Rasanya tidak ada seorang pun di dunia yang tidak punya masalah setiap harinya. Saat matahari mulai terbit saja banyak orang yang memulai harinya dengan masalah. Terlambat bangun, lupa sarapan, jalanan macet, dan sebagainya. Masalah seakan menjadi makanan sehari-hari yang mengenyangkan perut kita. Kalau tidak ada masalah, kita tidak hidup. Hanya saja kita kadang lupa bahwa semua orang punya masalah sendiri-sendiri dan cara yang berbeda untuk menyelesaikannya. Namun tidak jarang kita suka menyamakan kondisi mereka dengan kita. Seolah-olah kita paham betul akan apa yang mereka hadapi.
Kita kadang lupa bahwa semua orang punya masalah sendiri-sendiri dan cara yang berbeda untuk menyelesaikannya.
Ingat, setiap orang memiliki parameter yang bervariasi dalam melihat, meneliti dan menghadapi masalah. Terdapat variabel-variabel tertentu untuk mengukur besar-kecilnya masalah. Tergantung dari masing-masing pribadi itu sendiri. Tergantung dari sudut pandang siapa. Contohnya saja, ketika ada satu masalah kehilangan uang 20 ribu rupiah. Bagi mereka yang hidupnya berkecukupan mungkin 20 ribu tidak menjadi masalah besar. Tapi coba bayangkan jika ada seseorang yang sedang pas-pasan dan 20 ribu tersebut adalah uang terakhirnya untuk membeli makan. Akan jadi masalah besar, bukan? Itulah mengapa semakin dewasa kita harus belajar untuk tidak menilai satu masalah selalu dengan sudut pandang kita sendiri, membuat asumsi, dan prediksi kita untuk orang lain. Jika memang kita dibutuhkan untuk memberikan pandangan, pertama-tama posisikanlah diri pada situasi orang tersebut.
Sudah membudaya memang di negara kita tentang bagaimana banyak orang ingin ikut campur dalam masalah orang lain. Sistem kekeluargaan yang diterapkan seringkali membuat kita ingin ikut terlibat dalam masalah orang lain. Bermaksud membantu meski sebenarnya secara tidak sadar kita sedang memainkan peran sebagai pahlawan. Tidak salah. Hanya untuk beberapa kasus kita harus tahu batasan kapan perlu memberikan pendapat kapan harus menjadi pendengar yang baik saja. Merasa tidak kalau kita juga pernah berusaha memberikan tanggapan yang justru membuat orang tersebut berpikir negatif?
Semakin dewasa kita harus belajar untuk tidak menilai satu masalah selalu dengan sudut pandang kita sendiri, membuat asumsi, dan prediksi kita untuk orang lain.
Berawal dari fenomena ini di mana saya yakin sebagian orang mengalaminya tapi enggan membicarakannya, tercetuslah ide untuk menuliskannya dalam sebuah lirik. Dalam album Hindia yang baru-baru saja dirilis pun terdapat curahan hati yang membahas betapa semua orang punya masalah dan kita tidak perlu berusaha menjadi orang yang lebih dari mereka untuk memberikan inspirasi. Tidak perlu menjadikan diri lebih menderita, lebih sedih atau bahkan lebih baik dari mereka yang sedang bermasalah. Meskipun begitu, saya tidak berniat untuk menggembalakan siapapun untuk dapat sependapat dengan lirik-liriknya. Saya hanya ingin menuangkan cara saya melakukan terapi berdamai lewat menulis lagu.
Orang-orang yang merespon lagu ini seakan menjadi narasumber atas fenomena ini. Mereka merasa terwakili dengan ungkapan-ungkapan yang saya jalin dari satu nada ke nada lain dengan bahasa yang amat mudah dicerna. Ternyata banyak orang yang merasakan seperti saya. Hanya ingin didengarkan namun tak sedikit yang ingin mencoba menjadi pahlawan untuk mengeluarkan saya dari masalah. Padahal saya percaya bahwa semua orang sebenarnya sudah punya jawaban masing-masing terhadap masalahnya. Mereka hanya ingin menemukan konfirmasi atas apa yang hendak menjadi keputusannya. Kalau dipikir-pikir lagi, kita tidak berhak untuk mempengaruhi keputusan seseorang. Terutama saat mereka tidak meminta suara kita untuk masuk ke dalam pikirannya. Maka dari itu ada baiknya kita bertanya terlebih dahulu apakah orang tersebut perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian jangan sampai mengajak berdebat dengan mempertahankan opini. Berdiskusi. Itu kuncinya mencegah pertentangan.
Tidak perlu menjadikan diri lebih menderita, lebih sedih atau bahkan lebih baik dari mereka yang sedang bermasalah
Sebaliknya, ketika kita bermasalah dan bercerita pada orang lain kita harus memahami bahwa terdapat konsekuensi dari hal ini. Mungkin saja respon dari orang tersebut tidak sesuai dengan pemikiran kita. Mungkin saja orang tersebut tidak akan membuat kita merasa lebih baik. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk mendebat atau tidak saat kita mulai bicara. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda di mana memiliki pemahaman tersendiri soal kehidupan. Meski bukan berarti kita jadi harus tidak berani mengungkapkan sesuatu, yang perlu kita lakukan hanyalah lebih selektif. Harus tahu siapa lawan bicara kita. Apakah dia memang menjadi orang yang tepat untuk mendengarkan keluh kesah kita atau dia cukup mengonsumsi informasi tertentu saja. Jika memang terdapat argumen, ya sudah diterima. Dijadikan pelajaran bahwa lain kali mungkin kita bisa memilah masalah yang mana dan untuk diceritakan ke siapa. Jangan memaksa dia harus memberitahu solusi sesuai ekspektasi kita.