Terkadang kita lupa kalau bumi itu bulat. Terkadang kita lupa akan konsep alfa dan omega di mana keduanya berpusat pada satu titik. Terkadang kita lupa bahwa hidup itu polanya adalah sirkular (melingkar) bukan linear (garis lurus). Berawal dan berakhir di sebuah titik yang sama. Mungkin seringkali banyak dari kita tidak sadar kalau seringkali mengarahkan diri dari dalam keluar. Konsep out of the box ditanamkan begitu dalam. Seakan-akan kita harus mencari keluar saja. Padahal jika konsepnya adalah sebuah kotak, berarti isi di dalam kotak itu pun termasuk dalam pemikiran kita. Secara tidak sadar pula sebab konsep garis lurus inilah yang membuat kita, manusia, tidak pernah puas. Tidak pernah mengakhiri pencarian dan pertanyaan yang muncul dari faktor luar diri.
Ketidakpuasan kita berawal dari sistem pendidikan. Dimulai dengan adanya konsep angka dan tingkatan. Di atas sebuah angka akan ada angka lain. Tidak pernah selesai. Belum lagi dengan sejumlah standarisasi di tengah masyarakat kita. Sukses, cantik, bahagia, semua ada standar tertentu. Sedikit banyak standarisasi ini dipengaruhi oleh lahirnya media dengan konten yang memengaruhi perilaku dan pandangan kita tentang sukses, cantik dan bahagia. Setiap hari kita selalu mencari berita, hal-hal baru. Media pun seakan bertanggung jawab menyediakan semua itu dengan berbagai cara. Baca saja sejumlah tajuk berita: "Lima Hal yang Membuat Kita Bahagia." Seolah itulah pakem kebahagiaan sejati. Belum lagi kehadiran teknologi dan kemudahan yang membelokkan pemikiran tentang kebutuhan dan keinginan. Biaya telepon gratis, cicilan 0%, hingga online shop yang mendorong kita membeli sesuatu yang (mungkin) tidak dibutuhkan dan bukan elemen pemuas hidup.
Kepuasan hidup kita selama ini bergantung pada teknologi dan konsumerisme karena pola pendidikan kita selalu melihatnya keluar. Tidak pernah melihat ke dalam. Padahal di atas langit masih ada langit. Tidak akan pernah ada habisnya karena melihat keluar. Saya pernah mendapatkan klien yang berpikir kalau payet bajunya tidak berkilo-kilo berarti tidak terlihat mahal. Banyak dari mereka yang mencoba berpikir out of the box lalu out-out of the box karena pola berpikirnya linear. Kalau desainer panutan seseorang mempromosikan asimetris nanti ada orang lain berusaha mencari desainer lain yang lebih wow lagi dari itu. Ada yang kerahnya berdiri, selendangnya menjuntai panjang. Belum lagi dengan penambahan lapisan aksesori yang berlebihan. Nantinya persona seseorang tertinggal dari bajunya. Seolah-olah pakaiannya yang menggunakan orangnya bukan orang yang menggunakan pakaian.
Kepuasan hidup kita selama ini bergantung pada teknologi dan konsumerisme karena pola pendidikan kita selalu melihat keluar. Tidak pernah melihat ke dalam.
Banyak pribadi yang lupa saat mencari keluar dia juga harus mencari ke dalam. Sebab orang yang kian hari selalu mencari keluar akan semakin tidak tahu dan semakin takut. Manusia sebenarnya takut dengan hal yang dia tidak tahu. Karena tidak tahu arti kiamat maka dia takut. Karena tidak tahu rasanya meninggal maka dia takut. Lalu segelintir individu pun membuat sebuah standar untuk menutupi ketidaktahuan dan ketakutannya itu. Seperti saat ada yang bilang: kenapa tidak berhijab? Sebentar lagi kiamat, lho. Tapi kala ditanya arti kiamat dia tidak bisa menjelaskan. Kiamat secara etimologi berarti kebangkitan. Memang kebangkitan dengan purgatory (pembersihan jiwa) ada di satu titik karena pola linear tadi. Sedangkan jika kita memahami pola hidup adalah sirkular, kita akan punya cinta dan harapan sehingga kekuatan kita adalah rasa bersyukur dan rasa cukup akan diri sendiri.
Manusia sebenarnya takut dengan hal yang dia tidak tahu.
Saya merasa era ini membutuhkan kontra arus. Sesuatu yang membangunkan, memberikan solusi pada mereka yang sudah semakin terbawa arus. Kalau dipikirkan kembali, setelah teknologi 4.0 lalu teknologi versi 5.0, 6.0 dan seterusnya tidak akan selesai. Lama-lama teknologi lebih canggih dari manusia dan manusia terkerdilkan. Teknologi bahkan disesapkan ke dalam urat nadi. Lalu manusia seolah berubah menjadi Robocop atau Transformer. Padahal manusia lebih canggih dari teknologi. Hanya kita belum tahu saja bahwa tubuh kita memiliki unsur-unsur yang menyembuhkan diri. Sesungguhnya pun, untuk merasa cukup kita sebagai manusia harus tahu berasal dari mana dan tahu ke mana kita harus kembali pulang. Konsep ini akan terpelihara jika kita tahu siapa yang mencipta dan ke mana kita akan kembali. Kalau kita masih banyak pertanyaan seperti, "Kenapa saya harus wudhu?" "Kalau meninggal ke mana saya lantas pergi?" Kita akan sulit untuk merasa terpenuhi. Ketika sudah tahu tujuan utama kita maka akan memahami dan menyadari apa yang harus dilakukan termasuk pergerakan apa yang bisa membuat sebuah perubahan.
Pada akhirnya rasa puas itu bukan soal buat apa saya dihidupkan ke dunia. Namun kemana saya akan pulang. Bagaimana kualitas hidup saya saat ini dan warisan apa yang bisa ditinggalkan untuk generasi berikutnya. Pemenuhan waktu selama hidup untuk membuat warisan dan menyampaikan pesan pada banyak orang lewat karya. Bagi saya bukan angkat bendera dan berada di barisan depan memperjuangkan hak politis. Saya memilih berjuang untuk hal-hal yang fundamental, menyalakan lilin satu-satu lewat komunitas dalam kajian sejarah dan budaya nusantara.
Pada akhirnya rasa puas itu bukan soal buat apa saya dihidupkan ke dunia. Namun kemana saya akan pulang.