Dengan begitu banyaknya artikel dan buku tentang pengembangan diri yang kini beredar, orang-orang menjadi lebih sering berbicara mengenai beragam cara untuk menjadi diri mereka yang lebih baik – atau yang kerap lucu-lucuan mereka sebut sebagai ‘saya versi 2.0’. Mungkin saya yang terlalu cuek dengan diri sendiri atau ‘saya versi 1.0’ tidak peduli tentang merasa sadar hingga tidak tahu bagaimana caranya, kemudian saya pun tergerak untuk mencoba mencari tahu dengan membaca dan menyerap begitu banyak ilmu yang saya bisa. Mulai dari membaca buku, artikel, jurnal medis, hingga menonton berbagai film tentang depresi. Saya pun berbicara dengan banyak orang – berdiskusi dengan mereka lewat cara yang beragam. Sampai saat ini pun saya masih terus belajar.
Pada awalnya saya tidak menyadari betapa pentingnya merasa sadar atas diri sendiri sampai akhirnya bertemu dengan beragam 'pemicu'. Definisi pemicu bagi saya adalah hal yang untuk kebanyakan orang merupakan titik kritis dalam hidup – yang pastinya bukanlah pengalaman untuk semua orang. Bentuknya macam-macam, bisa saat patah hati, melihat sebuah kecelakaan lalu lintas, atau saat mendapat pertanyaan dalam sebuah kesempatan mengajar yang kita tidak bisa menjawabnya. Intinya pemicu ini bisa muncul dalam cara yang beragam; dan terasa berbeda-beda. Bisa saja terasa berbeda untuk setiap orang, namun yang terpasti momen itu akan mengantarkan kita pada suatu perubahan (yang seringnya ke arah yang lebih baik)
Untuk Bisa Sembuh, Kita Harus Merasakan Sakit
Rasa sakit umumnya menjadi titik balik kehidupan seseorang. Begitulah faktanya. Suatu ketika saya pernah membaca kutipan dari penulis buku Principles bernama Ray Dalio, “Alam memberikan kita rasa sakit sebagai penyampai pesan bahwa kita telah mendekati, atau bahkan melewati batas diri kita. Setiap saat kita berjumpa sesuatu yang menyakitkan, kemungkinannya kita tengah berada dalam sebuah jeda kehidupan – di mana kita punya kesempatan untuk memilih kenyataan yang pahit namun menyehatkan atau delusi yang menyenangkan namun tidak sehat.” Ya, rasa sakit memang tidak pernah terasa nyaman, tapi itulah yang mampu mengembangkan diri kita sebagai manusia. Kita hanya perlu menyadari dan merasakan situasi tidak nyaman itu dan menganalisanya hingga ke titik permasalahan terdalam. Lama kelamaan, kita akan mulai menyadari bahwa rasa sakit adalah hutang yang terbayar seiring berjalannya waktu.
Banyak Cara Untuk Menyembuhkan
Proses penyembuhan dari rasa sakit adalah semacam trial and error – mirip dengan A/B testing. Penyembuhan bisa dikatakan mirip sebuah eksperimen random dengan begitu banyak variabel. Tujuan akhirnya adalah untuk mencari cara manakah yang paling efektif serta efisien dan cocok untuk diri kita. Untuk dapat menyembuhkan rasa sakit, jangan pernah takut untuk mencoba berbagai macam variabel kemungkinan yang ada. Menumpahkan perasaan lewat tulisan? Curhat dengan sahabat? Memelihara hewan peliharaan? Apa pun bentuknya, lakukan segala sesuatu yang bisa membuat kita merasa lebih baik dan terus lakukan sampai bisa menemukan cara apa yang benar-benar membantu kita melupakan rasa sakit itu.
Alam memberikan kita rasa sakit sebagai penyampai pesan bahwa kita telah mendekati, atau bahkan melewati batas diri kita. Setiap saat kita berjumpa sesuatu yang menyakitkan, kemungkinannya kita tengah berada dalam sebuah jeda kehidupan – di mana kita punya kesempatan untuk memilih kenyataan yang pahit namun menyehatkan atau delusi yang menyenangkan namun tidak sehat. — Ray Dalio
Cinta Bisa Membantu (Dan Bentuknya Bisa Beragam)
Rasa cinta bisa sangat membantu jika kita dalam suatu proses penyembuhan. Jika Anda mengira cinta yang dapat menyembuhkan hanyalah romansa, jawabnya tidak; bukan hanya itu saja. Bisa jadi iya, namun masih ada berbagai jenis cinta lainnya. Cinta adalah ketika orang lain menganggap kita sebagai orang yang bisa diandalkan. Cinta adalah ketika ada orang yang meluangkan waktunya untuk benar-benar mendengarkan kita. Cinta adalah saat terbangun di pagi hari dan masih diberikan kesempatan untuk hidup sehari lagi. Cinta adalah ketika tahu kita tidak menghukum diri sendiri karena tidak melakukan apapun. Cinta adalah saat memiliki kesempatan untuk merasionalkan perilaku kita. Tidak masalah apa pun jenis cintanya, tetapi ketahuilah bahwa cinta itu ada.
Jangan pernah takut untuk mencoba berbagai macam variabel kemungkinan yang ada untuk menyembuhkan rasa sakit.
Perlu Waktu Dan Waktu Itu Relatif
Waktu adalah konsep yang cukup lucu; ia bersifat universal namun bisa membagi, ia terlihat seperti untuk selamanya namun sesungguhnya tidak. Kita tidak bisa memburu-buru waktu namun ia bisa bergerak begitu cepatnya. Seumur hidup kita telah ‘didoktrin’ bahwa segala sesuatunya harus serba instan. Tapi nyatanya, kupu-kupu perlu empat minggu untuk menjadi indah seperti yang kita ketahui. Perlu empat tahun untuk tahun kabisat bisa mengulang. Sementara manusia butuh ribuan tahun untuk berevolusi dan masih terus berevolusi hingga kini. Jadi, apa yang membuat proses penyembuhan berbeda?
Saya telah belajar bahwa menyembuhkan adalah proses yang menyakitkan yang rasa sakitnya bisa datang dari sudut terkecil hidup kita. Prosesnya pun merupakan sebuah perjalanan yang sangat personal – dan menuliskan tentang perjalanan itu sendiri telah membantu menyembuhkan rasa sakit saya. Saya pun menemukan kenyamanan saat membaca tulisan mereka-mereka yang berani mengungkapkan rasa sakitnya. Tidak ada satu kesimpulan tentang bagaimana cara untuk dapat mencapai ‘saya versi 2.0’, tapi dengan berbagi pemikiran ini mungkin bisa membantu siapapun di luar sana yang membutuhkan. Tak masalah jika kita beristirahat hari ini. Tak masalah jika kita merasakan rasa sakit esok hari. Pada akhirnya, kita punya waktu seumur hidup yang harus terus dijalani.