Self Planet & People

Tinggal Dalam Pluralisme

Sejak umur lima tahun, saya pindah dari Semarang ke Jakarta. Bertumbuh dan beranjak dewasa di rimba beton di mana saya banyak menghadapi lika-liku kehidupan tidaklah selalu mudah. Jika ditanya apa yang paling tidak disukai saat tinggal di sini, saya akan menjawab macet. Siapa yang suka dengan kemacetan? Tapi begitulah Jakarta dengan kemacetannya telah jadi masalah nan pelik dan terus mengganggu warganya. Sepertinya ini bisa terus terjadi karena Jakarta menjadi kota yang sudah kelebihan populasi. Orang-orang di luar Jakarta banyak yang merasa ibu kota memberikan harapan untuk kehidupan lebih baik. 

Tidak heran Jakarta jadi pusat berbagai hal di negara kita. Menurut saya, banyak orang dari kota-kota lain melihat Jakarta sebagai sebuah kota yang keren karena modernisasinya. Banyak gedung-gedung mewah, pertokoan dan tempat nongkrong dengan para selebriti atau influencer lalu lalang. Sayangnya, sebagai pusat kehidupan tata kotanya masih belum betul-betul memadai. Saya pikir mungkin kalau pembangunan di daerah-daerah lain bisa lebih merata, Jakarta mungkin bisa jadi lebih baik. Laju urbanisasi mungkin bisa ditekan.

Beberapa tahun lalu, saya pindah ke pinggiran Jakarta. Ke area Tangerang Selatan, lebih tepatnya. Di sini saya merasa walaupun dekat dengan Jakarta tapi sungguh amat berbeda dengan tata kota dan struktur yang lebih rapi. Apabila Jakarta bisa menerapkan apa yang ada di pinggiran ini, mungkin kehidupannya bisa terasa lebih nyaman. 

Namun dari segala kekurangannya, tetap ada nilai yang saya sukai dari Jakarta yaitu keberagaman. Dulu saya pernah belasan tahun tinggal di daerah Condet dan melihat bagaimana berbagai suku, etnis, golongan, dan bermacam-macam profesi tinggal bersama dalam keberagaman. Orang-orangnya ramah kepada orang-orang yang dikenal, tapi bisa sangat mudah diajak basa-basi dengan orang yang mungkin tidak dikenal. Jika bisa digambarkan, karakter warga jakarta seperti hukum Newton nomor 3 yaitu Aksi sama dengan Reaksi.

Namun dari segala kekurangannya, tetap ada nilai yang saya sukai dari Jakarta yaitu keberagaman.

Ironisnya, keberagaman itu  mudah sekali terusik. Terlalu banyak faktor pemicu yang dapat mencerai-berai keindahan keberagaman kita. Saat tinggal di daerah Condet itu, saya berada di area dengan dominasi orang Betawi. Akan tetapi, tetangga-tetangga saya berasal dari suku yang berbeda-beda. Mulai dari suku keturunan Tionghoa hingga keturunan Arab, semua hidup berdampingan sangat akur. Lalu tiba-tiba ada isu suku dan ras yang “digoreng”. Entah oleh siapa. Tiba-tiba saya pernah ditegur oleh seorang tetangga karena memakai baju band metal. Katanya, kalau pakai baju seperti ini sehari-hari saya tidak bisa masuk Masjid dengan alasan yang menurut saya kurang masuk akal. Persekusi semacam inilah yang membuat saya mulai merasa tidak betah tinggal di Jakarta. Bisa jadi, ini juga banyak dialami warga Jakarta lainnya yang sering berkomentar negatif tentang sang ibu kota. 

Saya rindu sekali dengan masa-masa semuanya masih saling menghargai perbedaan satu sama lain. Memang, keberagaman itu berpotensi memiliki dua dampak negatif dan positif. Pertama, membuat masyarakat yang tinggal dalam keberagaman memiliki toleransi tinggi. Tapi di satu sisi lain bisa membuat sebagian menjadi etnosentris, atau masyarakat yang cenderung memiliki sikap dan pandangan yang berpangkal pada budayanya sendiri. Akhirnya mereka mengesampingkan budaya orang lain karena mungkin merasa terancam. Meski sekarang saya tidak bisa seutuhnya dibilang orang Jakarta karena sudah tinggal di Tangerang, tapi saya berharap kita semua bisa kembali memahami Bhinneka Tunggal Ika. Mulai menghargai perbedaan karena berbeda bukan untuk dimusuhi. Dan ini tidak hanya berlaku di Jakarta tapi di mana sudut manapun di Indonesia.

Saya berharap kita semua bisa kembali memahami Bhinneka Tunggal Ika. Mulai menghargai perbedaan karena berbeda bukan untuk dimusuhi.

Related Articles

Card image
Self
Kesediaan Membuka Pintu Baru Melalui Musik

Bagiku, membahagiakan sekali melihat saat ini sudah banyak musisi yang bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya melalui berbagai genre musik tanpa ketakutan tidak memiliki ruang dari pendengar Indonesia.

By Mea Shahira
23 March 2024
Card image
Self
Berproses Menjadi Dewasa

Ada yang mengatakan usia hanyalah angka. Sebagian memahami hal ini dengan semangat untuk tetap muda, menjaga api dalam diri untuk terus menjalani hari dengan penuh harapan.

By Greatmind
23 March 2024
Card image
Self
Kala Si Canggung Jatuh Hati

Bagiku, rasa canggung saat bertemu seseorang yang menarik perhatian kita adalah hal yang menjadikan kencan pertama istimewa. Menurut aku, saat baru pertama kali bertemu dan berkenalan kita memang masih harus malu-malu, momen canggung ini yang nantinya bisa menjadi berharga setelah beriringnya waktu.

By Dillan Zamaita
23 March 2024