Tempat tinggal sekaligus studio – yang saya namakan Halo Radio – ini bisa jadi sebuah contoh gaya hidup maksimalis yang penuh dengan barang serta pernak-pernik. Mungkin jika pertama kali menginjakkan kaki ke dalamnya, orang akan merasa overwhelmed dengan apa yang saya simpan. Mulai dari koleksi mainan tua, poster-poster film klasik, buku antik, hingga potongan-potongan kertas sisa berkarya – semuanya ada di sini. Namun itu semua bukan menjadi sebuah masalah karena memang ruangan dengan segala barangnya ini sengaja saya ciptakan untuk mendukung proses berkarya di mana saya ingin mendekatkan diri dengan sumber-sumber inspirasi.
Jika ditanya apakah saya merupakan seorang kolektor atau ‘penimbun’, mungkin jawabnya adalah keduanya. Karena semua obyek yang ada dalam tempat tinggal ini memang terbagi dua; ada yang merupakan barang koleksi seperti mainan tua, vinyl, dan sebagainya, namun ada juga yang memang sengaja disimpan untuk karya-karya seni saya berikutnya. Memang secara kebetulan, karya seni saya lebih banyak menggunakan barang bekas atau limbah. Umumnya barang yang ada di dalam tempat tinggal ini saya beli dari pasar loak karena melihat adanya potensi untuk dijadikan karya suatu hari nanti – kapan pastinya, urusan belakangan.
Sebagai manusia yang memang pada dasarnya senang mengonsumsi dan membeli barang terus-menerus, pasti tidak akan puas dengan apa yang saat ini dimiliki. Namun dalam konteks kebahagiaan, semua barang yang ada dalam tempat tinggal saya ini semuanya memberikan saya perasaan bahagia. Bisa jadi, karena semuanya memang merupakan barang yang saya sukai atau karena mereka dapat memicu lahirnya ide-ide kreatif.
Namun, memang ada kalanya maksimalis bisa menjadi berlebihan. Maksimalis menjadi berbahaya saat barang yang dimiliki mendefinisikan cara kita hidup di tempat tinggal kita sendiri. Terutama di saat barang-barang tersebut pada akhirnya memengaruhi atau bahkan mengubah cara penghuninya berkomunikasi dan berinteraksi. Misalkan saja, saking banyak barang yang ada sampai-sampai membuat orang di rumah itu tidak keluar kamar dan saling berinteraksi bersama penghuni lainnya.
Hidup gaya maksimalis ini mungkin menjadi sebuah antitesis dari ‘tren’ minimalis yang tengah berkembang. Sesungguhnya, maksimalis atau minimalis bukanlah tren semata – namun adalah sebuah gaya hidup yang semestinya kita jalani dengan seksama. Alasan di balik keputusan setiap orang untuk menjalani hidup maksimalis atau minimalis sebenarnya berbeda-beda dan ada di spektrum yang sangat luas. Apapun pilihannya, yang terpenting adalah tetap bahagia menjalaninya. Kalau mau berubah menjadi minimalis karena membantu mengurangi beban dan stres yang diciptakan oleh barang-barang simpanan – ya tidak masalah. Sementara saya sendiri pada dasarnya memang senang mengoleksi berbagai pernak-pernik – ya tidak apa-apa juga. Maksimalis atau minimalis adalah ekspresi jujur dari dalam diri.