Secara kasat mata, tahun 2020 rasanya seperti “rumah hantu” versi nyata. Hanya saja rumah hantu ini tidak ada jalan keluarnya. Segala hal-hal menakutkan yang tidak pernah kita pikirkan, atau kita hindari untuk pikirkan terjadi di tahun ini. Lebih jauh lagi, tahun 2020 bagi saya punya dualisme. Rasanya saya seperti terjebak di situasi yang stagnan tanpa tahu kapan selesainya , tapi di satu sisi lain saya merasa inner self saya “bergerak” maju. Banyak perasaan-perasaan yang “dilawan.”
Banyak sekali yang saya pelajari tahun ini. Saya merasa jadi lebih gigih (resilient) lagi. Ibaratnya, ketahanan mental saya tadinya ada di level 10, di tahun ini seolah didorong hingga level 15. Tentu saja di pertengahan jalan ada masa saya mengalami mental breakdown. Namun dalam hati seperti ada yang bicara, “Jika saya bisa melewati tahun yang luar biasa menantang ini (secara mental), saya bisa mengatasi hal-hal menantang lainnya nanti.”
Banyak sekali yang saya pelajari tahun ini. Saya merasa jadi lebih gigih (resilient) lagi.
Memiliki waktu luang lebih banyak, saya jadi punya kesempatan untuk mendalami kecintaan saya pada film, dunia tulis-menulis, dan presenting (membawakan acara). Saya jadi semakin rajin ikut lokakarya mengenai perfilman, baik dari segi penyutradaraan, penulisan skenario, editing, produksi, dan departemen-departemen lain di dalamnya. Tidak berhenti di sana, saya juga ikut lokakarya penulisan untuk medium lain, seperti untuk novel. Di luar itu saya sesekali dapat kesempatan untuk menjadi pembawa acara dan moderator untuk acara-acara daring. Ternyata walaupun saya tidak bisa melakukan aktivitas ini secara offline, kebutuhan akan pembawa acara atau moderator tetap terbuka. Tawaran-tawaran ini saya anggap sebagai sebuah kesempatan yang dapat dimanfaatkan untuk tetap mengembangkan potensi diri.
“Jika saya bisa melewati tahun yang luar biasa menantang ini (secara mental), saya bisa mengatasi hal-hal menantang lainnya nanti.”
Di samping itu, kegemaran saya photo hunting juga tetap dilakukan. Biasanya saya suka photo hunting di mana saja, terutama pas traveling ke dalam dan luar negeri. Kali ini saya photo hunting setiap kali jalan pagi atau sore di daerah sekitar tempat tinggal. Jalan kaki dan foto-foto lingkungan sekitar membuat saya jadi lebih mengapresiasi hal-hal kecil yang dulu mungkin saya anggap sepele. Bisa jalan sore di daerah perumahan yang asri itu ternyata juga sebuah privilese yang harus saya syukuri. Tidak semua orang di masa pandemi ini bisa berolahraga di luar rumah dengan aman. Bisa jadi mereka mungkin benar-benar terjebak di tempat yang lebih terisolasi atau suasananya tidak kondusif. Plus, dengan berburu foto, saya juga lebih menghargai kota tempat saya tinggal.
Bisa jalan sore di daerah perumahan yang asri itu ternyata juga sebuah privilese yang harus saya syukuri. Tidak semua orang di masa pandemi ini bisa berolahraga di luar rumah dengan aman,
Sementara itu di sela-sela terus mengembangkan potensi diri, saya menemukan hobi baru, yaitu mendalami dunia hiburan Korea. Terakhir saya mengikuti K-Drama (drakor) di tahun 2004. Setelah itu tidak tahu mengapa saya tidak lagi pernah tertarik untuk menonton. Seolah merasa masih banyak serial lain yang ingin diselesaikan. Di akhir tahun 2019 ada satu drakor yang sangat populer, “Crash Landing on You”. Popularitasnya membuat aku tergoda untuk mencoba menonton. Dari sekadar coba satu, saya mengulik judul-judul lain baik yang sudah lama maupun baru berasal dari rekomendasi orang-orang. Terlihat sekali dari cara produksinya, industri mereka sudah sangat matang. Saya belajar banyak dari situ dan lihat betapa seriusnya persiapan dan pembuatan setiap serial drakor.
Begitupun dengan K-Pop, saya punya beberapa grup dan penyanyi favorit sejak 2012. Tapi tidak pernah mendalami. Sekadar suka aja. Tahun ini saya juga tertarik mendalami K-Pop, mengulik grup-grup generasi baru. Dari semua ini, saya paling tertarik melihat bagaimana Korea mengelola industri hiburan mereka hingga sebesar dan semendunia sekarang, bagaimana strategi pemasaran mereka, cara mereka menarik perhatian orang-orang dari negara lain padahal bahasa mereka tidak kita mengerti. Sungguh mengesankan sekali mempelajari sebuah fenomena dan strategi di baliknya. Harapan saya, suatu hari industri hiburan (dan lain-lain) di Indonesia bisa semaju mereka.
Di masa pandemi ini, saya bersyukur jadi punya lebih banyak waktu untuk mengulik hal-hal baru. Setiap tertarik dengan hal baru, otomatis saya dapat inspirasi baru yang bisa diaplikasikan ke dalam tulisan. Namun di sisi lain, kondisi pandemi tahun ini benar-benar “menghajar” mental. Kita seakan punya banyak waktu di keseharian tapi di saat yang sama sulit mendapatkan motivasi di tengah masa yang cukup depresif ini. Yang paling mengganggu saya adalah ketidakpastian kapan ini semua akan berakhir. Jadi terkadang suasana hati turun naik. Satu hari saya bisa semangat mengerjakan sesuatu, hari lain saya bisa tidak mengerjakan apa-apa dan kehilangan mood serta motivasi untuk melakukan apapun. Menemukan keseimbangan dalam keseharian kita di masa-masa sekarang ini bisa dikatakan sangat menantang.
Syukurnya, saya bertemu dengan psikoterapi. Di tahun ini saya akhirnya “menyerah” dan baru mau untuk mengobati masalah mental karena takut terserang depresi. Tadinya saya enggan untuk ke psikolog, psikiater, atau psikoterapis karena saya enggan untuk menangis di depan orang yang tidak dikenal atau harus menceritakan masalah-masalah pribadi saya. Tapi tahun ini seolah memojokkan saya ke jalan buntu. Tahun-tahun sebelumnya saya masih bisa bertahan, masih bisa cari “pelarian” lain. Sayangnya, tahun ini karena tidak ada bentuk pelarian lain (traveling, keluar rumah untuk ngopi, nonton di bioskop, dan lain-lain) membuat semuanya jadi ekstra berat. Alhasil setelah mengikuti sesi terapi rutin, saya merasa amat tertolong terutama dalam mengatasi trauma-trauma di masa lalu.
Tahun ini bisa dibilang banyak mengubah hidup saya. Terutama keinginan untuk melalui beragam tantangan yang ada. Saya manusia yang juga punya batas kekuatan, bisa mengalami mental breakdown juga, bisa sedih, tidak termotivasi dan lain-lain. Tapi saya yakin kekuatan terbesar saya adalah adanya kemauan keras untuk menolak terlalu lama berada dalam kesusahan, baik fisik maupun mental. I think the drive and willpower within are what keeps me going, no matter how tough the situation is. Rasa penasaran saya untuk belajar hal-hal baru juga jadi kunci “kewarasan” selama pandemi. Makanya saya tetap memaksakan untuk mengikuti psikoterapi, melawan semua perasaan-perasaan enggan. Sebab kalau saya biarkan diri ini terpuruk dalam kondisi depresi, saya bisa kehilangan semangat untuk bangkit lagi. Saya takut sekali itu terjadi.
Saya manusia yang juga punya batas kekuatan, bisa mengalami mental breakdown juga, bisa sedih, tidak termotivasi dan lain-lain. Tapi saya yakin kekuatan terbesar saya adalah adanya kemauan keras untuk menolak terlalu lama berada dalam kesusahan, baik fisik maupun mental.
Pada akhirnya, saya bisa tetap semangat menjalani hari-hari yang menantang ini dengan menerima hal baik dan buruk yang ada. Saya tidak mau menyangkal rasa frustasi, tidak ingin menekan atau memendamnya. Jika waktunya sedih, diarasakan saja sedihnya. Pun dengan marah, pusing, kesal, dan lain-lain. Dengan tidak menyangkal hal-hal yang dirasakan tidak enak saya jadi lebih cepat “bangkit” dan “memecut” diri sendiri lagi. Saya juga berupaya untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dengan medium apapun. Bisa dengan menulis, olahraga, bicara dengan teman atau pasangan, atau bahkan tenaga profesional. Satu hal yang paling berbekas dari tahun ini buat saya adalah: tidak semua beban harus kita tanggung dan simpan sendiri.
Satu hal yang paling berbekas dari tahun ini buat saya adalah: tidak semua beban harus kita tanggung dan simpan sendiri.