"Kembang api." Itu jawabannya ketika saya tanya satu kata yang bisa menggambarkan dirinya. Saya mulai memahami apa yang ia maksud ketika untuk pertama kali, suatu sore, saya mendengar suaranya di ujung telepon. Nada suaranya ramah dan riang. Ia bilang sedang menuliskan jawaban dari sejumlah pertanyaan saya.
Kesibukannya mempersiapkan karya terbaru membuat kita belum sempat bertatap muka, duduk bercakap bersama di momen yang sama.
Dua jam kemudian, jawaban-jawaban itu saya terima dalam sebuah surat elektronik. Nama pengirim: Didit Hediprasetyo. Isi surat: kabar terkini dan sejumlah pandangannya tentang jalan hidup yang ia pilih, masa kecil, dan proses belajar melepas kendali dan ekspektasi.
Marissa Anita (M): Hai Mas Didit, apa kabar? Sedang sibuk dengan apa akhir-akhir ini?
Didit Hediprasetyo (D): Hai Mbak Marissa. All good (kabar baik). Sibuk cari inspirasi dan juga kontemplasi dengan karya-karya sepuluh tahun terakhir.
M: Dunia mengenalmu sebagai desainer. Di saat Norah Jones jadi musisi seperti ayahnya Ravi Shankar, Kaia Gerber jadi model seperti ibunya Cindy Crawford, Keluarga Kennedy atau Bush turun temurun masuk arena politik, dirimu memilih profesi sebagai desainer. Jalan hidup yang berbeda dari orang tua. Bagaimana perjalanannya hingga akhirnya memutuskan berkarir di dunia fashion?
D: Saya hanya mengikuti kata hati dalam memutuskan pilihan karir tersebut. Saya bahagia telah memilih jalur ini. Saya bisa bertemu dengan banyak orang-orang dari berbagai komunitas seni dan desain dengan karakter yang autentik yang menghargai saya karena karya saya sendiri.
Saya hanya mengikuti kata hati dalam memutuskan pilihan karir
M: Mas Didit adalah anak satu-satunya. Biasanya orang tua punya ekspektasi tertentu terhadap anak semata wayang. Ketika dirimu memutuskan untuk jadi desainer, bagaimana reaksi ibu bapak saat itu?
D: Saya mendaftar ke berbagai universitas dan perguruan tinggi dan saya ditolak oleh sekolah yang orang tua telah pilihkan untuk saya. Saya hanya diterima di sekolah-sekolah seni dan desain. Mereka sangat bangga saya diterima di salah satu sekolah desain terbaik di dunia. So I guess in a way, they are happy and have faith that there’s a world and community out there that accept and guide me in my path (Jadi saya pikir mereka bahagia dan punya keyakinan bahwa ada sebuah dunia dan komunitas di luar sana yang menerima dan mengarahkan saya ke jalur saya sekarang).
M: Setelah sekolah di Parsons School of Design New York dan Paris, dirimu memutuskan menjadikan Paris rumah kedua. Selain salah satu pusat fashion dunia, apa yang membuat Paris menarik untukmu membangun kehidupan?
D: Saya cinta Paris karena di sinilah tempat saya belajar teknik tradisional dalam membuat siluet. Saya juga belajar sejarah seni dan desain yang terlihat di kota ini. Karena saya menyelesaikan pendidikan saya di Paris, masuk akal jika saya memperlihatkan kreativitas saya di sini. Tetapi hati dan inspirasi saya datang dari berbagai budaya yang telah membentuk saya selama ini. Karena latar belakang saya multikultural, saya selalu merasa seperti outsider (orang luar) ke mana pun saya pergi. Mungkin karena itu juga karya saya jadi menonjol. Tapi di Paris banyak outsider yang punya sudut pandang yang unik tentang budaya yang berbeda-beda. Dan mereka bisa memahami apa yang saya alami dan menghargai usaha saya.
M: Ceritakan perjalananmu bisa masuk dunia mode Prancis dan menjadi reguler di Paris Fashion Week?
D: Setelah menyelesaikan pendidikan, saya berusaha mencari pekerjaan. Saya saat itu bermimpi bekerja untuk Azzedine Alaïa atau Elie Saab. Saya berpikir untuk meraih mimpi ini, saya harus punya portofolio yang sangat bagus dulu. Saya akhirnya membuat sebuah koleksi supaya ada yang bisa saya tunjukkan ketika job interview (wawancara kerja). But then words got out that I started making clothes (tapi kemudian ada orang sekitar saya yang mendengar bahwa saya mulai membuat pakaian). Akhirnya seorang teman mengenakan baju yang saya buat di pernikahannya. Sejak itu saya mulai dapat pesanan. Satu tahun kemudian, saya merampungkan 30 baju untuk portofolio saya. Salah seorang teman saya di Paris kerja di public relations, dia membujuk saya, daripada mencari-cari job interview, lebih baik saya coba mempresentasikan koleksi saya ini di Couture Fashion Week. So, I did my first fashion show in January 2010 (Jadilah akhirnya saya menyelenggarakan peragaan busana saya untuk pertama kalinya pada Januari 2010).
M: Dengan prestasi seperti ini, pernahkah dalam hidup ada momen di mana kemampuanmu dipertanyakan orang lain?
D: Saya suka membuat portrait orang. Saya pernah ambil kelas fotografi dan guru fotografi saya bilang saya tidak bagus dan tidak punya bakat dalam bidang ini. Akhirnya, saya mencoba berbagai cara lain untuk membuat portrait orang di luar teknik fotografi. Saya mensketsa wajah atau siluet tubuh.
M: Pernahkan meragukan diri dalam hidup?
D: Tentu saja. Semua orang mengalami masa-masa di mana mereka meragukan diri. Tapi ini juga yang membuat kita kuat. You have to keep re-envisioning yourself (kita harus terus melihat diri dari sisi yang berbeda) dan berubah dengan berjalannya waktu. Saya harus menyesuaikan visi saya beberapa kali dalam karir saya dan setiap kali ini terjadi, saya melewati fase meragukan dan mempertanyakan diri.
Semua orang mengalami masa-masa di mana mereka meragukan diri. Tapi ini juga yang membuat kita kuat.
M: Bagaimana menghadapinya ketika keraguan ini datang?
D: Saya akan bertanya pada diri sendiri sekarang saya ada di mana dan apa yang sedang saya lakukan. Tetapi saya juga selalu mengingat niat saya dan apa yang membuat saya passionate (bergairah) dalam hidup. Inilah yang selama ini menjadi penuntun saya.
M: Waktu kecil mas Didit anak yang seperti apa?
D: Seingat saya, masa kecil saya habiskan menggambar dengan krayon atau melukis dengan cat air. Ada fase di mana saya mengoleksi wayang kulit yang mengilustrasikan binatang-binatang seperti kijang, lembu, macan, gajah dan kera-kera warna-warni di Ramayana.
Saya lebih sering memilih game (permainan) yang bisa bermain sendiri. Saya mencoba untuk menghindari kompetisi. Saya suka menggambar karena saya bisa membuat keputusan sendiri dalam memilih objek, tema, dan warna. Mungkin karena itu sekarang saya lebih memilih karir yang saya bisa bebas mengekspresikan ide saya secara independen.
Saya bersyukur dibesarkan di keluarga yang memperkenalkan budaya tradisional dari saya kecil dan memberi kesempatan saya untuk mencari ilmu dan menerima budaya-budaya dari luar juga.
M: Asumsi saya bisa saja salah. Mas Didit kelihatannya sangat menjaga privasi. Setuju atau tidak setuju?
D: Ya, karena saya ingin audiens saya fokus pada kreasi saya.
M: Ketika mendengar kata ‘privasi’ apa yang terbersit di pikiranmu?
D: Safe space (ruang aman).
M: Orang yang privat pun tetap punya lingkaran terdekat. Mereka yang seperti apa yang biasanya menjadi bagian dari lingkaran terdekatmu?
D: Saya pikir bukan kita yang memutuskan siapa yang ada di lingkaran terdekat kita. Jalur hidup kitalah yang membawa kita ke lingkaran ini.
Bukan kita yang memutuskan siapa yang ada di lingkaran terdekat kita. Jalur hidup kitalah yang membawa kita ke lingkaran ini.
M: Seberapa penting atau tidak penting privasi di era digital ini, sebuah era dimana ruang privasi dan ruang publik garisnya kabur?
D: I can only set a positive intention (Saya hanya bisa menetapkan niat yang positif). Saya tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar, apakah itu di dunia nyata atau di dunia maya. Saya sedang belajar untuk melepaskan kendali dan ekspektasi. Saya menetapkan ekpektasi kemudian saya berserah pada niat saya. Saya hanya bisa mengendalikan apa yang saya bisa kendalikan yakni apa yang terjadi dalam diri saya; my inner contentment (kepuasaan batin saya); dan kreativitas saya.
M: Bicara ekspektasi, dari mana ekspektasi dalam hidupmu berasal? Diri sendiri atau orang lain?
D: Mungkin dari cerita sukses yang saya baca ketika remaja. Cerita para desainer Amerika dan Jepang yang sukses di Eropa pada 1980-1990an.
M: Setiap manusia biasanya punya nilai-nilai dan prinsip yang mereka pegang dalam hidup sehari-hari. Bagaimana denganmu?
D: Menghadirkan kepuasan batin dalam hidup saya sendiri dan membaginya dengan orang lain melalui kreatifitas. Untuk selalu mencapai keseimbangan antara kegembiraan dan kewajiban. [Nilai-nilai ini saya dapatkan] dari guru-guru yang datang ke kehidupan saya, apakah itu keluarga, pendidikan saya, dan perjalanan hidup saya.
M: Setiap orang punya definisi berbeda dari kata-kata berikut ini. Kata pertama, contentment (kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup). Apa definisi kata ini untukmu?
D: Acceptence (penerimaan).
M: Kekuatan?
D: Sebuah keberanian untuk merealisasikan sesuatu sesuai dengan visi kita.
M: Pengakuan?
D: Sebuah panggung untuk menyebarkan kebaikan.
M: Kebebasan?
D: Kebebasan untuk melihat kehidupan dari berbagai sudut pandang.
M: Apa yang membuatmu merasa tidak berdaya?
D: Missing deadline (ketika tidak bisa merampungkan sesuatu dalam target waktu yang telah ditentukan).
M: Merasa marah?
D: Missing deadline (ketika tidak bisa merampungkan sesuatu dalam target waktu yang telah ditentukan).
M: Merasa gelisah?
D: Missing deadline (ketika tidak bisa merampungkan sesuatu dalam target waktu yang telah ditentukan).
M: What excites you? (Apa yang membuatmu semangat?)
D: Koleksi saya yang berikut ini.
M: Satu kata yang menggambarkan dirimu?
D: Fireworks (kembang api). Satu kata yang saya suka untuk menggambarkan sebuah karya.
M: Terakhir, what is a good life to you? (kehidupan yang baik itu seperti apa menurutmu?)
D: Pikiran yang jernih, tubuh yang sehat, jiwa yang damai dan ada tawa bersama sahabat-sahabat.