Seberapa banyak kebahagiaan yang harus didapatkan sampai kita benar-benar merasa bahagia?
Pertanyaan yang mungkin sulit dijawab oleh hampir kebanyakan manusia modern di kota besar yang selalu berlomba-lomba mengejar pencapaian-pencapaian. Mulai dari karir luar biasa yang bisa dibanggakan ke teman-teman sekolah, istri (atau suami) dan anak-anak lucu yang Instagram-perfect, hingga mobil mewah yang membuat semua orang di jalan menoleh. Kita terbiasa menjadikan hal-hal besar sebagai milestone kebahagiaan, namun melupakan bahwa ia pun dapat ditemukan dari hal terkecil sekalipun.
Pertanyaan tadi muncul di kepala saya pada suatu petang di sebuah stasiun kereta commuter. Saat tengah menunggu kereta, saya mencoba melihat sekeliling ramainya stasiun itu. Mata saya tertegun pada sesosok anak kecil dengan ibunya. Entah dari mana mereka. Yang pasti, anak tersebut tampak lelah menemani ibunya – yang juga tampak tak kalah letih. Barangkali sebagai hadiah untuk menemani, sang ibu membelikan sepotong roti cokelat. Bukan roti mahal dengan isian cokelat impor, namun hanya sepotong roti ‘abang-abang’ dengan taburan meses cokelat – yang saya taksir harganya tak sampai 5.000 rupiah. Sesederhana itu. Namun dari hal sesederhana roti cokelat murah tadi, anak itu tak henti-hentinya tersenyum dan berterimakasih ke ibunya. Ia memandangi roti itu seperti sebuah hadiah yang tak terkira nilainya. Melihat sang anak begitu bahagianya, ibunya pun turut tersenyum – meskipun masih tampak lelah.
Kita terbiasa menjadikan hal-hal besar sebagai milestone kebahagiaan, namun melupakan bahwa ia pun dapat ditemukan dari hal terkecil sekalipun.
Dari situ saya pun tersentak. Betapa hal-hal kecil yang kadang kita anggap sebagai sesuatu yang kurang bermakna sesungguhnya bisa menjadi sebuah sumber kebahagiaan. Terkadang kita terlalu sering menganggap segala sesuatu yang sederhana sebagai hal yang ‘biasa saja’ dan pada akhirnya malah take it for granted. Kita lupa bahwa semua yang kita dapatkan – besar maupun kecil – adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang mestinya kita syukuri.
Andaikan saat itu saya yang dibelikan roti cokelat oleh ibu saya, mungkin saya tak akan sebahagia anak tadi. Pertama, bagi saya tak ada yang istimewa dari sebuah roti cokelat. Kedua, ibu saya membelikan buah tangan semacam itu adalah hal yang biasa. Karena saya menganggapnya sebagai hal yang ‘biasa-biasa saja’, nilai dari roti cokelat itu pun jadi kehilangan makna. Padahal, meski mungkin tidak terasa seenak itu, roti tadi bisa mengenyangkan perut saya. Atau dilihat dari sisi berbeda: ibu saya begitu sayang sehingga masih ingat untuk membelikan sesuatu untuk saya. Keduanya adalah sebuah kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Namun saya justru melupakannya.
Betapa hal-hal kecil yang kadang kita anggap sebagai sesuatu yang kurang bermakna sesungguhnya bisa menjadi sebuah sumber kebahagiaan.
Saya pun seketika merasa malu. Melihat anak tadi bisa merasa bahagia dari hal yang sederhana, sementara saya butuh hal-hal yang nilainya lebih daripada itu. Mungkin itulah yang pada akhirnya membuat saya – dan mungkin banyak di antara kita – stres dalam menjalani hidup. Kita terlalu berusaha memasang standar kebahagiaan yang tinggi lewat pencapaian-pencapaian besar. Yang apabila kita gagal mencapainya akan memberi kekecewaan mendalam, bahkan sampai mengutuki diri.
Padahal kalau kita mau membuka mata, setiap harinya kita telah dilimpahkan berbagai kebahagiaan. Mulai dari saat masih bisa bangun selepas tidur malam, masih bisa makan pagi, hingga masih punya tempat untuk pulang di malam hari. Saat kita mampu merasakan kebahagiaan di hal-hal terkecil sekalipun, kita akan menyadari bahwa hidup ini akan baik-baik saja. Karena pada dasarnya, Tuhan tidak pernah memberikan kesulitan bagi setiap manusia. Yang dibutuhkan hanya lebih peka dan mensyukuri segala anugerah yang telah kita dapat.