Saya terakhir kali bertemu dengan teman bicara saya hari ini sekitar beberapa minggu lalu. Dia belum lama ini menyelesaikan kuliah S2 di Amerika Serikat. Saya secara pribadi selalu senang jika mendengar ada perempuan yang sekolahnya tinggi, dia bisa bebas mengekspresikan diri, bebas belajar, bebas berkarya dan juga tidak hanya memajukan keahlian dirinya sendiri tapi juga lingkungan sekitarnya.
Salah satu kegiatan yang ia suka, tidak hanya menulis, adalah mengurus yang hijau-hijau. Entah itu mengurus tanaman di rumahnya atau juga menjadi investor e-commerce penjual produk pertanian. Saya bercakap bersama Maudy Ayunda.
Marissa Anita (M): Hai, Maudy!
Maudy Ayunda (MA): Halo! Halo Greatminders! Greatminders, ya, panggilannya?
M: Iya, terima kasih, lho, sudah disapa.
MA: I’m happy to be here. Aku kebetulan juga a big fan of Mba Marissa. It’s a pleasure to meet you again, one on one.
M: Maudy apa kabar? Lagi seneng ngerjain apa akhir-akhir ini?
MA: Kabar baik, aku sekarang ini lagi sibuk promo film yang akan keluar, 18 November ini, “Losmen Bu Broto”. I’m really excited about that. Ada proyek satu lagi, book soundtrack dari Rapijali. Itu konsepnya keren banget, ya. Maksudnya, Mba Dewi menulis buku Rapijali, ada tiga buku. Di luar buku, ada lagu yang menceritakan setiap karakter. Aku menyanyikan salah satu lagunya “Awal Mula” yang menggambarkan ceritanya Ping, karakter utama di buku. Di luar itu ada serabutan juga lah, proyek di sana-sini.
M: Ini memang menarik sekali cerita si Ping ini. Aku juga lihat di media sosial kamu dan juga media sosialnya Mba Dee, senang sekali dengan kolaborasi ini, di mana kamu menyuarakan karakternya Ping. Pada saat Mba Dee ngobrol sama kamu, apa yang membuatmu merasa yes, I wanna do this?
MA: Faktor pertamanya adalah Mba Dewi memang orang yang keren banget di mata aku. Dari sisi (sebagai) penulis. Aku juga pernah punya pengalaman menyanyikan lagu Mba Dewi, “Perahu Kertas” dan “Tahu Diri”. Selalu indah. Aku juga merasa sangat cocok. Waktu awal tahu, it’s a no brainer honestly. Aku selalu merasa apa pun tentang Mba Dewi I’ll support. Awal mula pada saat itu memang lagu yang sangat stand out, karena lagu ini terdengar seakan internal dialogue. Di verse pertamanya kan Ping ngomong, “wahai cermin di dinding'' dan menyampaikan banyak pertanyaan kepada dirinya sendiri. There is something magical in that process, this girl is so mature and so full of curiosity. Hal itu yang terasa beresonansi dengan diriku.
M: Menarik! Bagaimana atau apa (bagian karakter) dari Ping yang kamu rasa dapat kamu mengerti?
MA: So, (di lirik lagunya) dari mana semua ini?. Karena Ping ini kan anak SMA di buku pertama. Membayangkan seorang anak yang mempertanyakan pertanyaan yang sangat dalam tentang hidup. Dari mana semua ini? Semua orang bilang jangan, nggak usah dipikirkan. Jadi dia (Ping) adalah seseorang yang penyendiri, pemikir, filosofis jadi di sisi itu aku bisa relate. Karena aku pun (jurusan) S1 tentang filosofi dan lain-lain. Aku sangat suka mempertanyakan hal. Sejujurnya mungkin ini membuat beberapa orang di sekitarku nggak nyaman juga. Terlalu banyak nanya, kritis, tapi aku merasakan jiwa dari anak perempuan yang penuh rasa ingin tahu. Walaupun konteksnya bukan tentang mencari sosok Ayah atau orang tua, tapi mengenai keinginan mendalam mencari tahu tentang banyak hal.
M: Kalau SMA mungkin sekitar usia 17. Nah, ada satu istilah dalam psikologi “Quarter Life Crisis” kamu familiar nggak dengan istilah ini? Pengertian kamu ketika mendengar ini apa?
MA: Familiar. Pertama kali aku mendengar ini yang aku pikirin adalah aku relate dan aku pernah mengalaminya juga.
M: Masa? Aku pernah riset-riset, nih. Aku berpikir, apakah aku pernah mengalami ini? Mungkin beda generasi beda isu. Menurut kamu apa itu quarter life crisis?
MA: Quarter life crisis itu satu titik atau fase di umur 20-an, menurut pemahamanku, di mana seseorang merasa resah atau kurang nyaman dengan dirinya sendiri atau apa yang terjadi di sekitar mereka. Mungkin terjadi karena konflik internal dan pendewasaan juga di usia 20-an. Seperti “Oh, aku menyadari aku harusnya punya kontrol akan hidupku tapi aku nggak tahu, apa iya? Karena ini masa transisi kita yang tadinya adalah anak dari orang tua. Menurutku ini adalah waktu kita mempertanyakan banyak hal, “apa yang sebenarnya ingin aku lakukan?”.
Aku merasa sebelumnya aku ada dalam mode autopilot dan aku mengikuti arahan orang lain, sekarang aku harus memutuskan, and it’s overwhelming. Menurutku, itu pemahamanku tentang quarter life crisis, aku yakin akan ada banyak pemahaman lain akan hal ini. Tapi aku dan teman-teman aku ya, sekitar umur 20-an mengalami ini.
M: Aku pun sempat cari tahu soal ini, karena selama ini biasanya kita ngomongin soal midlife crisis. Nah, menurut kamu, kamu merasakan quarter life crisis karena apa? Karena aku rasanya tidak merasakan ini.
MA: Ini kombinasi banyak hal. Pertama dari sisi menjadi seorang anak dan itu menenangkan tapi tiba-tiba aku harus membuat keputusan terhadap diriku dan hal ini bisa menyebabkan depresi. Di luar itu, mungkin yang over complicating adalah media sosial. Menurutku melihat bagaimana orang lain menjalani hidup dan melakukan sesuatu juga entah bagaimana menimbulkan social anxiety. Tidak hanya kita harus membuat keputusan tapi pilihannya juga tak terbatas dan di waktu bersamaan tidak mungkin dicapai.
Menurutku melihat bagaimana orang lain menjalani hidup dan melakukan sesuatu juga entah bagaimana menimbulkan social anxiety. Tidak hanya kita harus membuat keputusan tapi pilihannya juga tak terbatas dan di waktu bersamaan tidak mungkin dicapai.
Aku juga jadi mendeliberasi banyak hal, “apakah hanya ini yang bisa aku lakukan?” “Bagaimana aku tahu ingin menjadi orang seperti apa aku di masa depan?” dan it’s overwhelming. Aku nggak pernah ngeh ada satu titik di hidup aku di mana aku harus membuat keputusan sendiri. Ternyata aku adalah individu yang berbeda dari keluarga dan orang tuaku, bahkan bisa sangat beda. Aku baru sadar hal ini di usia 20-an ini membebaskan tapi juga menakutkan.
M: Krisis itu kan bisa dilihat dari sisi bagusnya karena bisa jadi pendorong dalam hidup kita. Saat itu bagaimana kamu mengelola “krisis” ini?
MA: Pertama aku pasti berusaha memproses dulu, aku punya close circle yang merasakan hal serupa. Pada saat kita sama-sama mengakui perasaan ini aku merasa less alone, “krisis” tersebut juga menjadi lebih kecil dan bisa dikelola. Aku juga sempat nggak terlalu aktif di medsos, membatasi eksposur ke hal-hal yang memicu ketidaknyamanan ataupun kecemasan. Terakhir pelan-pelan mencoba menemukan diri, oke aku akan mencoba meluangkan waktu dan mencoba mencari tahu apa yang ingin aku lakukan dan akhirnya hilang dengan sendirinya. But, it’s a tricky time. Aduh, ini kegalauan zaman sekarang.
M: Thank you for sharing! Kamu sempat bilang menemukan diri. Self discovery ini kan butuh ruang untuk diri sendiri. Kadang orang suka memberikan tekanan, pada saat itu adakah tekanan sosial yang kamu rasakan? Kalau ada, bagaimana kamu membuat ruang untuk dirimu sendiri?
MA: Ini pertanyaan terbaik by the way. Aku sebenarnya masih mencari tahu hal ini karena aku justru sekarang sebenarnya masih sangat sulit (mengatasi ini). Mungkin karena aku juga selebriti dan punya banyak peran, jadi stakeholder yang berkomentar aku harusnya ngapain itu cukup banyak, gitu. Penting untuk memberi batasan, aku sangat-sangat belajar untuk bilang “tidak”. Aku akan bilang “nggak, deh” atau “nggak deh, kayaknya nggak tepat buat aku” baru kalau ada konflik aku coba bicarakan.
Aku sekarang juga nggak terlalu menghindari konflik, dulu waktu “krisis” aku sangat menghindari konflik dengan orang yang berbeda dengan aku, walaupun akhirnya aku jadi tertekan. Tapi sekarang aku rasa justru ternyata sehat untuk menyampaikan apa yang kamu inginkan dan butuhkan walaupun akhirnya menjadi konflik. Terkadang lebih sehat untuk dihadapi, and it’s tricky tapi lebih sehat. Itu salah satu cara mengelola. Berjuang untuk dirimu dan kebahagiaanmu.
Sekarang aku rasa justru ternyata sehat untuk menyampaikan apa yang kamu inginkan dan butuhkan walaupun akhirnya menjadi konflik. Terkadang lebih sehat untuk dihadapi, and it’s tricky tapi lebih sehat. Itu salah satu cara mengelola. Berjuang untuk dirimu dan kebahagiaanmu.
M: Menurutmu apakah kita harus selalu tahu apa yang ingin kita lakukan? Karena biasanya ada dua kubu. Ada yang bilang kita harus tahu apa yang kita mau, tapi kebanyakan orang khususnya di usia 20-an ketika ditanya mereka nggak tahu. Apakah kita harus selalu tahu?
MA: Aku pribadi tidak berpikir demikian, dan juga apakah kita pernah benar-benar tahu? Itu kembali lagi ke pertanyaan tadi. Jadi, tidak. Bagaimana kita mengelola (diri) adalah dengan menerima bahwa mungkin kita nggak akan pernah tahu pasti dan itu bagian dari masuk ke dalam pendewasaan. Kadang kita terkejut dengan ekspektasi bahwa kalau kita sudah dewasa kita akan tahu apa yang benar atau apa yang ingin kita lakukan, terus ternyata tidak seperti itu. Mencoba untuk nyaman dalam ketidakpastian, nyaman dengan tidak tahu pasti apa yang ingin kita lakukan, terkadang sangat membantu.
Mencoba untuk nyaman dalam ketidakpastian, nyaman dengan tidak tahu pasti apa yang ingin kita lakukan, terkadang sangat membantu.
M: Aku akan kasih kamu dua konsep. Pertama adalah driven, ketika mendengar kata itu apa yang terpikir oleh Maudy?
MA: Driven? Hmm ambisius, action, dan pergerakan. Sangat dinamis.
M: Oke, sekarang bayangkan driven dan masukan dirimu didalamnya. Apa yang kamu rasakan atau pikirkan ketika ada driven dan Maudy?
MA: Hmm I like this, ini kayak terapi, ya? Hahaha. Jadi apa perasaan aku saat menggabungkan dua kata ini?
M: Karena kalau aku pribadi, nggak sih bukan gue. It’s okay to be driven tapi kalo buat gue, mungkin bukan driven
MA: Hmm oke, aku ada dua reaksi. Reaksi pertama, oke ya boleh itu memotivasi tapi reaksi keduanya ada perasaan ingin menarik diri. Ada perasaan yang ternyata aku tidak ingin dideskripsikan sebagai seseorang yang driven. Habis itu ada emosi lagi yang mengatakan kayaknya nggak masalah. Jadi emosinya campur aduk, aku yakin ini ada social conditioning menjadi seorang perempuan jadi tidak terlalu nyaman dideskripsikan sebagai driven dan banyak hal. Jawabanya adalah campur aduk.
M: Oke, kalau go with the flow? Apa yang muncul di pikiranmu?
MA: Hmm.. easy going. Happy-go-lucky, adaptif.
M: Prasangkamu seputar frasa ini apa?
MA: Aku langsung merasa lebih nyaman diasosiasikan sebagai dengan go with the flow. Tapi menurutku ini agak toxic. Aku nyaman karena menurutku go with the flow itu kesannya effortless dan sekarang masyarakat sangat mengglorifikasi effortlessness. Jadi, karena go with the flow kesannya di kepala aku itu effortless jadi kalau orang sukses tapi dia go with the flow persepsinya sekarang positif dan diglorifikasi, seperti effortless beauty, effortless make up. Oh anak 18 tahun dapat prestasi apa, karena itu diglorifikasi jadi reaksi pertamaku adalah aku ingin diasosiasikan sebagai effortless success. Tapi makanya reaksi keduanya adalah well it’s not really true.
M: Kenapa?
MA: Hmm aku tidak ingin menggambarkan kesuksesan itu effortless. Karena pada nyatanya bagi banyak orang (sukses) kerja keras dan niat yang kuat dengan pekerjaannya. Juga going against the grain, yang mana adalah kebalikan dari go with the flow. Ini menarik bahwa driven dan go with the flow mengangkat emosi yang bertolak belakang tapi pada saat bersamaan juga kita perlu dua-duanya.
M: Coba sebutkan hal apa yang paling penting buat kamu, di usia yang mau masuk 27 tahun?
MA: Yang pertama adalah penemuan diri, aku merasa umur sekarang ini adalah waktu yang tepat sebelum mungkin masuk ke fase pernikahan dan hidup sendiri jadi aku ingin lebih mengenal diri sendiri. Kedua, yang paling penting adalah aku merasa bertumbuh, ini mungkin identik dengan mengambil resiko. Aku sekarang risk appetite-nya lagi tinggi, karena, ya, aku masih belum punya banyak stakeholder di sekeliling dan energinya masih banyak. Terakhir adalah relationship dengan keluarga, saudara, dan teman karena di masa pendewasaan the nature of relationship berubah juga. Ada banyak jalan untuk mendefinisikan dan membangun kembali hubungan tersebut.
M: Berubah seperti apa?
MA: Misalnya seperti sama orang tua atau adik yang tadinya berasa ada suatu hirarki, tapi sekarang dia (adik) juga sudah umur 25 tahun dan dia juga sudah nggak mau dengerin aku gitu, loh. Jadi, lebih kayak peer to peer kalau sama adik aku. Kalau sama orang tua lebih bisa ada batasan dan sama orang-orang sekitar juga. Mendefinisikan kembali hubungan kita dengan orang sekitar.
M: Kamu merasa nggak sih, mungkin orang-orang yang ada dilingkungan kita karena kamunya tumbuh atau mereka tumbuh akhirnya berubah sehingga tidak lagi kompatibel bersama. Kamu pernah merasakan itu?
MA: Hmm.. pernah sih. This is really deep. Tentunya pernah.
M: Bagaimana kamu menyikapi ini? Karena aku pernah ngobrol dan akhirnya masuk ke pembahasan bahwa relationship itu ada kadaluarsanya. Apakah menurutmu begitu?
MA: I actually wanna ask you, tho. Maksudnya, karena ini sesuatu yang mungkin aku masih aku pikirkan bahwa pada saat ada jarak dalam sebuah hubungan, dalam konteks kita masih ingin memelihara hubungan ini. Bagaimana kamu membuat orang ini happy tanpa mengkompromikan kebahagiaanmu sendiri?. Ini sulit sebenernya.
M: Tergantung seberapa penting orang ini dalam hidupmu. Iya nggak sih? Itu ukurannya untuk aku, ya. Kalau buat kamu?
MA: Iya sih bener sama. Seberapa penting dan seberapa kita ingin orang ini ada di hidup kita. Kalau memang nyatanya adalah kita mau orang tersebut ada di hidup kita, sayangnya ya kita harus berusaha untuk berkomunikasi atau mungkin berargumen untuk bisa bertemu di tengah. Nggak mungkin nggak konflik. Karena yang lainnya mungkin, bye aja udah.
Seberapa penting dan seberapa kita ingin orang ini ada di hidup kita. Kalau memang nyatanya adalah kita mau orang tersebut ada di hidup kita, sayangnya ya kita harus berusaha untuk berkomunikasi atau mungkin berargumen untuk bisa bertemu di tengah.
M: Aku setuju sama kamu karena kalau memang orang ini penting kita pasti akan berusaha untuk bersama. Kalau memang sudah nggak bisa, ya bye juga nggak apa-apa, sih.
MA: Apakah kamu juga melalui hal tersebut, Mbak?
M: Oh iya. Aku merasa benget sempet ada beberapa orang yang tadinya dianggap teman itu rontok. Entah itu aku rontok dari hidup mereka atau sebaliknya. Tapi lama-lama kita tahu mana yang kita mau hadir di hidup kita. Berbicara tentang pencarian jati diri, bagaimana caramu melakukannya?
MA: Aku melakukan kombinasi dari banyak hal. Aku menulis jurnal aku bermeditasi, aku mengekspos diriku dengan banyak buku dan podcast.
M: Apa yang lagi disukai. Mungkin satu buku atau satu podcast yang lagi kamu senangi?
MA: Kalau buku aku lagi baca Najwa Zebian judulnya “Welcome Home” itu tentang building a home inside of you. Rumah bukan bangunan tapi homey feelings ketika kamu dengan dirimu sendiri. Kalau podcast aku lagi banyak dengerin entrepreneurial podcast nggak terlalu yang gimana gitu. Lebih kayak frameworks kayak how to scale your business. It’s boring. Aku kayak agak insecure kalau terdengar nerdy, tapi ya aku lagi dengerin itu.
Jadinya pada saat aku mengekspos diriku ke pemikiran yang sangat beragam dari perspektif yang berbeda. Itu cara yang baik dalam pencarian jati diri, karena aku jadi sadar kalau ada pemikiran di alam bawah sadar yang muncul atau bereaksi. Berproses dengan beberapa teman yang bisa kamu percaya dan kamu tahu open minded itu penting juga. Nggak kolot aja sih, apa lagi di fase aku sekarang. Aku masih ingin coba untuk membuat kesalahan dan berproses.
M: Menarik, karena di media sosial kan kita selalu ingin terlihat sempurna jadi masyarakat berpikir kita tidak diperbolehkan membuat kesalahan. Tapi namanya hidup ya pasti lah kita membuat kesalahan. Ngomongin soal entrepreneur, apa yang membuat kamu tertarik untuk invest di e-commerce grosir ini?
MA: Jadi ceritanya aku nggak bermaksud pulang-pulang jadi investor. Tapi pada saat aku balik aku berada pada komunitas entrepreneur yang lagi baru mulai. Kebetulan ini juga datang dari pertemanan. Dan muncul pembahasan “Hey, would you wanna angle invest?” dan sebenarnya ini bukan investasi pertamaku. Tapi alasan aku sangat ingin mendukung yang satu ini karena visi dan produk mereka sangat baik.
Pertama dan terpenting adalah aku sudah punya pengalaman sebagai konsumen jadi nggak hanya salah satu foundernya adalah teman aku, tapi juga aku punya pengalaman sebagai konsumen, saat ini aku juga merasa ini membantu masyarakat. Ini juga bisa membantu petani dan aku suka bisnis yang punya dampak. Jadi, kalau aku bisa bantu, that’s awesome. Aku juga merasa energize kalau aku lagi ngobrol sama founders ini aku belajar banyak banget. Aku belajar soal teknologi baru, masalah baru, dan banyak hal. It’s a good way to keep learning.
M: Dalam pikiran kamu yang dimaksud dengan good business itu apa?
MA: Bisnis yang baik memberikan solusi bagi masalah besar dan bisa mengatasinya dalam jangka panjang. Kenapa sustainability menjadi penting karena profitability jadi penting, itu kenapa fundamental bisnis jadi penting karena kalau nggak ada, nggak bisa bertahan lama. Itu sih menurut aku. Pada saat aku invest, filter aku sedikit lebih tinggi, karena aku mau mengatasi masalah yang aku lihat sebagai masalah. Masalahnya juga mungkin yang meaningful di mata aku.
M: Bentuk bisnis apa lagi yang membuatmu tertarik?
MA: Banyak, sih. Kadang ini tentang siapa yang dilayani. Aduh aku nggak tahu udah boleh cerita apa belum. Tapi ada banyak banget Mbak, bisnis yang membantu orang-orang untuk bisa punya akses. Entah itu akses ke kesehatan atau akses ke pendidikan, atau bisnis yang secara nggak langsung mendukung pemerataan. Aku juga sebenarnya bergerak dengan intuisi, aku menganalisa apakah ini masalah yang aku pandang penting.
M: Tapi ini kan buat kamu, tadi tentang fresh produce atau edukasi. Apa lagi?
MA: Ya, tentang edukasi, kesehatan, meningkatkan akses bagi masyarakat yang kurang terlayani mungkin seperti orang-orang di luar kota besar. Bentuknya bisa macam-macam, bisa marketplace, jadi luas sebenarnya. Aku juga masih mencoba mendefinisikan apa artinya memberikan dampak, jadi aku masih belajar. Because I’m also an overthinker.
M: Kamu overthinker? Masa sih?
MA: Iya, iya. Kalau Mbak Marissa ngobrol sama mama aku pasti bilang kadang ribet gitu ngomong sama aku.
M: Tapi Mama nggak bisa komplain, karena dia dan Papa kamu yang menyekolahkan kamu ke luar negeri apa segala. So, itu risiko ibu! Hahaha. Nah, aku denger kamu ada project buku, nulis buku atau apa?
MA: Oh, iya. Jadi, aku memang akan keluar guided journal kolaborasi sama temen baik aku yang memiliki beauty tools company. Kami berkolaborasi dan aku mendesain sebagai guided planner yang berisi elemen productivity yang aku kurasi dan aku buat sendiri. Berdasarkan pengalaman tentang apa yang aku butuhkan, apa yang membuatku terus berjalan. Buku itu juga mengajak kita untuk menemukan diri kita sendiri dan juga ada weekly, monthly emotion check. Ini akan keluar minggu depan.
M: Apa prinsip yang kamu pegang sejauh ini?
MA: Susah, ya. Aku mikir karena kayaknya berubah-berubah. Di usia aku sekarang prinsip yang paling kuat rasanya autentisitas dan kejujuran dalam berkarya dalam akting dan hidup secara umum. Mungkin ini juga karena dulu aku berkarya, jadi aktris atau penyanyi kadang aku diminta untuk jadi seseorang yang bukan aku. Bukan berarti fake tapi kadang untuk pekerjaan atau menulis musik yang mungkin nggak terlalu tentang hal yang aku rasakan karena alasan komersial. Sekarang aku merasa lebih aman aku jadi ingin lebih autentik. Karena lebih plong aja.
Di usia aku sekarang prinsip yang paling kuat rasanya autentisitas dan kejujuran dalam berkarya dalam akting dan hidup secara umum.
M: Menurutku autentisitas selaras dengan rasa damai.
MA: Iya, but it’s not easy.
M: Kenapa?
MA: Karena kita punya banyak eksternal feedback dan kita juga harus bisa lebih disiplin untuk memberikan batasan. Misalnya dengan kita menggunakan media sosial kita membuka jalan untuk eksternal feedback itu yang bisa meliukan garis pemikiran kita. Bahkan diri kita sendiri kadang bingung, tapi ini hal yang bisa diusahakan.
M: Thank you so much ya Maudy. I’m very grateful for our conversation. Aku berharap yang terbaik untuk dirimu entah itu pencarian jati diri, hubungan, semuanya semoga dilancarkan
MA: Thank you so much! Bye.
M: Itu tadi adalah obrolan kita bersama Maudy Ayunda. Dari yang tadinya mau ngobrolin apa malah jadi filosofis. Ya, namanya juga ngobrol sama orang jurusan Filosofi, ya. Terima kasih bagi Greatminders. Selamat beristirahat. I wish you the very best!.