Hai, apa kabar? Udah lama nggak ngobrol.
Aku di sini baik-baik saja, sudah hampir 7 bulan tinggal di kota baru ini. Kita kayaknya udah nggak di kota yang sama, mungkin sudah..5 tahun? Tapi terakhir ngobrol kan 2 minggu lalu itu ya. By the way, waktu itu kan aku sempat cerita soal ketemu pria menarik baru. Nah, kebetulan kita masih ngobrol, dan aku sempat mention soal dirimu ke dia.
Jadi waktu itu kita ngobrolin soal best friend, jadi aku cerita, bahwa best friend-ku itu...dia ada di sisi dunia lain, tapi aku selalu merasa dekat sama dia. Kapan pun aku merasa butuh dukungan, dia selalu ada. Dan semoga dia juga berpikir begitu ya. Malah jadinya bagus, karena kalau malam-malam butuh cerita, yang satunya masih siang hari. Menyadari kita punya seseorang yang selalu akan merespon kita di saat susah, rasanya kayak punya selimut tambahan. Tidur jadi tenang.
Menyadari kita punya seseorang yang selalu akan merespon kita di saat susah, rasanya kayak punya selimut tambahan. Tidur jadi tenang.
Nah, terus aku cerita juga, dan ini kita sudah pernah bahas juga ya: I think my best friend is better than me in everything. Everything. Jadi apapun yang bisa gue lakukan, dia bisa melakukan dengan lebih baik lagi, dan lebih baiknya JELAS BANGET. Sekarang gue kuliah S2, dia lagi kuliah S3. Dulu kita satu ekskul, dan kalau gue juara 2, dia juara 1. Termasuk yang santai-santai juga, misalnya aku suka podcast, ternyata dia juga udah mendengarkan semua podcast, dan bisa kasih rekomendasi. Terus bilangnya, “podcast hobi aja sih dengerin sambil gak ada kerjaan di rumah”. Jadi sambil self deprecating! Seolah iseng, tapi isengnya pun lebih luas dan intens daripada keisengan gue. Jadi apapun yang aku tahu, dia lebih tahu. And you know this.
Terus, kenapa kamu masih temenan sama dia? Sebenarnya itu pertanyaan bagus sih. Karena biasanya kalau ketemu orang yang serba bisa, aku akan cenderung terintimidasi dan menghindar. Apalagi kalau orangnya sesama perempuan, dan itu kan nggak beralasan ya. Entah kenapa kalau ketemu sesama perempuan itu pasti otomatis saling membandingkan. Wah dia pintar ya, dalam hati, aku nggak sepintar itu. Wah dia cantik ya, dalam hati, coba aku secantik itu. Nggak ada salahnya sih mengagumi orang lain, tapi entah kenapa rasanya seperti mencari-cari alasan untuk merendahkan diri sendiri. Sampai hal terkecil sekalipun, wah rambutnya bagus ya panjang, aku nggak bisa deh panjangin rambut...
Tapi with my best friend (that’s you) ada sesuatu yang berbeda. Aku nggak merasa perlu berjuang untuk bisa diterima. Termasuk kamu bisa menerima bahwa gue akan selalu merasa inferior next to you. Itu akan selalu terjadi. Kamu lebih pintar, lebih aktif, lebih tahu jokes receh, dan aku harus menerima bahwa di pertemanan ini, kalau kita bersebelahan, maka orang akan melihat dirimu dan aku adalah bulan yang dapat hempasan sinar mataharimu. Ya memang begitulah adanya.
Dan tentunya, aku tahu hidupmu itu nggak mudah, dan nggak sempurna. Aku tahu dari curhatan malam-malam kita. Kalau dengerin best friend lagi ada masalah, perasaan saling membandingkan dan inferior itu hilang. Yang penting, kita ada di situ untuk bantu dan dukung dia. Kalau mau inferior lain kali aja, sekarang sahabatmu lagi perlu support nih. I think that’s special. Katanya sih great minds think alike, dan kalau ada orang sepintar dirimu yang mau aja temenan sama gue, itu membuatku berpikir, kita bukan brand yang lagi jualan dan cari competitive advantage. Kita adalah dua manusia yang berada di perjalanan yang berbeda, dengan frekuensi yang sama. And for that, I love you. Happy December.
Kita bukan brand yang lagi jualan dan cari competitive advantage. Kita adalah dua manusia yang berada di perjalanan yang berbeda.
Terima kasih sudah mendengarkan episode terbaru dari Weak Ties. Kalian punya nggak teman seperti ini juga? Coba deh share episode ini ke mereka, dan...oh. Sebentar, ada balesan.
Dear Tika,
Terima kasih banyak untuk suratnya. Terus terang ketika membaca gw ketawa-ketawa sendiri, soalnya kok gw kok gak mengenali diri dalam deskripsi surat itu? Memang kita nggak mungkin melihat diri kita dari kacamata orang lain and that’s probably why we become our own worst critic.
Kalau ada satu hal yang perlu ditantang dari surat itu adalah asumsi gue menerima perasaan lo yang inferior dari gue. That’s simply not true. Malah kalau gue yang harus bikin perbandingan antara lo dan gue, gue pasti akan tiba pada kesimpulan yang bertolak belakang dari lo.
You are like one of the most curious, courageous and adventurous people that I know. It’s really not a comparison. Tapi mungkin itu poinnya. Kita harus berhenti saling membandingkan, berhenti menggunakan pencapaian orang lain sebagai tolak ukur untuk menilai diri sendiri. Tapi memang susah ya. Gue juga terlalu sering membandingkan diri gue dengan pencapaian orang lain, sehingga merasa selalu tertinggal, merasa terlalu lambat dalam proses gue. And that’s why I’m really grateful for friends like you, to remind me that I’m actually doing alright. I miss you and I can’t wait to be in the same city once again.
Kita harus berhenti saling membandingkan, berhenti menggunakan pencapaian orang lain sebagai tolak ukur untuk menilai diri sendiri.