Saat ini kita memasuki beragam situasi ketidakpastian. Kita melihat banyak masyarakat yang dipaksa berubah dari pola kesehariannya — termasuk bagaimana mereka mengonsumsi informasi hariannya. Berbagai info difiltrasi demi mendapat kata kunci 'pandemi ini berakhir'. Beragam semangat dan motivasi pun diberikan melalui jejaring merdia sosial. Namun semua itu pun harus dibenturkan dengan realita yang disebut ‘adaptasi’.
Saya bukanlah seorang filsuf atau sosiolog yang mempu menjabarkan definisi ‘adaptasi’ secara harafiah, namun sebagai pekerja media dan pengusaha yang tengah bergelut dengan pandemi, saya yakin adaptasi adalah upaya penyesuaian setiap sendi di dalam tubuh untuk mampu bertahan akan tuntutan kondisi yang terjadi.
Sebagai pekerja media, saya diharuskan untuk melihat dua sisi antara publikasi kebijakan pemerintah dan realita penerapan serta pemahaman masyarakat. Situasi pandemi ini nampak nyata terlebih saya yang merasakannya. Namun realita itu semakin memukul diri, ketika saya yang juga merupakan pengusaha travel harus dibenturkan realita bahwa sektor paling lumpuh adalah sektor pariwisata — termasuk travel.
Beragam celah coba saya dan tim jabarkan hingga tengah malam, melihat peluang dan sisi lain yang bisa ‘dijual’ agar perusahaan tidak sepenuhnya lumpuh. Nyatanya memang tidak bisa. Kami memang dipaksa untuk lumpuh.
Bayangkan, ketika dibenturkan dengan pemutusan rantai penyebaran Covid-19, maka kita diimbau untuk bekerja di rumah, tidak mudik, sangat meminimalisir penggunaan kendaraan umum, atau bahkan hanya 1/3 dari okupansi pesawat diperbolehkan dengan syarat ketat. Sebagai traveler dan pengusaha travel, seluruh upaya hanya bergantung pada destinasi dan maskapai. Bagaimana jika seluruhnya dilarang?
Memang dalam situasi ini kita diminta untuk berfokus pada bertahan hidup secara pribadi dan perusahaan. Namun bagaimana dengan orang yang bergantung hidup pada kita? Sebuah polemik saling bergantung yang tidak ada habisnya. Apalagi sektor pariwisata diprediksi akan sepenuhnya pulih pada 2023. Ngeri — pikir saya ketika melihat data jumlah PHK sampai bulan Mei 2020 mencapai 7 juta orang akibat situasi ini. Jangankan berbicara mengenai data pertumbuhan ekonomi yang melambat, bertahan hidup untuk masyarakat kebanyakan saja sulit. Tidak jarang saya melihat pelaku jasa pariwisata yang sudah mulai memutar otak untuk banting setir berjualan apapun yang bisa dikulakkan untuk bertahan hidup. Broadcast message demi broadcast muncul menawarkan berbagai jajanan sebagai alternatif usaha mereka.
Dalam setiap pikiran jernih pasti terdapat peluang
Namun saya yakin, dalam setiap pikiran jernih pasti terdapat peluang. Paling tidak itu yang saya lakukan bersama tim untuk bisa ‘beradaptasi’. Tidak hanya beradaptasi untuk tetap ada, namun beradaptasi agar fondasi lebih kokoh.
Sebagai perusahaan jasa, tentu kita melihat peradaptasian ini tidak hanya berkutat pada bertahan sebagai perusahaan, namun juga harus bisa bertahan dalam segi awareness. Beragam cara bisa dilakukan untuk melakukan komunikasi interaktif dengan membuat webinar atau Instagram live. Namun akan sampai kapan? Ketika satu tren diterima baik masyarakat, maka semua akan melakukannya. Bisa dibayangkan betapa jenuhnya orang ketika membuka Instagram lalu pada homepage berisi deretan live? Boleh kita berpikiran praktis dalam beradaptasi, namun jangan lupa untuk tetap taktis dalam mengeksekusikannya. Sebab manusia adalah makhluk yang sejatinya cepat beradaptasi, namun cepat pula berpaling dengan pilihan lainnya sesuai dengan idealisnya.
Boleh kita berpikiran praktis dalam beradaptasi, namun jangan lupa untuk tetap taktis dalam mengeksekusikannya. Sebab manusia adalah makhluk yang sejatinya cepat beradaptasi, namun cepat pula berpaling dengan pilihan lainnya sesuai dengan idealisnya.
Konsep ‘the new normal’ memang coba dipraktikkan dalam sisi keseharian kita di berbagai lini dan sektor. Banyak pelaku jasa travel berlomba berinovasi dalam membuat proyeksi program ‘bertahan’ untuk tetap hidup. Berbagai visi kembali diutarakan, pengembangan sayap perusahaan diupayakan. Namun hal itu kembali menjadi fokus pemikiran saya sebagai seorang pelaku usaha dan masyarakat biasa— siapkah kita ketika pandemi perlahan mulai dikalahkan, lalu muncul bombardir visi dan misi ambisius berupa program atau promo dimunculkan di diri masyarakat? Belum tentu, sebab bagi kehidupan ‘work from home’ yang kita jalani selama beberapa bulan ini, memaksa kita untuk berjeda. Memaksa berjeda untuk beraktivitas, bertahan hidup, menyaring informasi, dan berefleksi diri atas apa pelajaran yang bisa dipetik dalam pendemi ini. Maka tidak jarang, bahwa sudut pandang manusia akan kembali pada hal yang paling dekat dengan keseharian kita masing-masing, hingga kebutuhan pokok kita. Sehingga itu sudut pandang yang saya pakai dalam upaya menggairahkan kembali usaha pariwisata — sembari menunggu kebijakan relaksasi pariwisata kita.
Satu hal lucu yang kadang saya tidak habis pikir adalah lelahnya melakukan rapat atau meeting dengan internet terkesan lebih melelahkan dibandingkan meeting bertatap muka langsung — padahal kita berada di rumah. Tentu saja, sebab saat ini kita tengah berkomunikasi di tengah bencana. Bayangkan upaya ekstra yang kita lakukan dengan menelaah poin yang disampaikan dengan ketergantungan internet, mimik wajah partner meeting kita, belum lagi putus koneksi—upaya ekstra ini secara tidak langsung menyerap segala energi dan fokus kita dalam berkomunikasi.
Sebagai penutup, suka atau tidak suka sebenarnya kita sudah hidup dengan ‘the new normal’ itu sendiri. Kita tidak akan berbicara siapa pemenang dalam konsep ‘survival of the fittest’ dan siapa yang akan gugur. Namun kita berbicara siapa yang paling mampu beradaptasi dalam perubahan ini paling cepat, dan siapa yang mampu menyesuaikan hidup, kerja, dan interaksi dengan situasi seperti ini — dialah yang akan mampu bertahan untuk hidup.
Kita tidak akan berbicara siapa pemenang dalam konsep ‘survival of the fittest’ dan siapa yang akan gugur. Namun kita berbicara siapa yang paling mampu beradaptasi dalam perubahan ini paling cepat, dan siapa yang mampu menyesuaikan hidup, kerja, dan interaksi dengan situasi seperti ini — dialah yang akan mampu bertahan untuk hidup.