“Aku ingin kita udahan.”
Bagaimana perasaan kita ketika mendengarkan kata-kata ini keluar dari pasangan? Kalau aku, akan panik dan takut.
“Eh kenapa tiba-tiba? Bisa kita omongin dulu?” Ini respon yang akan aku keluarkan.
Pasangan kita kemudian bercerita alasan mengapa dia ingin menyudahi. Dia tidak lagi merasa nyaman dan cocok. Sedangkan kamu merasa...ini masalah komunikasi. Kamu berjanji akan berubah, akan berkompromi, asalkan diberikan kesempatan untuk menjaga agar hubungan ini tidak kandas.
Ketika kita menjalin hubungan dengan seseorang, ada momen di mana kita merasa takut akan kehilangan. Kita takut kehilangan kepercayaannya. Kita takut kehilangan rasa sayangnya. Kita takut kehilangan...dia.
Bahkan kita lebih merasa takut kehilangan daripada merasa senang mendapatkan sesuatu untuk nilai yang sama. Contohnya begini, kita akan lebih merasa takut kehilangan satu juta rupiah, dibandingkan merasa senang mendapatkan satu juta rupiah. Asimetris ini ternyata memang insting alami manusia. Temuan ini sudah dibuktikan secara ilmiah oleh duo ekonom perilaku (behavioural economist), Daniel Kahneman dan Amos Tversky yang ditulis pada makalah “Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk”.
Grafik Prospect Theory. Gambar dicuplik dari Prospect Theory in Action. Sumber: Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk, diterbitkan oleh Econometrica, 1979
Grafik di atas menunjukkan ketidakpuasan psikologis kita lebih curam ketika kehilangan sesuatu dibandingkan ketika mendapatkan sesuatu untuk nilai yang sama.
Kita lebih merasa takut kehilangan daripada merasa senang mendapatkan sesuatu untuk nilai yang sama.
Secara sadar atau tidak, rasa takut ini kemudian menjadi motivasi kita untuk mencapai atau melakukan sesuatu. David Asch, Direktur Eksekutif dari Penn Medicine Center for Health Care Innovation, melakukan sebuah eksperimen. Asch ingin orang-orang berjalan lebih banyak dengan target 7.000 langkah setiap harinya. Ia membagi kelompok orang ke dalam dua grup: Grup A dan Grup B. Grup A diberikan insentif. Apabila mereka setiap hari berjalan 7.000 langkah, maka mereka akan dibayar Rp10.000. Dengan kata lain, kalau mereka berjalan kaki setiap hari dalam satu bulan, mereka akan mendapatkan Rp300.000. Grup B juga diberikan insentif, namun caranya berbeda. Pada awal bulan mereka diberikan Rp300.000. Kalau mereka tidak berjalan setiap harinya, maka mereka akan kehilangan Rp10.000. Hasilnya? grup B lebih banyak berjalan, 50% lebih banyak daripada grup A.
Contoh-contoh di atas menggunakan nominal sebagai referensi. Bagaimana kalau yang akan hilang itu sesuatu yang abstrak? Bagaimana kalau yang hilang adalah rasa peduli pasangan kita? Bagaimana yang hilang adalah waktu pasangan untuk kita?
“Kenapa sih begitu aku udah bilang mau udahan, kamu jadi langsung berubah gini? Omonganku dari dulu memang ga kamu dengerin?”
Terlepas dari apa yang diperdebatkan, ini adalah sebuah perilaku alami manusia. Kita lebih mudah melakukan sesuatu, ketika kita tahu konsekuensinya. Jika kita tidak melakukannya, maka kita akan kehilangan sesuatu yang kita anggap penting.
Kita lebih mudah melakukan sesuatu, ketika kita tahu konsekuensinya.
Mungkin kita suka sebal ketika melihat pasangan kita meninggalkan kebiasaan buruknya setelah ada perbincangan bahwa hubungan ini akan kandas. Seakan-akan perubahan tidak datang dari inisiatif sendiri dan perasaan kita dianggap tidak penting. Tetapi bisa jadi, mungkin kita sedang melawan insting purba manusia.
“Aku tahu kamu sayang aku. Aku bisa mengerti keadaanmu. Tapi aku berharap kamu dapat meluangkan waktu untuk berbagi kesulitanmu denganku, sehingga aku dapat membantumu.”
Aku sendiri sebetulnya tidak memiliki rekomendasi ataupun solusi apapun ketika kita dihadapkan situasi dengan contoh hubungan di atas. Aku hanya dapat mengajak kamu dan berharap dengan ini kita lebih mampu memahami pasangan kita. Mungkin...dengan menerima rasa takut akan kehilangan, kita dapat bertemu dengan pasangan di jalan yang penuh perbedaan.
Sebelumnya diunggah pada 6 Maret 2021