Banyak yang bilang kalau seorang seniman itu tidak bisa dipaksa berkarya. Saat sedang tidak ada inspirasi dan motivasi seakan seorang seniman dianjurkan untuk menekan tombol berhenti sampai suasana hati membaik dan mulai melanjutkan kembali yang tertunda. Banyak yang menilai seorang seniman bekerja tanpa kerangka waktu. Tidak bisa disanggah, kenyataannya memang sebagian dari para seniman memiliki kebiasaan seperti itu. Tidak ada yang salah karena setiap orang berbeda dalam mengatur prioritasnya. Seperti pada pekerjaan apapun, tiap pribadi pasti punya cara sendiri-sendiri untuk mengatur waktu dan prioritasnya dalam bekerja. Lalu bagaimana dengan saya? Saya justru merasa sebaliknya.
Tiap pribadi pasti punya cara sendiri-sendiri untuk mengatur waktu dan prioritasnya
Waktu adalah segalanya. Saya harus bisa membuat kerangka waktu dengan baik sebab saya ingin berevolusi secara berkelanjutan dalam waktu yang panjang. Sehingga saya harus pintar-pintar mengatur napas dalam proses berkarya. Harus tahu kapan waktu beristirahat sejenak, kapan mulai, dan mengakhiri sebuah karya karena berkesenian itu memakan energi serta pikiran. Bahkan saya harus bisa meluangkan waktu untuk tidak berpikir. Terlalu banyak menaruh pikiran pada sebuah karya bisa membuat seseorang justru kelelahan dan akhirnya mengalami creative block. Jadi saya pun harus bisa berstrategi dengan diri sendiri. Kondisi tubuh, pikiran, harus dijaga baik-baik. Menerapkan kedisiplinan pada diri sendiri membantu saya berevolusi dari waktu ke waktu.
Memang perlu diakui seorang seniman tidak mungkin menghindari masa-masa creative block. Ada waktu di mana kami menghadapi tembok-tembok penghalang ide dan gagasan baru. Namun tembok ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan langkah. Sebaliknya ini adalah tantangan pekerjaan seorang seniman: mencari solusi menembus tembok-tembok tersebut. Saya mungkin tidak pernah belajar seni secara khusus. Berkeinginan menjadikan seniman bisa dibilang tidak sengaja. Awalnya saya mengarungi bidang fashion sebelum menyadari persepsi saya akan industri ini amat berbeda. Bisa menjadi seorang seniman pun terasa seperti tercebur ke dalam kolam. Prosesnya bergulir layaknya bola salju. Dari sekadar ingin bertahan hidup dengan gambar-gambar yang saya buat hingga berdialog dan bertemu celah perlahan memasuki kehidupan seni lebih dalam.
Terlalu banyak menaruh pikiran pada sebuah karya bisa membuat seseorang justru kelelahan dan akhirnya mengalami creative block.
Eksplorasi berkarya saya pun terbilang berubah-ubah. Dulu karya saya sangatlah linear dan berbasis pada riset. Jika saya ingin menghasilkan lukisan A saya harus berusaha keras menciptakan persis seperti bayangan. Kemudian pandangan itu mulai berubah seiring waktu sampai kini karya saya melebur dengan keseharian. Lebih berdasar pada observasi dan pengumpulan narasi yang sudah ada di kepala. Saya melenturkan segala kemungkinan yang bisa terjadi selama proses berkarya ketimbang mencapai hasil sesuai rencana. Memang, terasa abu-abu. Akan tetapi ini penting bagi saya sebab saya ingin bisa membicarakan sesuatu dengan napas yang baru. Bisa jadi topiknya sama hanya dengan tarikan napas yang berbeda. Menurut saya cara ini dapat membantu saya menghadapi creative block serta membantu berkarya secara terus-menerus dalam waktu yang panjang.
Pada dasarnya pengalaman berkontribusi besar dalam pembuatan sebuah karya seni. Inspirasi mungkin datang dari pengalaman-pengalaman kecil di keseharian. Sekecil berada dalam sebuah angkutan umum. Saya bisa melihat bagaimana situasi di dalamnya, mobilitasnya, atau aturan menggunakannya. Dari pengalaman seperti ini saja dapat memberikan ruang diskusi yang unik. Apalagi kalau berbicara tentang alam dalam artian yang amat luas bukan dalam konteks semesta nan megah penuh dengan keajaiban. Justru dalam konteks alam manusia di mana kita berkegiatan sehari-hari. Terkadang manusia lebih suka membicarakan alam atas keindahannya saja. Bunga-bunga yang indah, pepohonan yang rimbun. Jarang sekali manusia menyadari bahwa kala membicarakan tentang alam sebenarnya hal-hal yang tidak menyenangkan atau bisa jadi merugikan juga bagian di dalamnya. Seperti kotoran, nyamuk, atau rasa panas. Mereka berasal dari “alam” dan kita harus bisa menerimanya tidak cuma mau menerima kenikmatan saja. Mereka juga berpartisipasi dalam proses kita mengalami sesuatu, bukan? Nyatanya, pengalaman kecil yang luput dari perhatian dapat menyampaikan pesan yang besar.
Pengalaman kecil yang luput dari perhatian dapat menyampaikan pesan yang besar.
Bagi saya, daripada saya harus menunda waktu panjang demi meningkatkan suasana hati dalam berkesenian lebih baik saya menelusuri kembali pengalaman-pengalaman yang pernah saya lalui sebelumnya. Tidak melulu pengalaman baik atau pengalaman sensasional seperti berada dalam tragedi mencengangkan. Berseberangan dari itu, saya malah akan memilih pengalaman akan ketidaksempurnaan untuk dibicarakan lebih dalam. Mengapa? Karena saya tumbuh dalam ketidaksempurnaan. Memiliki rambut keriting membuat sejumlah orang mempertanyakan mengapa tidak meluruskannya bak wanita kebanyakan. Diskusi akan ketidaksempurnaan itu ternyata membawa saya pada pemahaman bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari fenomena tapi sebenarnya seseorang yang merasa tidak sempurna itu tidak perlu menjelaskan ketidaksempurnaannya. Segala hal yang saya pelajari dahulu jauh dari kata sempurna. Namun dari pelajaran tersebut saya memahami betapa ketidaksempurnaan bisa membuka lebar pintu berdialog. Bukannya merayakan ketidaksempurnaan tersebut melainkan mendiskusikan apakah perlu atau tidak memperbaiki ketidaksempurnaan tersebut. Jika tidak perlu, paling tidak kita jadi tahu alasannya. Dari dialog dan diskusi ini pula saya mendapati lebih banyak pemikiran dan inspirasi. Membenturkan pemikiran sendiri dengan orang lain. Bukan untuk meminta validasi. Terlebih untuk mengisi sudut yang belum terpikirkan. Menjadikan saya berkembang tidak dengan berkutat pada pikiran sendiri saja.