Seperti pisau bermata dua, digitalisasi yang melingkupi dunia saat ini memberikan baik kemudahan, juga tantangan. Perlu kelincahan dan kebijaksanaan untuk tetap sehat jiwa raga menghadapinya.
Semua orang pastilah ingin selalu sehat. Teknologi kesehatan yang semakin maju membuat sehat secara fisik bisa menjadi lebih mudah diraih ketimbang sehat secara mental, terlebih di era “polusi” bagi jiwa begitu mudah diserap di berbagai media sosial. Berbagai inovasi yang semakin canggih dan teruji, berhasil menyelamatkan banyak nyawa dari cengkeraman penyakit-penyakit mutakhir yang sebelumnya tak terobati, yang virusnya terus membelah diri menjadi varian-varian penyakit baru yang tak jarang mematikan. Demikian terus. Munculnya virus akan diikuti inovasi, lalu ada lagi virus baru, yang menantang para peneliti mencari inovasi yang bisa menjadi penawar dan penyembuh. Begitu seterusnya. Namun ada yang kerap luput dari perhatian. Jiwa pun butuh penanganan untuk tetap sehat.
Menjadi sembuh dan benar-benar sehat di era digital di mana “virus dan polutan” yang bisa membuat kita sakit, baik fisik maupun mental, yang datang dari berbagai penjuru, memang merupakan tantangan yang perlu dihadapi dan diterima oleh semua orang yang hidup bersama perkembangan dunia digital yang berputar amat cepat. Kesibukan yang tinggi, tuntutan performa yang baik di kantor, makanan yang tak terjaga asupannya, berbagai informasi yang berseliweran di media sosial dan sebagainya sangat bisa menjadi sumber penyakit, tak hanya bagi tubuh, tapi juga pikiran dan jiwa.
Di sebuah artikel yang tanpa sengaja saya baca dari laman Open Learn milik The Open University, Dr. Gini Harrison pengajar senior ilmu psikologi pada Fakultas Seni dan Ilmu Sosial, berdua dengan Dr. Mathijs Lucassen pengajar senior dalam bidang kesehatan mental di Fakultas Kesejahteraan, Pendidikan dan Ilmu Bahasa di universitas tersebut menyebutkan bahwa stres dan kecemasan memang merupakan sisi gelap yang bisa ditimbulkan oleh teknologi. Mereka mencatat lima penyebab yang membuat stres dan kecemasan dapat muncul sebagai dampak interaksi manusia dengan teknologi, proses digitalisasi juga perkembangan media sosial saat ini. Distraksi berkesinambungan, ketidakteraturan waktu tidur, keseimbangan antara kerja dan kehidupan yang kerap timpang, ketakutan tertinggal dan terlihat “kudet”, serta perbandingan sosial yang semakin mudah dilakukan merupakan hal-hal yang menurut Harrison dan Lucassen dapat memicu stres dan kecemasan.
Sebagai seorang yang bergelut di dunia media sosial seperti saya, hal tersebut memang terasa nyata. Meski tak selalu bisa dilihat dan diidentifikasi, hal-hal yang disebutkan itu benar-benar terjadi. Apalagi ketika media sosial kemudian menjadi salah satu acuan andalan atau bahkan bagi sebagian orang, bisa jadi merupakan sumber kebenaran. Padahal, dunia digital dan media sosial itu adalah juga tempat di mana kabar burung dan berita-berita bohong bisa “didandani” menjadi utusan pembawa kebenaran.
Ini mengapa beberapa tahun belakangan, saya bersama Reza Gunawan mencoba membuat konten-konten yang positif mengenai penyembuhan dan hal-hal positif lain di media sosial. Kami ingin memberi alternatif lain, yang diharapkan bisa mengimbangi konten-konten yang bisa berdampak negatif buat pikiran dan jiwa yang seringkali terpaksa kita lihat tanpa kita inginkan. Saya sendiri pernah mengalami depresi karena “bergerak terlalu cepat” dan tak peduli bahwa semua manusia perlu jeda, perlu melambatkan jalan sebentar untuk mercharge energi, juga menetralisir negativitas yang bertubi-tubi datang dan saya serap lewat berbagai intreaksi baik nyata maupun maya. Saya abai mencintai dan menerima diri apa adanya, juga lupa bahwa kesehatan tak hanya perlu dimiliki oleh tubuh, tapi juga jiwa saya. Langkah kecil yang saya lakukan bersama Reza, saya harapkan bisa bisa menyumbang sedikit bantuan bagi mereka yang mengalami keadaan seperti saya saat itu. Kesehatan mental itu bagian terpenting dari seseorang yang kerap lupa dijaga, dan bahkan sering luput dari perhatian.
Mengenali diri sendiri, menerima dan mencintainya tanpa tuntutan adalah kunci paling penting yang perlu kita miliki saat ini. Kita harus tahu kapan bilang ya, kapan bilang tidak, kapan harus jalan, kapan harus berhenti, mana yang perlu diprioritaskan, mana yang tidak perlu, hal apa yang mau kita ambil dan buang dari begitu banyak informasi yang kita peroleh setiap hari. Belajar legawa menerima berbagai situasi, tak melekat pada suatu keadaan sehingga ketika keadaan tersebut berubah, kita tak jadi goyah. Di zaman persaingan yang tanpa sadar muncul dari rasa ingin jadi yang paling keren di media sosial, barangkali kita juga harus belajar untuk melihat tak hanya apa yang tampak, tapi juga hal-hal tak terduga yang ada di balik semuanya. Setiap orang memiliki pertempurannya masing-masing. Maka hal terpenting yang bisa kita pelajari terus menerus barangkali adalah bersyukur atas apa yang kita miliki.
Hal yang juga penting diperhatikan adalah kesehatan raga. Meskipun kita punya cukup banyak bantuan, tetap saja kita perlu pandai memilih mana yang paling baik dan bisa memberi sumbangan positif bagi kesehatan kita secara holistik. Selain berolahraga, mengkonsumsi makanan dengan nutrisi yang baik juga menjadi trik yang bisa dijadikan andalan. Sahabat saya, Max Mandias, ahli nutrisi yang juga penggagas dan pemilik restoran vegetarian Burgreens, pernah bilang bahwa nutrisi memegang peranan penting untuk memastikan kesehatan tubuh. Ia mengutip seorang penulis yang menyelidiki rahasia umur panjang dia orang-orang paling tua di bumi. Menurutnya, Dan Bodner, sang penulis itu, menemukan bahwa rahasia umur panjang mereka itu terletak pada makanannya yang plant-based diet. Mereka tidak 100 persen vegetarian atau vegan, tapi mereka mengkonsumsi sesuatu yang plant-based. Selain bisa hidup lebih sehat dan lebih panjang umur, menurut Max ini pun akan mempengaruhi produktivitas seseorang menjadi lebih baik.