Dunia maya awal tahun ini diramaikan dengan sebuah tantangan yang viral dengan cepatnya bernama #10YearChallenge. Dalam tantangan ini, kita diminta untuk mengunggah foto diri dari sepuluh tahun sebelumnya dan membandingkan dengan foto kita saat ini. Ternyata selain menjadi sebuah fenomena ‘lucu-lucuan’, aktivitas ini menjadi sebuah pengingat bahwa waktu berjalan cepat dan bisa mengubah manusia – secara fisik maupun mental.
Tak ubahnya semua orang, beberapa hari yang lalu pun saya ikut mengunggah foto diri sepuluh tahun yang lalu. Perlu hampir setengah jam untuk saya memilah foto mana yang patut diunduh dari Facebook. Bukan karena tentu saja saya perlu waktu untuk memilih foto yang tak terlihat aib. Namun, saat membuka kembali album foto digital tersebut, seakan saya tersedot mesin waktu yang membawa nostalgia ke momen-momen di sepuluh tahun yang lalu itu.
Saya yakin bukan hanya saya yang kemudian larut dalam nostalgia mengingat-ingat momen lampau gara-gara #10YearsChallenge ini. Bernostalgia memang terasa menyenangkan, kok. Dari sebuah literatur yang pernah saya baca, konon secara psikologis nostalgia bisa membawa beberapa manfaat. Katanya, saat mengenang momen-momen menyenangkan di masa lalu, memori kita memicu pusat penghargaan atau reward center di otak yang kemudian melepaskan perasaan bahagia. Tak heran saat kita melihat foto lama kemarin, kita kemudian merasakan kembali bagaimana bahagianya kita dahulu.
Bagi orang lain kebahagiaan yang dibawa lewat nostalgia itu mungkin berupa momen kejayaan mereka di sepuluh tahun lalu saat tengah gemilang dalam karir, percintaan, atau secara fisik – ia yang dulu paling ‘megang’ di pergaulan ibukota, ia yang dulu dikejar-kejar begitu banyak pria, atau ia yang dulu cantiknya bukan main. Namun bagi saya, kebahagiaan itu berupa hidup-tanpa-beban saat bertransisi dari ‘anak kecil’ ke seorang pemuda. Tepat sepuluh tahun yang lalu, pertama kalinya saya memasuki dunia nyata dengan mulai bekerja.
Mengenang momen menyenangkan di masa lalu, memicu memori di otak untuk melepaskan perasaan bahagia.
Nostalgia memang memberikan perasaan yang ‘ajaib’ – kalau tidak mau disebut ‘magis’. Ada suatu perasaan nyaman yang seakan menyelimuti hati, namun di sisi lain seakan ada kesedihan yang hinggap. Saat mengingat masa lalu, kita merasakan kembali kebahagiaan-kebahagiaan tersebut. Namun ketika otak menyadari bahwa momen tersebut telah lalu – dan kita telah kehilangannya – muncul lah perasaan sedih itu.
Meski terasa bittersweet, sesungguhnya bernostalgia menjadi aktivitas yang membawa banyak manfaat. Dalam sebuah studi tahun 2012 yang dipublikasikan jurnal Memory menyebutkan bahwa nostalgia membantu orang untuk bisa ‘menghubungkan’ pengalaman-pengalaman masa lalu dengan kehidupan mereka saat ini untuk dapat menemukan arti hidup yang sesungguhnya karena perasaan bittersweet yang dibawanya itu mampu meningkatkan mood dan menekan stres. Tak heran jika orangtua kita senang sekali berkumpul dengan sahabat-sahabatnya sambil karaoke lagu-lagu jadul, kan.
Perasaan bittersweet yang dibawa mampu meningkatkan mood dan menekan stres.
Bernostalgia juga lebih enak dilakukan bersama-sama – baik dengan keluarga ataupun sahabat. Betapa menyenangkannya menertawakan betapa jeleknya penampilan teman-teman kita dulu, atau bahagianya mengingat saat-saat kecil dulu. Karenanya, nostalgia juga mampu meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain. Masih berdasarkan jurnal ilmiah tersebut, nostalgia membuat kita merasa disayang dan dihargai oleh orang lain.
Yang terpenting, sih, jangan sampai nostalgia kita justru menjebak kita – terutama bila berkaitan dengan kekasih masa lalu. Bisa bahaya jadinya!