Standar kecantikan di masyarakat kita akan selalu ada. Kenapa? Karena kecantikan adalah bisnis. Ketika standar kecantikan diterapkan di masyarakat, masyarakat jadi tergugah untuk membeli lebih banyak barang dan rela mengeluarkan uang (banyak) untuk memperoleh jasa yang berhubungan dengan kecantikan. Standar kecantikan akan selalu ada selama masyarakat yang hidup di budaya patriarki ini masih menyuguhi apa yang menurut pria menarik. Sebab wanita masih dilihat objek, sebagai pelengkap kehidupan seorang pria. Di Indonesia, khususnya, standar kecantikan bisa dilihat dari sejarah kita. Kita dijajah oleh bangsa berkulit putih dan berambut pirang. Jadi mungkin secara tidak sadar, kita ingin terlihat seperti itu: berkulit putih, berambut lurus dan pirang.
Aku sendiri pernah mempertanyakan mengapa harus ada standar kecantikan. Perempuan ada di dunia tidak hanya untuk dilihat saja. Mengapa kita harus ditekan oleh penampilan yang disetujui di masyarakat? Tapi kemudian aku berpikir lagi bahwa kita bisa tidak terpengaruh oleh ada atau tidak adanya standar kecantikan. Selama kita memiliki standar kecantikan sendiri, memiliki kesadaran diri, kita tidak akan terpengaruh. Tapi tentu saja kesadaran diri ini melalui proses panjang.
Kita bisa tidak terpengaruh oleh ada atau tidak adanya standar kecantikan. Selama kita memiliki standar kecantikan sendiri, memiliki kesadaran diri, kita tidak akan terpengaruh.
Dulu ketika masih sekolah, aku sering minder karena rambut yang keriting dan kusut. Aku tidak tahu bagaimana harus menatanya hingga akhirnya aku potong cepak karena merasa terganggu sekali. Seringkali aku mempertanyakan, “Kenapa sih rambutku nggak bisa terlihat seperti rambut model-model di produk sampo?”. Akhirnya karena aku meluruskan rambut agar terlihat berkilau dan lurus seperti standar kecantikan yang ada. Hasilnya? Rambutku justru jadi sangat rusak setelahnya.
Dulu self-awareness yang aku miliki masih rendah sekali. Bahkan aku pernah berada di masa mempertanyakan, “Siapa sih aku? Aku ini apa? Kenapa aku begini?”. Hingga akhirnya aku mencoba berdiskusi dengan diri sendiri mulai dari menelaah latar belakang keluarga, orang tua, nilai-nilai apa yang berasal dari mereka. Setelah ngobrol dengan diri sendiri dan tahu batasanku soal sosial, fisik dan mental, aku baru mulai mengerti mana area yang harus aku dibatasi mana yang harus terus ditekuni. Aku harus melewati hubungan yang sulit dulu dengan diri sendiri sebelum membuat batasan terhadap orang lain. Setelah melewati proses panjang, aku baru bisa percaya pada diri sendiri dan bilang, “Inilah aku, terserah kamu suka atau tidak.” Kalau orang lain tidak suka, tidak apa-apa. Aku tidak bisa menyenangkan semua orang karena aku juga belum tentu suka dengan semua orang.
Setelah melewati proses panjang, aku baru bisa percaya pada diri sendiri dan bilang, “Inilah aku, terserah kamu suka atau tidak”
Membuat batasan yang sehat membantuku untuk tidak mudah terpengaruh atas komentar buruk yang diberikan orang lain. Misalnya ketika ada orang yang menyayangkan aku gemuk padahal aku cantik. Aku mungkin akan merasa sebal tapi tidak akan terpengaruh. Aku biasanya akan bilang, “Terima kasih, aku memang gemuk dan cantik.” Inilah aku apa adanya. Kata gemuk itu hanyalah kata sifat biasa yang tidak menunjukkan sebuah kebaikan atau keburukan. Ini bisa terjadi sekarang karena aku sudah tahu siapa diriku dan memiliki kesadaran diri yang tinggi yang jadi perisai melawan komentar-komentar tidak enak, yang akan selalu ada.
Membuat batasan yang sehat membantuku untuk tidak mudah terpengaruh atas komentar buruk yang diberikan orang lain
Itulah artinya menerima diri sendiri. Kita tahu kekurangan dan kelebihan diri. Tahu apa yang disukai dan tidak disukai, nilai diriku sendiri, batasan-batasan apa yang harus dibuat, dan orang-orang seperti apa yang bisa diterima. Kalau sudah tahu, kenal, dan menyukai diri kita sendiri nantinya kita akan berupaya untuk memperbaiki lebih dan lebih lagi. Kalau sudah semakin sayang pada diri sendiri, kepercayaan diri juga akan tumbuh. Sekalipun sebenarnya mengenal diri sendiri membutuhkan waktu seumur hidup karena kita, manusia, pasti akan terus berubah. Mencintai diri sendiri adalah perjalanan, bukan sebuah destinasi. Saat ini, aku masih terus belajar untuk terus meningkatkan kesadaran terhadap diri sendiri. Ternyata selama terus belajar, aku merasa sedikit banyak bisa lebih bijak dan dewasa dalam melihat serta merespon situasi kehidupan. Ternyata, setelah aku menghargai diriku sendiri, barulah aku bisa percaya pada diri sendiri dan tampil apa adanya.
Ternyata, setelah aku menghargai diriku sendiri, barulah aku bisa percaya pada diri sendiri dan tampil apa adanya.