Cukupkanlah ikatanmu, relakanlah yang tak seharusnya untukmu. Yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri. – Kunto Aji
Ketika mendengar kata-kata dalam balutan melodi ini, tenang. Sebutkan kalimat pertama lima kali, tutup dengan kalimat kedua. Terasa seperti mantra? Mantra ini awalnya milik Kunto Aji, tapi sekarang milik mereka yang sedang butuh jeda dari hiruk pikuk di pikiran dan hati.
Saya bercakap bersama Kunto Aji, seorang overthinker yang bermeditasi. Dia bercerita tentang perjalanan hidupnya dari titik terendah, rasa putus asa, berusaha dan berserah pada semesta.
Marissa Anita (M): Dari album "Mantra-Mantra" ada lagu berjudul Rehat. Apa itu rehat menurutmu?
Kunto Aji (K): Lagu ini sebetulnya monolog untuk mengingatkan diri sendiri. Kadang kita harus keluar dari ‘mangkuk’ untuk kita bisa melihat apa yang perlu kita tambahi di hidup kita, apa yang perlu kita benahi. Kadang kita lupa [butuh ini] karena pergerakan waktu yang begitu cepat. Kita butuh ketenangan. Tidak melulu rehat itu berarti berhenti. Rehat bisa jadi melihat dari sudut pandang lain ketika kita sedang mengerjakan sesuatu. Ketika pikiran rehat, pikiran jadi bisa memilih mana yang prioritas atau bukan.
Tidak melulu rehat itu berarti berhenti. Rehat bisa jadi melihat dari sudut pandang lain ketika kita sedang mengerjakan sesuatu.
M: Dalam Rehat, ada lirik “Biarkanlah semesta bekerja untukmu.” Setiap orang yang mendengar lirik ini bisa punya interpretasi yang berbeda-beda. Salah satunya bisa diartikan ‘terima nasib saja’. Bagaimana pemikiranmu tentang ini?
K: Album "Mantra-Mantra" memang banyak kontemplasinya. Misalnya ada lirik “yang kau takutkan tak’kan terjadi”, itu kan seolah-olah sugarcoating banget, bahwa [kekhawatiranmu] enggak bakal kejadian. Tapi ini berdasarkan dari pemikiran stoik — bahwa di balik kegagalan itu ada kegagalan yang lebih besar sampai pada akhirnya kita ketemu bahwa kita masih hidup. Apa pun yang terjadi, kita masih bisa berjuang lagi dari nol. Aku pernah ada di posisi itu [mental jatuh]. Tujuan aku dengan album ini adalah ketika ada seseorang yang berada dalam kondisi [mental] di bawah banget, lirik-lirik ini akan bisa membantu. Alhamdulilah beberapa teman sendiri cerita lagu ini seperti curhat sama orang tanpa perlu kita curhat, seperti sudah kenal lama dan tahu masalah [yang sedang dihadapi]. Berarti untuk beberapa pendengar pesannya sampai. Tentang masalah believe in fate (percayakan sepenuhnya pada nasib – red.) itu ya setelah berusaha. Biarkanlah semesta bekerja itu ya setelah kita berusaha.
M: Jadi bukan terima nasib tanpa ada usaha dulu. Kamu bilang pernah ada di titik terendah dalam hidup. Apa yang waktu itu terjadi dalam hidupmu?
K: Aku masuk industri musik tahun 2008 lewat ajang pencarian bakat. Dari Yogya ke Jakarta, enggak kenal siapa-siapa. Berkutat di industri musik selama enam tahun, akhirnya punya satu lagu Terlalu Lama Sendiri. Tapi sebelum keluar lagu ini, di Jakarta nabung, nyanyi, sempat jadi host, pengen tahu kondisi industri seperti apa, belajar banyak di situ, belajar sama banyak orang. Di tahun kelima, sebelum lagu Terlalu Lama Sendiri keluar, aku sempat sakit penyumbatan batu empedu. Di situ uang habis semua untuk biaya pengobatan rumah sakit. Hampir tiga bulan keluar masuk rumah sakit. Dari dapat kamar yang mendingan sampai akhirnya di bangsal yang ramai-ramai. Sudah enggak punya apa-apa. Di saat itu, orang-orang sudah lupa dengan aku di Indonesian Idol; karir sudah enggak ada. Modal yang dikumpulkan selama enam tahun di Jakarta akhirnya habis semua. Tadinya mau bikin album, akhirnya cuma kejadian bikin Terlalu Lama Sendiri karena uangnya cuma cukup untuk bisa bikin satu lagu itu. Pada saat kontrak tanda tangan untuk iTunes, aku di atas kasur rumah sakit.
M: Ya ampun...
K: Aku saat itu sudah sangat down sekali, sudah enggak punya apa-apa. Kalau mau ‘diambil’ (meninggal), ambil aja aku toh udah enggak punya apa-apa. Karena enggak mau nyusahin orangtua juga. Aku dulu termasuk orang yang secara akademis enggak mengecewakan, lah. Jadi sempat kepikiran, “Dulu kenapa ya enggak melanjutkan akademis? Kenapa ya diarahkan sama Yang di Atas itu ke musik? Kenapa sih aku sebenarnya? Ya udah terserah, deh.”
Nah, di titik terserah itu, titik pasrah, titik nol itu, justru malah ‘cawan’-nya seperti diisi banyak sekali. Setelah sakit itu sembuh, Terlalu Lama Sendiri keluar [dan sukses]. Itu membuat keadaan berbalik. Inilah yang kumaksud dengan “biarkanlah semesta bekerja”. [Kesuksesan ini] enggak kepikiran sama sekali karena selama enam tahun nothing works (tidak ada yang berhasil). Aku ketemu orang-orang di Jakarta, enggak ada yang sepemikiran tentang idealisme-idealisme bermusik. Akhirnya Terlalu Lama Sendiri dirilis sendiri tanpa label, tanpa manajemen, aku bikin tim sendiri.
M: Dari kejadian ini, adakah perbedaan antara Kunto yang dulu dengan Kunto yang sekarang? Apakah kejadian ini mengubahmu?
K: Dulu itu aku lebih well-prepared (semua-semuanya dipersiapkan dengan sebaik-baiknya – red). Dulu ketika ada sesuatu yang melenceng [dari rencana], lebih pusing. Sekarang jauh lebih santai. Jauh lebih menerima kondisi yang ada. Mungkin memang harus ke sini dulu sebelum ke tujuan yang ada di sana. Sekarang enggak terlalu overthink (terlalu banyak memikirkan – red.) hal-hal yang di luar kuasa kita, terutama kaitannya dengan hasil. Karena hasil itu bukan sepenuhnya di tangan kita.
M: Jadi mengingatkan aku sama dokumenter seputar musikal Merrily We Roll Along karya Stephen Sondheim. Waktu persiapan, ekspektasi sudah tinggi, yakin bakal sukses besar. Ketika pentas di Broadway New York pada 1981, gagal total — cuma 16 kali pertunjukan. Balik bicara Mantra Mantra, lirik itu seperti cerita. Lirik bisa jadi sesuatu yang sangat personal. Lirikmu cenderung sederhana, efisien, mikroskopik, personal dan artisanal. Apa yang mau kamu ceritakan dari Mantra Mantra?
K: Mantra-Mantra menurutku cuma tools (alat – red.) untuk manusia menjadi manusia. Ini sebetulnya album monolog yang aku bikin untuk diriku sendiri. Kata-kata ini yang bisa membuatku lebih mengerti makna hidup, lebih menjadi manusia, lebih menjalani semuanya dengan lebih santai. Aku ngobrol dengan pendengar. Setiap orang punya interpretasi masing-masing. Ketika mereka punya interpretasi masing-masing dan ini membantu untuk mereka, album ini jadi hidup, lagu itu hidup. Sebagai seorang pencipta lagu terutama, ini hal yang sangat besar sekali buat aku. Ya mungkin masalah-masalah yang dikasih dulu itu tujuannya untuk bisa berada di titik ini. Sekarang enggak ada masalah sedikit pun yang aku sesali karena tujuannya untuk bisa sampai di sini.
Mungkin masalah-masalah yang dikasih dulu itu tujuannya untuk bisa berada di titik ini.
M: Monolog untuk diri sendiri maksudnya?
K: Lirik kayak di lagu Sulung: "Cukupkanlah ikatanmu, relakanlah yang tak seharusnya untukmu.” Itu diucapkan berkali-kali karena kadang kita tahu bahwa kita harus merelakan atau melepaskan ikatan-ikatan, tapi kadang memang harus diucapkan berkali kali agar masuk betul di pikiran. Awalnya terdengar aneh atau konyol mungkin karena liriknya diulang-ulang. Hahaha. Sebagai seorang Muslim, aku terinspirasi dari ketika kita zikir. Mengulang-ulang kalimat itu bisa menenangkan, bisa masuk (merasuk). Terciptalah lagu Sulung dan Bungsu yang terlihat sama padahal berbeda. Dua lagu ini membungkus album ini. Sulung dan Bungsu diciptakan paling akhir setelah seluruh lagu selesai. Bisa dibilang kedua lagu ini adalah intisari dari album ini tentang kontemplasi, monolog, berbicara pada diri sendiri.
Mengulang-ulang kalimat itu bisa menenangkan, bisa masuk (merasuk).
M: Manusia menjadi manusia itu maksudnya apa, Kunto?
K: Maksudnya manusia sadar bahwa posisinya di semesta ini ada porsinya. Ada hal-hal yang sudah digariskan bahwa “kamu sebagai manusia cuma bisa segini, ya sudah kalau cuma bisa segitu.” Ambisi perlu, punya karir, punya cita-cita, tapi kadang kita harus tahu bahwa ada yang lebih besar dari kita, ada juga yang lebih inferior dari kita. Intinya masing-masing manusia punya porsi.
M: Ketika manusia tidak sadar porsinya, apa yang biasa terjadi Kunto?
K: Stres. Hahaha. Pada akhirnya dia bisa menghancurkan dirinya sendiri.
M: Contohnya seperti apa?
K: Contohnya aku dulu dengan pemikiran-pemikiran yang pada akhirnya menghancurkan diri sendiri. Karena memikirkan hal-hal yang enggak perlu dipikirkan, hal-hal di luar kekuasaan kita. Contohnya seperti memikirkan hasil tadi.
Ada seorang teman, Mas Adjie Santosoputro, yang pernah bilang ke aku “Berdirilah di atas emosimu.” Emosi di kepalaku kayak sungai yang mengalir. Ketika kita bisa membebaskan diri dari emosi, kita bisa menilai, kita bisa bersikap sesuai porsinya.
Aku belajar banyak juga dari pendengar. Sebagian dari mereka punya masalah yang lebih berat dari aku. Aku belajar dari bagaimana mereka bisa coping dan overcome (mengatasi masalah). Termasuk salah satunya kita berdiri di atas emosi kita.
Ketika kita bisa membebaskan diri dari emosi, kita bisa menilai, kita bisa bersikap sesuai porsinya.
M: Berdiri di atas emosi. Seperti “Aku bukan emosiku.” Menurutku, menguasai emosi itu adalah pembelajaran seumur hidup. Meski sudah tahu ilmunya, namanya manusia, kadang masih suka terbawa emosi apakah itu karena trauma yang belum terurai...
K: Iya. Ketika emosi menguasai kita, kita tidak bisa berpikir jernih, tidak bisa melihat situasi dan kondisi, akhirnya malah menjatuhkan kita sendiri. Di satu sisi, emosi itu bentuk peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kita bisa memegang kendali atas emosi, bisa menjadikan emosi itu sebagai teman. Tantangan terbesar adalah menguasai diri sendiri.
M: Kamu punya coping mechanism (mekanisme untuk mengatasi emosi – red.) enggak untuk menjaga pikiran dan hati?
K: Aku sekarang lagi terhibur dengan interaksiku dengan pendengar. Dari sekedar cerita atau bikin orang lain senang itu bikin aku senang. Sejak diharuskan di rumah saja, aku sempat iseng ngirimin makanan untuk salah satu follower yang lagi ulangtahun tapi sendirian. Kita kirimin makanan. Followers-ku lucu-lucu, usil-usil. Interaksi ini bikin aku merasa senang, terapetik. Sempet juga ngerasa hiperkoneksi karena terlalu intens ke orang-orang, akhirnya mundur sejenak dari media sosial. Coping mechanism secara umum, aku atur napas, meditasi. Kalau habis ibadah dipanjangin dikit waktunya untuk berdiam diri, untuk sadar nafasku. Nonton film yang feel good (membuat perasaan senang – red.), dengerin musik. Mungkin karena aku memang suka di rumah, waktu masa karantina ini aku enggak terlalu stres. Hahaha.
M: Apa saja nih yang lagi ditonton?
K: Lagi nonton Kingdom, animasi Rick and Morty dan anime olahraga tentang voli Haikyu!!
M: Thanks. Jadi dapat referensi tontonan selagi masa karantina. Kamu dulu overthinker (terlalu banyak berpikir – red), masih?
K: Kayaknya sampai sekarang masih. Hahaha. Tapi sekarang mendingan.
M: Ngomongin meditasi dan terlalu banyak berpikir, ini sepertinya kombinasi yang sangat tidak cocok. Hahaha. Bagaimana seorang overthinker bermeditasi? Banyak orang yang mencoba meditasi tapi merasa gagal karena pikirannya kemana-mana terus...
K: Awalnya enggak terlalu betah. Tapi di pikiran aku imajinasikan aku masukkan semua beban pikiran ke dalam tas. Tas yang tadinya aku jinjing ini aku taruh dulu, kemudian duduk. Secara visual buat aku ngebantu untuk bisa ngerem overthinking (berpikir terlalu banyak – red). Karena ketika kita mengimajinasikan itu, pikirannya bisa ikut untuk rehat.
Duduk membayangkan berada di sebuah tempat yang bikin kita tenang — melawan pikiran dengan pikiran. Aku juga enggak tahu ini akan berhasil di semua orang atau enggak. Tapi untuk aku ini berhasil.
M: Kalau masalah ditaruh di tas, berarti masalah itu tetap ada dong. Terus? Cara kamu keluar dari masalah itu bagaimana?
K: Duduk diam itu perasaannya jadi lebih tenang. Setelah tenang baru bisa sorting out, bisa ngebuka tas dan melihat mana yang harus diselesaikan dulu, mana yang nanti. Ketenangan pikiran bisa membantu kita memilah.
M: Vibe kamu tenang dan santai. Hal apa yang bisa mengusik ketenangan kamu?
K: Toxic relationship. Hubungan yang sudah habis, menghabiskan energi yang tidak perlu. Aku kurang suka drama. Masalah kecil tiba tiba dibesar-besarkan. Intinya Hubungan yang tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik; hubungan yang menghambat kita secara emosional. Itu menurutku toxic relationship.
M: Setelah melewati hidup yang cukup naik turun, apa prinsip hidup yang kamu pegang?
K: Di tahun ini, yang sekarang sudah didapatkan dan sedang dirawat lebih baik adalah merasa cukup dan merasa puas dengan rasa cukup ini. Cukup itu bukan berarti kita tidak berusaha, tapi tidak juga terlalu ngoyo. Lagi ngerasain di titik itu. Titik yang sangat nyaman. Titik yang membuat kita bisa fokus ke hal hal seharusnya kita fokuskan — hubungan dengan keluarga dan mau mengembangkan diri ke arah mana.
Di tahun ini, yang sekarang sudah didapatkan dan sedang dirawat lebih baik adalah merasa cukup dan merasa puas dengan rasa cukup ini. Cukup itu bukan berarti kita tidak berusaha, tapi tidak juga terlalu ngoyo.