Coba lihat isi lemari di kamar satu persatu, pasti banyak di antaranya yang mungkin saja baru kita sadari dimiliki – dan tidak terpakai hingga kini. Mungkin kita kemudian terheran-heran, “Kenapa dibeli ya waktu itu?”
Sebagai manusia, kita pasti punya kebutuhan-kebutuhan dasar. Mulai dari makanan, pakaian, hingga yang sifatnya tak nampak seperti perhatian dan kasih sayang. Kebutuhan-kebutuhan ini adalah sesuatu yang harus dipenuhi, jika tidak kita akan menderita dalam menjalani hidup.
Tapi pada kenyataannya saat menjalani hidup, banyak barang yang kita beli untuk mencoba memenuhi kebutuhan mendasar tersebut. Saking banyaknya hingga terkadang memenuhi tempat dan ujung-ujungnya seringkali malah tidak terpakai. Misalnya saja, pakaian-pakaian, sepatu yang kita beli karena iming-iming Harbolnas, kosmetik yang bahkan belum dibuka segelnya, hingga majalah dan buku yang sampai detik ini belum juga dibaca.
Kami bertanya pada beberapa orang mengenai barang yang telah mereka beli namun hingga kini tidak terpakai sama sekali:
“Buku banyak sekali di rumah yang menumpuk dan belum terbaca. Biasanya sih karena impulsif melihat buku yang sampulnya menarik dan sepertinya isinya bagus. Padahal sampai rumah dibiarkan saja sampai akhirnya lupa kalau pernah beli buku-buku itu.” (Ezi, 23 tahun, penari)
“Pernah beli pen tablet untuk menggambar digital. Sebenarnya bukan merek yang direkomendasikan, tapi karena tidak sabar karena sedang punya uang akhirnya dipaksakan beli. Ternyata setelah dicoba sama sekali tidak enak untuk dipakai menggambar. Akhirnya jadi dibiarkan saja sampai sekarang malah rusak.” (Yerikho, 27 tahun, desainer grafis)
“Beli alat olahraga untuk di rumah karena ingin mencoba gaya hidup sehat. Tapi ternyata malah malas dipakai dan lebih sering berolahraga di gym.” (Myra, 28 tahun, business development)
“Banyak sih barang yang dibeli tapi sampai sekarang tidak terpakai. Di antaranya sepatu dan baju. Dulu belinya impulsif karena pas punya uang untuk membeli yang agak mahal. Ternyata ujung-ujungnya malah tidak terpakai karena merasa sayang takut kotor karena barangnya mahal.” (Jonathan, 32 tahun, retail design & visual merchandiser supervisor)
Pergeseran kultur di era informatika seperti saat ini konon telah mengubah bagaimana manusia berperilaku. Setidaknya itu yang dikatakan oleh pemerhati sosial Laura Coer dan Dan Cloer dalam esainya yang berjudul Manufacturing a Consumer Culture. Dunia telah dipenuhi oleh benda-benda material dan standar hidup yang semakin tinggi. Manusia modern telah menjadi konsumen paling konsumtif sepanjang sejarah peradaban dunia.
Terbuai Iklan
Penyebab paling sering dari proses belanja impulsif sudah dapat dipastikan adalah karena aktivitas pemasaran seperti iklan-iklan yang senantiasa membombardir kehidupan. Iklan membuat kita mengingat dan mengenai sebuah brand atau produk dengan lebih baik selain juga memengaruhi preferensi dan membangun suatu rasa kebutuhan dalam otak kita. Iklan yang efektif bukanlah yang serta merta membuat kita langsung membelinya namun juga yang dapat ‘bekerja’ secara emosional – seperti menjadi viral dan diperbincangkan sehari-hari.
Mengikuti Orang Lain
Di era media sosial seperti saat ini, kita bukan saja terpengaruh iklan namun juga orang lainnya. Terkadang kita mengikuti mereka karena ingin bisa membaur dengannya atau karena bingung dengan pilihan yang ada. Namun keputusan kita untuk mengikuti orang lain tidak terbatas pada orang yang kita kenal. Terkadang kita ‘meniru’ orang yang kita tak kenal karena memerhatikan apa yang mereka beli atau konsumsi – tanpa sadar. Contohnya semudah, bagaimana kita bisa ikut-ikutan membeli es krim di taman hiburan saat melihat orang lain sedang memakannya.
Godaan Produk Hedonis
Seringkali keputusan pembelian yang impulsif melibatkan produk-produk hedonis yang memberikan kesenangan atau kegembiraan. Misalnya saja buku, cokelat, atau wine. Selain itu, barang simbolis yang bisa memberikan sebuah status sosial seperti tas atau baju branded, parfum, dan gadget-gadget mentereng. Barang semacam ini lah yang sangat dengan mudah menyolek emosi kita hingga akhirnya mendorong belanja secara impulsif.
Terbawa Suasana Hati
Emosi merupakan pengaruh paling besar dalam bagaimana kita berpikir dan berperilaku. Suasana hati pun juga menjadi salah satu faktornya. Saat kita merasa baik-baik saja dan bahagia, kita memiliki energi yang tinggi dan keinginan untuk memberikan ganjaran bagi diri kita dalam berbagai bentuk – umumnya dengan membeli sesuatu untuk diri sendiri. Dalam sebuah studi mengenai pembelian impulsif, 51% dari responden menyatakan bahwa ‘bahagia’ menjadi penyebab utama mereka berbelanja.
Sebaliknya, suasana hati yang buruk pun juga dapat menyebabkan pembelian impulsif karena kita menjadi ingin mengobatinya dengan hal-hal yang sifatnya materiil.