Hi! Kamu sepakat tidak kalau aku bilang bahagia itu sederhana?
Hmmm... Aku coba paparkan beberapa hal yang membuat aku bilang bahagia itu sederhana ya.
Kalian pernah melihat dan mengamati mereka yang tidur di gerobak tepi jalan pada malam hari?
Kalau aku sering. Setiap kali aku melewati mereka kadang aku terpaku. Mengamati dalam waktu singkat di sela perjalanan menuju pulang ke rumah. Aku melihat beberapa ekspresi, misalnya pandangan diam mereka ke jalan, lahapnya menikmati nasi bungkus di trotoar, hingga senyum dan tawa yang tnampak jelas menggambarkan kebahagiaan di wajah mereka. Gambaran bahagia di wajah mereka begitu sederhana tapi hangat.
Suatu ketika aku mencoba mengajak ngobrol Pak Jun dan bertanya, bahagia itu apa? "Ya kalau saya bisa makan nasi lauk ayam seperti sekarang berdua sama Ibu," katanya sambil menatap istrinya.
"Dalam hidup bagaimana kita bisa merasakan bahagia dengan mudah?" tanyaku lagi.
"Bersyukur, Mbak. Bapak bersyukur ada anak muda kayak Mbak masih mau ngobrol sama kami yang hidup di jalan kayak gini. Kadang bersyukur kalau malam bisa tidur pules karena nggak hujan atau nyamuk. Ya intinya bersyukur dalam keadaan apapun, Mbak."
Aku tertohok mendengar kata 'bersyukur dalam keadaan apapun'. Lah, kadang aku mikir tabungan yang segitu-segitu saja sudah bikin pusing kepala. Yup, terkadang kita memang suka atau bahkan sering berekspektasi terlalu tinggi hingga jika tidak mencapainya. Kita lupa untuk bersyukur hingga menjadi merasa bahagia. Padahal, bahagia itu tidak ada batasan atas atau bawah. Bahagia itu tentang perasaan, yang bisa dirasakan ketika hati kita tenang dan damai sehingga kita mampu menyadari bahagia yang datang dengan berbagai cara.
Terkadang kita memang suka atau bahkan sering berekspektasi terlalu tinggi hingga jika tidak mencapainya. Kita lupa untuk bersyukur hingga menjadi merasa bahagia. Padahal, bahagia itu tidak ada batasan atas atau bawah.
Lalu pernah juga suatu waktu aku ke Desa Ciwaluh di Bogor. Waktu itu aku menumpang toilet di rumah warga. Penghuninya hendak menyantap makanan hasil bumi yaitu singkong, ubi jalar, dan talas - tapi beda dari talas yang aku kenal, untuk makan siangnya di dapur yang sederhana. Mereka mengajak aku makan juga, tapi aku hanya mengambil satu talas, karena aku hanya melihat sepiring makanan yang akan disantap oleh seorang nenek, kakek, ibu, bapak dan cucu perempuannya.
Rasa talasnya hambar sedikit manis, legit, dan pulen. Namun, yang membuat hatiku berdesir, mereka tetap mengajakku makan siang bersama meski mereka hanya mempunyai sepiring umbi-umbian untuk makan siang. Tawarannya sangat terasa tulus di balik senyum bahagia. Apakah itu wujud bahagia? Iya aku melihat jelas ekspresi bahagia di wajah mereka yang hendak menyantap makan siang sederhana bersama keluarga di rumahnya kala itu.
Sedikit kesimpulan berdasarkan cerita di atas dari beberapa orang yang pernah aku temui; bahagia itu memang sederhana dan sedekat nadi sendiri. Hanya saja kadang kita luput menyadarinya.
Bahagia itu memang sederhana dan sedekat nadi sendiri. Hanya saja kadang kita luput menyadarinya.
Aku sempat bertanya-tanya pada diriku. Pantaskah aku selama ini mengeluh hanya karena merasa bosan di rumah saja? Tidak bisa makan makanan kesukaan karena sedang tutup akibat pembatasan sosial, atau merasa susah tertawa karena rasanya beban hidup ini berat sekali. Lantas, apa sih beban hidup yang aku pikul?
Setelah aku ingat-ingat lagi, tidak ada alasanku untuk tidak tersenyum hari ini. Aku masih bisa makan di rumah dengan nyaman, aku masih ada pakaian bersih, dan bisa ganti-ganti di lemari, tidak ada masalah dengan keluarga atau orang terdekatku, serta ada orang yang akan membantu dengan tulus ketika aku dalam kesulitan. Apa pantas aku tidak senyum hari ini hanya karena pikiran-pikiran negatifku sendiri?
Apa pantas aku tidak senyum hari ini hanya karena pikiran-pikiran negatifku sendiri?
Misalnya aku merasa hanya begini-begini saja, mengapa aku sampai lupa akan ratusan bahkan mungkin ribuan perjuanganku hingga sampai di titik sekarang pada hari ini?
Kenapa aku lebih ingat hal-hal yang menurut pikiranku belum tercapai di saat usiaku saat ini? Mengapa tidak dibalik saja? Sadari apa saja yang sudah ada dan bagaimana perjuangan langkahku hingga di sini. Harusnya semudah itu aku tersenyum. Semudah itu aku bisa merasa bahagia. Jadi, sekarang kamu sepakat kalau bahagia itu sederhana kan? Kalau aku iya. Hehe
Untuk kamu yang selesai membaca tulisan ini, coba duduk diam, lalu ingat lagi perjuangan-perjuanganmu selama ini, atau lihat sekelilingmu. Pasti kamu akan menemukan apa itu bahagia menurut kamu. Setelahnya, percaya deh, kamu perlahan mulai bisa merasakannya dan tersenyum-senyum sendiri. Mau tertawa terbahak-bahak juga tidak apa-apa. Lakukan saja yang bisa membuatmu tersenyum dulu. Tidak usah begitu memikirkan pendapat orang lain. Selama kamu bisa bahagia dan tidak mengganggu mereka, ya sah-sah aja. Ingat satu hal, kebahagiaanmu lebih penting daripada pendapat orang lain atau pikiran negatifmu itu.
Bahagia itu tidak perlu dicari, cukup temukan dalam dirimu sendiri. Sesederhana itu.
Bahagia itu tidak perlu dicari, cukup temukan dalam dirimu sendiri. Sesederhana itu.