Teman saya ini unik. Suatu hari ia mengirim pesan singkat dan bilang bahwa ia tidak akan lagi bisa dihubungi lewat aplikasi chat Whatsapp karena ia telah beralih menggunakan ponsel jadoel yang sempat naik daun di akhir tahun 90an. Dumbphone, ponsel yang hanya bisa menelepon, menerima telepon dan berkirim SMS. Sejak keputusannya itu, moda komunikasi kita, ya kalau tidak lewat telepon, ya berkirim kabar singkat atau panjang lewat SMS atau surat elektronik.
Ketika ingin bertatap muka, kita bertemu di suatu taman, ngobrol santai. Saya sambil ngopi, dia sambil membawa belanjaan makanan sehat yang tersimpan dalam kotak-kotak yang ia telah bawa sendiri dari rumah, mencoba untuk lebih eco-friendly.
Saya bercakap bersama seniman Muhammad Khan, mendengarkannya berbagi tentang keuntungan dan kerugian meninggalkan smartphone; fenomena pertemanan yang nyata dan tidak nyata di medsos; pencitraan manusia secara virtual; dan bagaimana ia merebut kembali waktu yang dulu terbuang di dunia maya untuk hal-hal yang membawa kenikmatan nyata dalam hidupnya.
Marissa Anita (M): Bagaimana kesanmu setelah sebulan lebih nggak lagi pakai smartphone?
Muhammad Khan (K): 16 Desember adalah hari pertama aku nggak pakai smartphone (ponsel pintar). Aku matikan, aku simpan. Hari itu terasa sunyi banget. Waktu aku di Cirebon [syuting film]. Pikiranku hanya ada di sepetak kamar itu saja. Yang aku pikirkan saat itu hanya syuting. Sebelumnya, waktu masih pakai ponsel pintar, karena scrolling media sosial, pikiranku selalu mengembara kemana-mana.
Yang jelas, aku mengalami beberapa kesulitan. Contoh, suatu waktu aku perlu ke minimarket untuk tarik uang. Karena aku berada di tempat baru [Cirebon], untuk pergi ke minimarket dari hotel, aku lihat dulu aplikasi peta yang ada di tablet. Setelah itu, aku bawa hapeku yang kecil. Kalau-kalau ada masalah, yang penting ada yang bisa dipegang. Pas aku jalan, aku mencoba untuk mengingat apa yang sudah aku pelajari di aplikasi peta tadi dan ketemu. Tanpa ponsel pintar, kita dipaksa untuk smart (pintar). Kita memaksa otak kita untuk menghafal jalan. Aku merasa smartphone membuatku malas berpikir karena apa-apa sudah ada semua.
Satu kerepotan lagi ketika nggak punya smartphone, waktu mau pergi untuk tes swab antigen yang drive through. Untuk pesan alat transportasi online, aku harus mengeluarkan tablet [yang ukurannya besar] dari tas. Kalau mau menunjukkan sesuatu, harus mengeluarkan tablet. Karena selalu ada effort (usaha) mengeluarkan tablet, maka aku gunakan tablet untuk hal yang bersifat praktis saja. Aku gunakan sesuai fungsinya saja.
M: Tablet kamu pakai kartu SIM?
K: Ada. Smartphone sama tablet sebetulnya hampir sama. Yang membedakan ukurannya saja. Dulu ketika aku pakai smartphone, masalah utamaku ada di Whatsapp dan Instagram. Aku merasa, mungkin karena smartphone itu gampang di raih dari saku, sehingga kemampuan mendistraksi penggunanya sangat cepat.
Lagipula kalau email dan baca naskah lebih enak pakai tablet karena lebih besar layarnya.
M: Aku merasa Whatsapp adalah aplikasi produktivitas karena koordinasi biasanya lewat aplikasi chat. Apa yang membuat Whatsapp malah jadi distraksi buatmu?
K: Aku merasa jaman sekarang menghubungi orang itu sangat gampang sekali. Untuk meminta nomor Whatsapp semudah itu.
Misal ada orang chat aku di IG, terus minta nomor Whatsapp-ku. Ketika dia mengirim pesan, pesan-pesannya basa-basi yang menurutku nggak penting, ‘Lagi apa?’ Jenis komunikasi seperti ini yang membuatku terganggu.
Kemudian, di Whatsapp itu banyak sekali grup. Aku mungkin mengalami FOMO (takut ketinggalan berita) karena aku selalu kawatir kelewatan chat. Ini menimbulkan keinginan untuk ngecek hape berulang-ulang sampai mindles* (buka-buka hape tanpa tujuan yang jelas).
Whatsapp menuntut aku untuk bersosialisasi. Kalau kita terlalu diam di Whatsapp, kayak gimana gitu lho mbak.
Aku akhirnya berpikir bagaimana caranya aku nggak ada di WA, tapi aku punya alasan yang tepat kenapa aku nggak punya WA. Kalau aku nggak ada WA tapi masih punya smartphone, orang akan tanya kenapa nggak unduh WA. Tapi kalau hapeku dumbphone, orang nggak akan tanya lebih. Aku cuma mau meringkaskan penjelasan saja.
M: Profesimu sebagai orang aktor. Bagaimana orang menghubungimu untuk urusan pekerjaan? Banyak casting director yang sering WA dulu. Adakah kehilangan kesempatan kerja?
K: Sebelum aku memutuskan untuk tidak pakai smartphone, aku hubungi manajerku Nikita. Aku ceritakan kegelisahanku dan keinginanku nggak lagi pakai smartphone. Aku tanya dia kira kira ini akan menyulitkan atau tidak? Aku kaget dengan jawaban dia. Dia sangat mendukung banget. ‘Kalau itu yang paling nyaman buat kamu, ayo kita coba,’ dia bilang. ‘Kamu kasih aku waktu satu minggu untuk mempersiapkan sistem yang baik supaya bisa komunikasi dengan lancar.’
Instagramku sekarang juga cuma ada sembilan postingan. Dulu ada tiga ratusan postingan, sudah aku archive semua. Jadi tinggal sembilan postingan yang menurutku penting untuk portofolio saja. Dalam IG aku kasih kontak Nikita. Ini membawa perubahan cukup besar ke aku.
M: Dalam hal?
K: Dulu aku sibuk bentar-bentar posting aku sarapan lah. Aku sempat aktif di medsos. Waktu aku nggak hadir di medsos satu dua minggu, nggak ada kok orang yang nanyain ha ha ha.
Ada sih satu dua orang yang tanya, aku bilang aku lagi berjarak sama media sosial. Aku banyak nontonin video tentang alasan kenapa orang keluar dari medsos dan kenapa orang yang nggak pakai smartphone bisa lebih bahagia. Aku merasakan itu. Dulu, setiap kali aku ngecekin IG, aku merasa my life is shit (hidupku buruk).
Hidup orang lain terkesan semua bagus padahal karena yang diposting hal-hal yang bagus-bagus aja kan? Aku yakin mereka nggak benar-benar jujur seratus persen dengan apa yang mereka posting karena itu persoalan pencitraan.
Ketika aku jarang buka medsos dan berhenti menggulir layar terus-terusan, aku jadi nggak tahu kehidupan mereka seperti apa. Dan kalau pun aku ingin tahu, aku bisa telepon mereka dan kita ngobrol. Menurutku cara membangun komunikasi yang baik tidak lewat medsos. Kalau kita memang benar-benar kawan yang baik, ayo kita telepon, kita ngobrol.
M: Kamu selama pakai dumbphone, adakah hal-hal yang kamu kangenin dari menggunakan smartphone?
K: Ada. Pasti ada. Yang aku kangenin kepraktisannya.
Yang paling aku kangenin aplikasi peta dan transportasi online. Lebih enak di smartphone karena kecil. Sekarang pakai tablet, ribet. Tapi justru keribetan ini membuatku jadi malas untuk terikat dengan barang ini.
Aku ingat momen tahun baru pertamaku indah banget. Kalau lihat kembang api biasanya ingin ambil gambar. Gambar-gambar yang hanya nongkrong di hape. Aku sadar, ternyata kita nggak butuh kamera [untuk mengabadikan momen]. ‘Kamera’ yang betul adalah hati dan pikiran kita untuk merasakan momen saat itu dan itu indah banget. Hal berharga buat aku sekarang adalah hadir, being present.
Aku sadar, ternyata kita nggak butuh kamera [untukmengabadikan momen]. ‘Kamera’ yang betul adalah hati dan pikiran kita untuk merasakan momen saat itu dan itu indah banget. Hal berharga buat aku sekarang adalah hadir, being present.
M: Dari pertemanan ada yang berubah nggak dari pilihan hidup ini?
K: Ada banget. Aku merasa setelah aku nggak pakai smartphone aku merasa seperti nggak punya teman. Aku menyadari ada orang-orang lebih suka berkawan di medsos daripada berkawan secara nyata. Kayak aku dan kamu, kita berkawan secara nyata. Pertemanan kita tidak dibangun lewat media sosial. Kalau kita benar-benar berteman, biar pun nggak berteman di medsos, kita tetap berteman.
Pertemanan kita tidak dibangun lewat media sosial. Kalau kita benar-benar berteman, biar pun nggak berteman di medsos, kita tetap berteman.
M: Berteman di medsos maksudnya?
K: Misal, dulu ada satu, dua orang yang kalau aku komentar di halaman medsosnya, dia langsung membalas. Tapi kalau di WA, dia jarang membalas. Padahal WA itu kan lebih personal.
Aku sadar, kalau di medsos ada kebutuhan pencitraan. Ada image (citra) yang sedang ingin dibangun. Berteman di media sosial terkadang ada kepentingan-kepentingan khusus. Kalau di WA, pertemanan kita kan nggak dilihat oleh siapa pun. Dan itu lebih nyata menurutku.
Kapan hari ada salah satu temanku yang kirim email, tapi kirim email seperti orang WA, ‘Man, piye kabarmu? Nomer WA-mu ganti po?’ Aku balasnya panjang banget. Aku ceritalah soal hidupku, ‘Kamu apa kabar? Semoga jawabanmu nggak cuma kabarku baik saja tapi ada yang lebih yang kamu ceritakan. Karena kita sudah lama banget nggak ketemu.’
Sampai sekarang nggak dibalas. Mungkin lupa ha ha ha. Aku mikir, ya kalau orang lupa terhadap sesuatu itu berarti sesuatu itu nggak terlalu penting. Atau mungkin dia pikir kalau surat elektronik butuh usaha. Beda sama WA atau Direct Message.
Jujur aku nggak terlalu suka chatting karena itu buang waktu.
M: Betul. Bolak-balik kan?
K: Ya, nggak sekalian, icrit-icrit, dikit-dikit. Itu nggak efektif. Akhirnya aku terapkan sama Nikita mendingan setiap hari kita jadwalin telepon dua, tiga menit untuk laporan kabar atau progres sehingga informasinya sekalian.
M: Transisimu ke dumbphone ini apakah fase saja atau permanen dalam hidupmu?
K: Aku sebetulnya nggak pernah merasa kehilangan fungsi dari smartphone itu? Aku selalu punya tablet sehingga aku nggak pernah berpikir untuk ingin kembali lagi menggunakan smartphone.
Kemungkinan untuk kembali pakai smartphone ada aja sih, hanya dalam situasi misalkan aku sudah nggak kerja bareng Nikita lagi.
M: Kalau orang mau meninggalkan kebiasaan lama dan membentuk kebiasaan baru, pasti ada kegiatan pengganti. Waktu yang dulu kamu gunakan berkutat dengan ponsel, sekarang kamu isi dengan aktifitas apa?
K: Yang pasti aku tetap harus punya gadget. Aku sekarang punya tablet, Kindle (buku elektronik) dan MP3 Player. Dulu di ponsel, waktuku banyak habis di Instagram dan Whatsapp. Benar benar menyita waktuku banget. Sejak berjarak dengan IG dan WA (IG jadi pasif banget), aku jadi punya banyak waktu mendengarkan buku audio. Aku membangun kebiasaan baca buku lagi lewat buku elektronik juga.
Aku sebetulnya agak kesal dengan dumbphone ini karena sinyalnya susah banget. Mungkin karena dia cuma mengcover 3G. Ke mall baru di lantai 3 sudah nggak ada sinyal. Tapi ada nikmatnya juga karena nggak gampang teralihkan perhatiannya. Orang jadi nggak semudah itu menghubungi.