Tidak mudah memang melewati masa karantina diri selama pandemi Covid-19 masih membayangi lingkungan sekitar, termasuk suasana digital kita. Sudah pasti perasaan panik, takut, dan sedih menyelimuti lingkungan sekitar, terlebih bila kita tinggal di epicentre jumlah suspect terbanyak. Belum lagi apabila orang terdekat kita sudah dalam status PDP atau Pasien Dalam Pemantauan. Semua hal menumpuk menjadi satu.
Hal ini makin berlebih lagi bagi pekerja media seperti saya. Untuk benar-benar work from home, sungguh hal yang sulit dilakukan bagi jurnalis yang masih berkewajiban mengisi layar kaca bagi 270 juta orang warga Indonesia. Tidak mungkin layar dibiarkan kosong, sementara warga dibiarkan menerima informasi liar yang beredar mengenai pandemi ini. Tanpa siaran konfirmasi langsung dari otoritas resmi, mungkin masih terasa mudah bagi jutaan orang yang telah melek teknologi dan mampu memfiltrasi informasi hoaks yang beredar. Namun, ada ratusan juta orang lain yang masih mengandalkan televisi untuk memperoleh informasi. Bagaimana jadinya jika sumber informasi tersebut hilang?
Beragam kegiatan selama dua minggu coba saya jalani dengan senormal mungkin. Mencoba mengubah pola makan dan kebutuhan belanja dengan seminim mungkin berinteraksi dengan orang untuk meminimalisir penyebaran covid-19. Namun nyatanya tak bisa semudah itu. Saya pun masih harus keluar rumah, berinteraksi dengan warga yang memang tak bisa work from home, hingga bekerja normal menyajikan berita. Itulah tantangan terberat dalam menjadi seorang jurnalis. Kami harus terus bekerja ditengah terror pandemic covid-19 dan hoaks.
Ada kalanya, dalam jeda yang cukup panjang ini saya merasakan sebuah alur komunikasi yang berbeda dan nyata. Kita merasakan betapa interaksi kita dengan orang lain melalui teknologi adalah hal yang sangat berharga. Bagi perantau, komunikasi dengan keluarga kadang adalah hal biasa. Tapi dengan situasi seperti ini, pertanyaan seperti ”apa kabar ma, pa?” sungguh terasa maknanya. Kita tidak pernah tahu apakah saya atau orang tua saya adalah pembawa virus, atau bagaimana kondisinya, sehingga menanyakan kabar adalah hal yang sangat berharga dan bermakna. Haruskan kita diterpa terror pandemi ini supaya kita menyadari pentingnya bersosialisasi dengan sesama? Pembicaraan dengan diawali dan diakhiri dengan,”Sehat-sehat lo ya!” ternyata berubah menjadi hal bermakna.
Haruskan kita diterpa terror pandemi ini supaya kita menyadari pentingnya bersosialisasi dengan sesama? Pembicaraan dengan diawali dan diakhiri dengan,”Sehat-sehat lo ya!” ternyata berubah menjadi hal bermakna.
Hari Minggu sore, saat itu saya di kantor dan menyaksikan streaming misa bagi umat Katolik. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah saya lakukan. Saya bukan orang paling religius di keluarga atau komunitas saya. Misa pun saya sering bolong karena berbagai alasan.
Misa itu berubah menjadi sebuah misa paling syahdu yang pernah saya ikuti. Hanya berbekal sebuah teknologi di handphone, kita bisa mengikuti misa ‘darurat’. Dua hal yang membuat saya tidak berhenti menitikkan air mata, adalah tradisi Salam Damai bagi sesama umat yang kini harus hilang, karena kita pun tidak bisa melaksanakan itu di tengah social distancing. Saya pun melihat pastor pun nampak kikuk saat mengucapkan,”Mari kita berikan salam damai..”. Menetes air mata saya, menyadari betapa situasi ini benar membuat kita tidak mampu memberikan salam damai bagi semua. Selain itu, pengucapan doa yang berisi permohonan maaf kepada Tuhan karena kita tidak mampu hadir ke rumah-Nya karena situasi kembali menusuk pikiran saya. Apakah saya memang setidakmampu itu untuk melaksanakan ibadah ini seperti biasa? Apakah saya memang berada di situasi darurat sehingga tidak mampu untuk hadir ke tempat ibadah?
Jawabannya, kita tidak bisa. Saya menyadari bahwa di titik ini, saya bukanlah siapa-siapa. Mungkin ada orang yang menyebut saya figur publik atau news anchor. Namun dalam situasi seperti ini, kita adalah warga yang harus berjuang hidup dan sehat di tengah pandemi virus ini. Apakah kita harus merasakan situasi seperti ini lagi untuk menyadari pentingnya kehadiran Tuhan?
Kita harus belajar dari jeda, untuk bisa menyadari betapa ada hal luput di sekitar kita atau menyadari ada hal yang harus kita syukuri di sekeliling kita. Dalam situasi pandemi global yang merajalela tidak hanya kehidupan nyata namun juga digital, kita diharapkan untuk tetap bisa menjadi sosok yang sehat secara fisik dan juga mental. Tidak perlu kita menggemborkan berbagai kasus meningkatnya kematian atau hal mengerikan lainnya.
Kita harus belajar dari jeda, untuk bisa menyadari betapa ada hal luput di sekitar kita atau menyadari ada hal yang harus kita syukuri di sekeliling kita.
Saya ingat hasil wawancara saya dengan psikiater yang mengatakan, secuek apapun kita, namun selama informasi masih kita terima dan ada di sekeliling kita, alam bawah sadar kita bisa mendorong tiga hormon dalam diri yang bisa menyebabkan stress yang kita sadari dan tidak kita sadari.
Teman-teman, tugas saya dan jurnalis lain yang masih bekerja mungkin bisa sebagai corong informasi resmi dan konfirmasi. Namun kita semua lah yang bisa membuat filtrasi beragam informasi, dan mengambil sisi positif dari situasi yang tengah kita hadapi. Jadilah lilin yang menyala bagi sesamamu, sebab kita semua pasti bisa melewatinya.
Kita semua lah yang bisa membuat filtrasi beragam informasi, dan mengambil sisi positif dari situasi yang tengah kita hadapi. Jadilah lilin yang menyala bagi sesamamu, sebab kita semua pasti bisa melewatinya.