisha, dia lebih introvert jadi aku yang lebih harus hati-hati dan lebih proaktif untuk nanya, kamu gimana?

Kadang barang kali dia mengalami sesuatu tapi formatnya nggak secara langsung. Misalnya dia bilang tiba-tiba males belajar, atau hari ini nggak pengen sekolah. Kalau ditanya, kenapa? Jawabanya karena not in the mood. Berarti harus digali lebih dalam. Tapi sejauh ini cukup baik, kita seperti menemukan chemistry baru, mereka tetap anak-anakku tentunya tapi juga rekan satu tim. Kita punya sebuah tim di keluarga ini dan mereka seperti partnerku, jadi ada partnership juga bareng sama anak kita saling menguatkan dan seperti teman juga jadinya.

MA: Mungkin itu bagian dari memroses bersama juga ya, Dee. Nah, salah satu bentuk memproses mungkin adalah ketika dirimu menulis dan juga merilis lagu berduka. Dari lagu berduka ini apa yang ingin Dee ungkapkan. Dan yang kita dengar juga Mas Reza sudah sempat memainkan melodi awal untuk lagu ini, coba bisa diceritakan?

DL: Aku inget banget jadi sebenarnya berawal dari obrolan sama Reza, dan satu tamu kita yang kebetulan juga dia akhirnya jadi arranger. Kita lagi ngobrolin musik sebenarnya, di meja makan, dan kita lagi ngomongin kalau sepertinya belum ada lagu yang bisa mewakili orang pada fase berduka yang lagi sulit-sulitnya.

Berduka itu kan berlapis-lapis ya dan barangkali yang aku ceritakan di dalam lagu “Berduka” inilah fase yang paling berat sebetulnya karena di sini kita merasa bahwa dunia meninggalkan kita. Kita seperti berada dalam satu kepompong sendiri yang sulit dimengerti oleh orang lain di luar dari kita, dan untuk itu kita merasa sepi di tengah keramaian, siang terasa seperti malam. Kita seperti tidak terhubung dengan kehidupan di sekitar kita dan bagiku itu suatu fase yang sulit diungkapkan dengan kata-kata tapi aku berharap ada sebuah lagu yang bisa merepresentasikan perasaan kita pada momen tersebut.

Dua hari setelah obrolan tersebut, aku bikin lagu berduka dan selesai dalam satu hari. Dia bilang, “Lagunya sedih banget, ya. Sekarang aku tau rasanya kalau kamu kehilangan aku. Kalau aku nggak ada, aku tau apa yang kamu rasakan”. Kita berencana mau bikin demonya, terus dia nanya, lagu ini siapa yang akan menyanyikan? Aku bilang, aku sendiri.

Jadi, walaupun sepertinya hanya obrolan ringan tapi sudah ada semacam perencanaan. Siapa yang akan bernyanyi, lagu ini akan dibuat menjadi sesuatu jadi ketika dia sakit, enam hari kemudian, lagu itu jadi menghantui aku. Apakah lagu ini terjadi karena sebuah firasat? Atau prasangka buruk. 

MA: Apa yang kamu rasakan saat itu? Apakah kamu merasa ini ramalan atau mungkin merasakan sesuatu? Karena ini pasti perasaan yang sangat membingungkan, ya?

DL: Ya, itu seperti menghantuiku setiap hari ketika menunggu di rumah sakit karena rasanya seperti naik roller coaster, hari ini dapat kabar bagus, besoknya kabar nggak bagus, kemudian kabar bagus lagi. Setiap kali dapat kabar baik, aku selalu merasa ini hanya lagu biasa aja. Begitu dapat kabar tidak baik, langsung merasa apakah lagu ini akan benar-benar terjadi. Lagu ini seperti menghantuiku berhari-hari, satu setengah bulan tepatnya, sampai akhirnya ketika Reza berpulang aku langsung ingat lagu itu dan aku merasa bahwa itu adalah sebuah panggilan. Bahwa aku harus memproduksi lagu ini karena artinya lagu ini datang untukku dengan tujuan yang sangat istimewa dan aku merasa seperti bertanggung jawab untuk mewujudkannya menjadi sesuatu, aku cerita sama Trinity Optima, perusahaan rekaman yang sudah sering kerja sama bareng aku, dan syukurnya mereka sangat mendukung tanpa negosiasi.

Nama Andi Rianto, dia adalah salah satu orang terakhir yang dia temui sebelum Reza sakit. Jadi kita memang sedang terlibat dalam sebuah proyek bareng untuk buat sebuah lagu. Jadi, Reza lagi kagum-kagumnya sama Andi. Makanya ketika ada niat untuk membuat “Berduka” menjadi single, orang pertama yang aku pikir adalah Andi Rianto yang syukurnya juga langsung mendukung.

MA: Jadi di dalam lagu “Berduka” itu kan jelas, ya, bahwa lagu ini seperti memeluk orang yang sedang berduka. Karena terkadang orang yang sedang berduka itu orang sekitar akan selalu ingin menguatkan. Seperti seakan kita diburu untuk menjadi tidak apa-apa, tapi sebetulnya kan tidak. Biarkan saja kita merasakan, itu adalah salah satu fase. Apa fase yang dialami ketika orang yang kamu cintai itu betul-betul pergi? Bagaimana caramu memproses kehilangan itu sampai menjadi Dee yang sekarang?

DL: Aku pernah baca secara formal ada 6 stages of grief, tapi aku lupa urutannya apa aja. Di dalamnya kalau tidak salah ada kemarahan juga, ada penolakan dan lain sebagainya. Sepertinya kalau aku retrospeksi ke belakang fase itu sepertinya sudah aku bagi dengan ketika merawat Reza di rumah sakit. Fase nggak terimanya, fase marah sama kehidupan sepertinya sudah ada di situ. Sehingga ketika Reza beneran berpulang, aku tidak merasakan 6 fase itu secara runut maupun text book, ya. Tapi sudah lebih bercampur dan yang aku rasakan memang di awal lebih banyak rasanya kekurangan masa berduka ini. Makanya aku bilang, apakah lagu ini seperti menjadi pengingat buat aku? Karena saat lagu ini ditulis tidak ada peristiwa duka jadi itu hanya aku membayangkan saja bagaimana perasaanya, tapi pada saat kejadian, ya seperti itu yang aku rasakan. Bahwa ada keinginan untuk berhenti hanya untuk mengambil napas. 

Ketika Reza berpulang justru banyak sekali peran sosial yang harus ku jalani. Misalnya, mengurus prosesi perabuannya, mengurus dokumennya, itu sesuatu yang masih berjalan dan mengaduk-aduk lumbung emosi dan memori yang kita punya. Bagiku nggak seperti 6 tahapan itu, tapi lebih kepada bermain dengan kesedihan yang seperti gelombang besar, atau kerinduan yang seperti gelombang besar. Saat itu ketika harus nangis, ya aku akan menangis. Aku menangis sejadi-jadinya, aku malah baru punya kesempatan itu setelah prosesi dan proses sosial selesai. Jadi aku bisa berada di rumah, di kamar, dan menangis sama anak-anak, itu justru baru bisa terjadi belakangan.

MA: Aku hanya berusaha membayangkan, ketika Bapakku meninggal, itu sehari setelah dia meninggal waktu aku bangun tidur ada rasa yang aneh. Seperti tidak percaya bahwa orang ini sudah tidak ada lagi, sudah tidak bisa aku ajak bicara lagi. Dee masih ingat nggak, ketika hari pertama bangun dan menghapi ralita baru, apa yang dirasakan saat itu?

DL: Uniknya dengan Reza, di satu sisi dia sudah sangat mempersiapkan kami dari tiga tahun lalu ketika dia pertama tau bahwa di sakit. Perspektif kami terhadap kematian juga sebenarnya bukan sesuatu yang tabu atau harus kita hindari, aku sama dia punya pemahaman yang kurang lebih serupa, tapi memang pada saat itu masih di level pemahaman belum pengalaman. 

MA: Pemahamannya seperti apa?

DL: Kami paham bahwa, kematian dan kehidupan itu seperti kontinuitas, dia hanya berganti format yang artinya kami percaya sebetulnya kamu tidak kemana-mana. Dalam artian, bukan stagnan, tapi sama seperti kita tau bahwa energi itu kekal tidak bisa dimusnahkan, dia kemudian bertransformasi menajdi sesuatu yang baru. Bukan berarti kemudian menjadi terpisah, karena sesungguhnya bagi kami hidup ini justru yang ilusi. 

Jadi ketika dia pergi, aku yang masih harus menjalani ilusi ini. Tapi itu pemahaman, sebuah konsep yang kami percaya, tapi ketika itu terajadi baru aku merasakan pengalaman yang sesungguhnya. Saat di mana tiba-tiba aku merasa kalau hidup itu yang memang begini aja, life is suffering. Dia sudah bebas dan lepas dari segala macam urusan dunia, sementara aku masih harus membalas pesan-pesan belasungkawa orang-orang, aku masih harus berhadapan dengan kehidupan, masih harus ngurus badan ini, masih harus ngurus anak-anak dan rumah. Wow, life is suffering.

Aku juga ngomong ke anak-anak, life is suffering, ya. Terus aku berpikir bahwa saat hidup, kita selalu mengurusi banyak sekali hal yang mungkin remeh dan dari sekian hal remeh yang kita lakukan setiap hari, barang kali kalau kita beruntung kita akan menemukan beberapa hal yang benar-benar berharga. Di situlah aku melihat hidup itu begitu banyak distraksi, begitu banyak hal yang mengambil perhatian dan prioritas kita padahal sebenarnya bukan itu yang paling utama dalam hidup ini,  tapi itulah hidup. Memang hidup begitu. Jadi bagi aku kepergian Reza ini seperti guncangan besar tentang kehidupan, apa yang dulu aku pahami sebagai sebuah konsep tiba-tiba teralami sendiri. 

Sudah hampir seperti semua buku yang aku baca tentang kematian itu tiba-tiba kena semua, it’s beautiful but also overwhelming karena aku merasa ternyata hidup itu begini, apa yang kita tabur, itulah yang akan menjadi testamen kehidupan kita pada akhirnya sehingga, pesan yang aku ambil adalah hidup itu seberapa besar yang kita tinggalkan. Bukan materi yang kita kumpulkan, bukan popularitas, bukan keberuntungan, tapi dampak apa yang kemudian bisa kamu berikan kepada seseorang di level hati mereka, karena itu yang kemudian menggerakkan sekian banyak orang untuk berbuat sesuatu kepada Reza.

Mereka berlomba-lomba untuk memberikan kembali kepada dirinya sebagai bentuk rasa syukur. Bagiku kalau kita bisa 10%nya aja, kita adalah orang yang beruntung karena tidak semua hidup membuka kesempatan untuk kita punya dampak terhadap orang lain, jika kamu punya kesempatan itu, bagi aku di situlah poin utama dari hidup. Bukan apa yang kita akumulasi secara materi. 

MA: Mungkin ini opiniku sendiri, kamu juga melakukan hal itu dengan lagu ini. Kayaknya aku nggak pernah dengar lagu di Indonesia, mungkin juga karena referensiku kurang banyak juga, tapi lagu “Berduka” ini benar-benar mengisi satu emosi yang jarang sekali kita bisa proses secara jujur tanpa diburu-buru. Lagu ini seperti memeluk orang-orang yang sedang berduka, memberikan kenyamanan tersendiri. Sekarang Mas Reza sudah pergi hampir 4-5 bulan, sekarang dirimu lagi di fase apa? Berdukamu sekarang bentuknya seperti apa? Apakah kedukaan itu akan selalu ada dengan ukuran yang lebih kecil, atau bagaimana denganmu?

DL: Dia sakitnya bulan Juli, berpulangnya bulan September, kurang lebih sudah 2 bulan. Aku inget karena mau 100 hari-an Desember ini. Jadi, bagiku kalau sekarang yang sisanya berat untuk diingat itu fase dia sakit. Karena memang di situ lah aku melihat, Reza ini kan sudah tiga tahun sakit, di situ aku memang melihat badan dia secara fisik dia pelan-pelan tergerus sedikit demi sedikit sehingga terakhir-terakhir dia memang sudah rentan sekali badannya. Kalau orang flu, ya minum madu atau obat batuk cukup, kalau dia sampai harus ke dokter paru-paru karena memang itu dampaknya besar sekali ke badan dia. Tapi dia masih menyimpan kecemerlangan berpikir yang tidak turun sama sekali. 

Reza kan sempat tidak bisa berkomunikasi ya, artinya dia memang level kesadarannya, jadi dia tidak bisa berkomunikasi, di situ aku rasanya berat. Karena kecemerlangan berpikir yang dirinya punya juga sudah ikut hilang. Kalau ingat itu aku masih sedih, cuma memang lagi-lagi itu adalah gerbang yang harus dia lalui, dan memang aku lihat oh gitu ya prosesnya. Tentu kita meninggalkan dunia ini dengan cara dan proses yang berbeda-beda, tapi melihat proses Reza tuh dia kayak check out pelan-pelan, bahkan ketika detik-detik terakhir dia berpulang sangat halus, dalam artian tidak ada tercekat dan hilang aja pelan-pelan. Aku lihat, seperti ini ya, dan kalau kamu berinteraksi kematian sebegitu dekat tentu itu akan mengubah kita. Perubahan itu tidak bisa kita batalkan, kita nggak bisa menjadi diri kita yang sebelumnya, seseorang yang belum pernah berinteraksi dengan kematian sebegitu dekat. Aku merasa itu sangat mengubah aku, melihat bahwa life is full of wonder, but death is also full of wonder.

Kalau kita pernah berinteraksi dengan kematian sebegitu dekat tentu itu akan mengubah kita. Perubahan itu tidak bisa kita batalkan, kita nggak bisa menjadi diri kita yang sebelumnya. Aku merasa itu sangat mengubah aku, melihat bahwa life is full of wonder, but death is also full of wonder.

Bagiku itu yang sepertinya masih menginggalkan kedukaan, hanya fase ketika dia sakit. Tapi memori-memori ketika kita bareng, melihat dia kerja, interaksi dengan anak-anak, itu semuanya hanya mendatangkan perasaan bahagia. Bahkan, di momen ketika kita ribut, aku tuh sama Reza sering ribut sebenarnya, karena Reza adalah orang yang sangat detail dan dia nggak bisa “udahlah” orangnya, tuh, jadi tetap harus dikejar sampau selesai. Jadi di situ kita sering ribut mendiskusikan banyak hal sampai berjam-jam, bahkan momen itu bagiku tetap kenangan bahagia. Hanya waktu dia sakit aja yang rasanya berat. 

MA: Bisa dibilang, karena kamu sangat dekat bersama, padahal baru dua bulan, bahkan ada beberapa orang di dekatmu yang mengatakan “aku kagum melihat Mba Dee itu tenang sekali”. Jadi, apa yang membuatmu begitu tenang, apalagi aku cuma bisa bayangin bahwa ini orang yang kamu cintai sekali. Kamu sudah membangun hidup dengan dia, memiliki anak dengan dia, membangun koneksi yang begitu erat tidak hanya sebagai kekasih, suami, tapi juga sebagai teman intelektual. Tapi kamu terlihat begitu tenang soal hal ini, apa yang ada di pikiran dan perasaanmu, bagaimana kamu membuat dirimu bisa begitu tenang dan tetap berfungsi?

DL: Kemarin sempat ada yang tanya, apakah ada hal yang ingin aku sampaikan ke Reza tapi belum sempat? Aku berpikir, kayaknya nggak ada, karena kami membicarakan segalanya. Kita membicarakan semua hal, jadi saat terakhir apalagi tiga tahun terakhir ketika dia sakit, kami itu sangat dekat, sebagai keluarga kita sangat dekat. Bagi aku itu sangat amat membantu, ketika dia berpulang justru, karena aku merasa tidak ada banyak penyesalan. Rasa penyesalan aku lebih kepada, andaikan aku tau dia hanya empat hari di rumah aku mungkin akan nginep di lantai walaupun dia juga sudah tidak bisa berkomunikasi, nggak akan aku tinggalkan empat hari itu. Aku akan benar-benar bersama dia, hanya itu aja. Seputar yang sifatnya tidak sampai melumpuhkanku, penyesalannya sesuatu yang aku masih bisa hadapi. 

Kedua, adalah karena faktor persiapan tadi, bahwa pembicaraan akan kematian itu sudah menjadi hal yang biasa diantara kami berdua, karena Reza itu orang yang sangat realis cenderung pesimis. Dia bilang, dengan kondisi dia statistiknya sekian persen orang yang selamat. Jadi, kemungkinan besar aku nggak akan selamat, jadi kamu harus menyiapkan diri, saya juga harus meyiapkan diri. Sehingga bagi kami pendekatannya sudah tidak lagi terlalu emosional. Tapi ketika ada hal-hal emosional yang muncul karena dia membekaliku dengan banyak modalitas, dengan banyak cara mengendalikan.

Jadi aku memproses diriku setiap hari. Dia kan guru TAT (Tapas Accupressure Technique), jadi itu yang dia lakukan untuk bantinnya dan ada beberapa yang lain, itulah yang aku lakukan setiap hari, karena aku tau kalau aku tidak melakukan itu akan banyak sekali tumpukan emosi, pikiran, keresahan kekalutan yang bisa menjadi faktor besar untuk melumpuhkanku ketika hal yang lebih besar terjadi. Sehingga, dengan mencicil proses tersebut aku bisa berfungsi.

Ketiga, adalah sense of duty. Ini juga sesuatu yang aku rasa dibekali oleh Reza. Reza adalah orang yang rasa bertanggung jawabnya tinggi sekali dan itu tercerminkan ketika dia bantu management aku dan dia menjadi semacam konsultan untuk pekerjaan-pekerjaanku. Buat dia tangung jawab itu nomor satu. Ketika dia berpulang, mau nggak mau semua tanggung jawab yang sifatnya teknis itu jatuh ke tanganku, dari mulai mengatur keuangan, mengatur operasional rumah, kemudian termasuk prosesi-prosesi yang harus dijalani, dua hari setelah Reza berpulang itu dua hari yang sangat padat. Aku bisa berfungsi karena rasa tanggung jawab, itu adalah tugas aku dan mau nggak mau, ya, jalani. Sepertinya itu yang kemudian orang persepsikan sebagai Dewi sangat tenang dalam hal ini, karena sudah dicicil sebenarnya. 

MA: Kamu juga sempat bilang soal rasa tanggung jawab. Nah, kamu kan juga ibu dari dua anak. Bagaimana Dee membantu anak-anak ini memproses kepergian ayahnya, di saat yang sama Dee juga harus memproses hal ini. Tapi kamu juga harus membantu anak-anak agar mereka bisa memahami kejadian ini dengan cara yang paling halus dan juga masuk akal. Bagaimana kamu melakukannya?

DL: Pertama adalah bicara sama mereka. Ketika Reza sakit setelah sekian hari, mungkin tiga atau empat hari aku panggil anak-anak terus aku bilang ada dua kemungkinana, Papa bisa pulang atau Papa nggak pulang. Ini kemungkinan yang harus kita hadapi bersama, dan ini tidak akan mudah, tapi di sela waktu ini Mama yang harus jagain kalian semua, tapi aku tidak selamanya kuat, ya, barang kali ada saat-saat dimana Mama juga butuh kalian. Kalau kalian punya perasaan apapun jangan ragu untuk ngomong sama Mama. Kalau kalian sedih, kalau kalian takut bicara sama aku dan kalau Mama sedih atau takut Mama juga akan ngomong sama kalian. Karena nggak ada yang lebih ngerti situasi ini selain kita. Sama orang luar, terbatas hanya kepada keluarga-keluarga dekat yang memang ikut nungguin dan sebagainya. 

Teman aku aja nggak ikut merasakan interaksi sehari-hari sama Reza, yang merasakan tentu kami yang di rumah. Jadi, yang pertama aku lakukan adalah mengatur ruang untuk anak-anak, bahwa ini ruang kita bersama, dimana kamu bisa rapuh, aku juga bisa rapuh tapi kita harus percaya satu sama lain. Di situ kita nangis dan sebagainya, lalu aku tanya, kalian punya rasa sesal apa? Terus aku akan bantu, dengan TAT itu aku bantu walaupun aku bukan terapis professional tapi aku bantu mereka. Jadi aku bilang oke hari ini sesinya Atisha besok sesinya Keenan. Aku cek bagaimana perasaan mereka hari ini. Itu yang selalu aku cek, setiap harinya, tanya apa yang kalian rasakan. Mereka juga udah tau karena aku sudah bilang, kalau aku tiba-tiba mengetuk kamar mereka dan nangis, ya sudah berarti Mama lagi rapuh. Dan itu terjadi. 

MA: Ketika kamu berduka, kadang orang sekitar entah itu keluarga atau teman juga mengkhawatirkan kamu dan anak-anak. Mungkin ada yang setiap hari cek keadaanmu. Apakah itu sesuatu yang kamu butuhkan atau kamu justru lebih ingin diberi waktu untuk memproses ini dulu? Kadang orang berbeda-beda, pusing juga membalas pesan tapi bingung karena tau mungkin itu karena mereka khawatir. Gimana perasaanmu, oke dengan atensi itu setiap hari dari mereka yang sayang banget sama kamu dan ingin memastikan kamu oke atau lebih butuh waktu sendiri?

DL: Sejujurnya diriku tidak punya preferensi, kamu bisa berlaku seperti apapun kepada aku, tapi memang jujur tidak selamanya semua pas datangnya, terutama ketika jagain Reza aku seperti ngisi absensi karena harus update sekian banyak orang yang tanya. Mungkin dari sekian itu hanya sedikit yang bertanya, aku gimana? Tapi aku juga mikir kalau aku ditanya aku harus mikir lagi perasaanku gimana, harus ngetik lagi. Jadi, ada hari dimana aku lebih seneng dikasih ruang tapi juga ada hari-hari yang aku tidak mempermasalahkan perhatian yang diberikan. Hanya saja, ini sesuatu yang kita nggak bisa kendalikan, kalau mereka mau kasih perhatian kita nggak benar-benar bisa mengontrol itu. Jangan kontak aku hari ini, ya, kan nggak bisa juga.

Jadi bagiku, ini seperti menari bersama orang-orang disekitarku. Hal yang terkadang membuat aku merasa tidak pas adalah ketika ada yang bilang, kamu harus kuat di depan anak-anak. Pada orang yang sedang berduka atau orang yang sedang dalam kondisi sulit, menurut aku prinsipnya adalah kita jangan sok tau. Kita jangan membawa harusnya kita untuk mereka. Termasuk ketika ada yang bilang pada aku, bahwa aku harus sendirian atau aku harus tidak apa-apa, padahal aku memang baik-baik saja. 

Hal yang terkadang membuat aku merasa tidak pas adalah ketika ada yang bilang, kamu harus kuat di depan anak-anak. Pada orang yang sedang berduka atau orang yang sedang dalam kondisi sulit, menurut aku prinsipnya adalah kita jangan sok tau. Kita jangan membawa harusnya kita untuk mereka. Termasuk ketika ada yang bilang pada aku, bahwa aku harus sendirian atau aku harus tidak apa-apa, padahal aku memang baik-baik saja. 

Lalu kemudian mereka yakin bahwa aku tidak baik-baik saja. Dalam hati aku pikir, kenapa dia begitu sok tau banget? Kenapa dia yakin sekali aku tidak baik-baik saja? Jadi bagiku yang kadang ganggu adalah si “harus” ini. Harus kuat, harus nggak apa-apa, harus sedih. Ketika aku kelihatan pergi sama teman, mereka menanyakan kenapa aku nggak sedih sendirian? Ya ini kan pilihanku juga. 

MA: Apakah saat kita kehilangan seseorang yang kita cintai, menjadikan kita pribadi yang tidak utuh? Kalau iya, bagaimana berdamai dengan itu?

DL: Aku adalah orang yang percaya bahwa keutuhan itu harus kita miliki sendiri. Jadi ketika kita menemukan orang lain, kita bukannya menemukan keutuhan kita di orang lain tapi kita berbagi keutuhan. Jadi bukan berarti kalau tidak ada orang tersebut kita tidak lagi utuh, tapi saya harus utuh dulu, dengan modal ini kita berbagi. Kalau buat aku, ada yang memaknai saat menemukan jodoh seperti menemukan kepingan yang hilang. Kalau menurutku, kita adalah dua puzzle yang berkolaborasi. Mungkin ada konsep kolaborasi, artinya apa yang aku tidak punya, aku bisa belajar itu dari orang lain, dia juga bisa menjalankan peran-peran tersebut buat aku, tapi secara internal menurutku kita harus menjadi pribadi yang utuh dulu. Itu yang akan memudahkan kita untuk menemukan seseorang atau bahkan tidak menemukan seseorang pun tidak apa-apa. 

Aku adalah orang yang percaya bahwa keutuhan itu harus kita miliki sendiri. Jadi ketika kita menemukan orang lain, kita bukannya menemukan keutuhan kita di orang lain tapi kita berbagi keutuhan. Jadi bukan berarti kalau tidak ada orang tersebut kita tidak lagi utuh, tapi saya harus utuh dulu, dengan modal ini kita berbagi. Kalau buat aku, ada yang memaknai saat menemukan jodoh seperti menemukan kepingan yang hilang. Kalau menurutku, kita adalah dua puzzle yang berkolaborasi.

Seperti misalnya sekarang aku kehilangan Reza, tentu ada luka, tapi akhirnya luka itu menjadi bagian dari diriku, sama seperti kita punya luka, lalu kemudian meninggalkan bekas dan itu mungkin tidak cantik tapi dia menjadi jaringan yang baru walau bentuknya tidak lagi sama. Tapi dia menjadi bagian dari diri kita yang baru, dia menjadi semacam penanda hal-hal yang sudah kamu lalui dalam hidup. Apakah kita bisa merasa tak utuh saat kehilangan? Bisa jadi. Karena luka itu tadi, sebagian dari kita seperti terkupas tapi diri kita bisa meregenerasi jaringan baru, kesembuhan baru, walaupun kita bukan manusia yang sama lagi karena luka itu berubah menjadi sesuatu yang formatnya sedikit berbeda tapi tetap menjadi bagian dari kita. 

MA: Mungkin ini sudah sempat dibahas tapi kalau ada tambahan boleh dielaborasi lagi. Bagaimana caramu menguatkan diri dan keluarga? 

DL: Kalau buat aku yang pasti segala ketidaknyamanan itu akan lewat, sama halnya dengan segala kebahagiaan itu juga akan lewat. Tidak ada sesuatu yang menetap untuk selamanya. Kadang kita yang melekat sama mereka, mengidentifikasi diri dengan mereka yang membuat orang kemudian berlarut-larut dalam kesedihan, kemudian terlalu kehilangan ketika rasa bahagia itu nggak ada. Padahal sebenarnya ketika kita melepaskan ikatan atau kelekatan kita dengan itu semua, kita bisa menjadi kanvas yang kosong lagi dan rasa bahagia baru bisa hadir tentu saja rasa sedih yang baru bisa hadir. Itu hidup. Bagiku ketika kita tidak mengidentifikasi diri kita dengan segala hal terlalu kuat, kita justru punya fleksibilitas untuk menerima apapun yang hadir dalam hidup kita dan itu yang menurut saya menjadi sumber penguatan sebenarnya. 

Kalau buat aku yang pasti segala ketidaknyamanan itu akan lewat, sama halnya dengan segala kebahagiaan itu juga akan lewat. Tidak ada sesuatu yang menetap untuk selamanya.

MA: Bagaimana mengatasi kekecewaan dalam konteks kadang saat kita menghadapi kepergian orang yang dicintai pasti muncul pertanyaan kenapa ini harus terjadi? Meski sedikit saja apakah kamu mengalami ini? Kalau ada, bagaimana kamu mengatasinya?

DL: Bagiku itu datangnya dari pemahaman, itu yang akan menjadi fondasi. Kalau kacamata kita retak, kita akan melihat dunia ini retak semua, atau kalau kacamata kita biru, semua hal yang kita lihat jadi biru. Jadi kacamata itu yang sangat penting. Memang kemarin ini kacamata yang aku pakai untuk melihat kematian adalah bagian integral dari kehidupan, makanya tadi ada satu level tentang pemahaman. Ketika kita mengalami, tetap nggak mudah, tetap ada pertanyaan kenapa, kecewa, dan sebagainya, tapi karena tau bahwa ini memang harus terjadi hanya saja saya butuh waktu untuk memprosesnya hal itu kemudian membuat kita punya jarak dan tidak berkembang di dalamnya. 

Sebenarnya kenapa ini bisa aku konotasikan sebagai sebuah kekecewaan, itu datang dari ekspektasi. Mungkin ekspektasi kita yang ketinggian atau ekspektasi kita terlalu diagung-agungkan sehingga jika ada yang tidak tercapai itu rasanya hancur sekali. Tidak usah terlalu melekat dengan ekspektasi kita ini, karena hidup itu selalu penuh kejutan, ketika kita tau bahwa ini kejutan hidup, nggak enak tapi segala sesuatu itu pasti akan berlalu. Ketidakenakan itu juga akan berlalu, kekecewaan itu juga akan berlalu kalau kita izinkan. Kadang kita bertanya kenapa saya bertanya kenapa? Kita ingin berada di fase penerimaan.

Misalnya, kok aku nggak bisa seperti Mba Dewi? Kenapa aku seperti ini? Jadi bagi aku juga perbandingan juga sesuatu yang sangat licin menjebak kita dalam ekspektasi. Jadi memang ekspektasi ini yang pertama-tama jangan kita pegang terlalu erat karena ini rentan mengundang rasa kecewa. 

MA: Kapan dan apakah kita bisa benar-benar keluar dari kedukaan?

DL: Aku baru dua bulan, ya, kalau aku bilang pasti mungkin akan terdengar sok tau tapi gelagatnya bisa, kok. Kalau ditanya kapan persisnya, aku nggak tau tapi apakah bisa, iya. Hanya saja kedukaan ini akan menjadi sebuah bekas yang tidak akan bisa kita ganti dengan kebahagiaan. Kenangan sedih akan selalu terasa sedih. Ketika aku membayangkan Reza sakit, itu fase yang berat, mungkin 10 tahun kemudian aku akan tetap mengingat itu sebagai sebuah memori yang menyakitkan. Dia tidak akan kemudian menjadi kenangan bahagia. Itu tidak akan mengubah sesuatu yang sifatnya adalah keduakaan menjadi kegembiraan tapi buat aku lebih kepada penerimaan terhadap kondisi berduka tersebut yang kemudian mengakibatkan kita bisa berjalan ke depan karena kita sudah bisa menerima. Bagi aku sebenarnya kita keluar dari kedukaan dalam artian menerima dan membawa itu sebagai bagian dari diri kita yang baru. Aku nggak bisa menghapus kenangan ini. Itu jadi satu paket yang harus aku bawa terus. 

MA: Bagaimana kamu akan mengenang Reza seterusnya?

DL: Bahkan pertanyaan ini sudah menghadirkan senyum di wajahku. Beneran, karena aku bahagia sekali kalau mengingat dia. Banyak sekali kenangan bahagia yang aku punya. Bagaimana aku mengenang Reza, sepertinya cara terbaik yang bisa aku lakukan adalah aku mau menulis sesuatu, karena ketika aku menulis sesuatu aku seperti terhubung ke sebuah inspiration realm dan ini sebuah dunia yang tak terikat dengan ruang dan waktu. Bagiku hidup yang lebih besar terjadi di dunia yang seperti itu. Kalau aku bisa terkoneksi dengan dia lewat tulisan, aku menjadi terhubung dengan dia di level yang sangat intim. Mungkin aku akan menuliskan sesuatu tentang dia atau mengintisarikan pemikiran-pemikiran dia, aku belum tau formatnya apa. Tapi aku mau melakukan itu. Kalau ingat dia aku pasti akan ingat dia selalu dalam berbagai langkah kehidupanku tapi melalui karya aku yakin itu bisa memberikan koneksi yang lebih dalam dengan Reza

MA: Terima kasih banyak Dee sudah berbagi, bercerita, dan kembali mengingat bersama Mas Reza. Interkasiku dengan Mas Reza mungkin tidak terlalu banyak tapi aku sangat setuju bahwa Mas Reza sudah menanamkan begitu banyak bunga di dalam kita semua. Sehingga ketika dia pergi tiba-tiba seluruh bunga itu mekar. We give you and your children love. 

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024