Pernah suatu kali saya melihat seorang komedian yang diidolakan sedang marah-marah. Kemudian dalam hati saya berpikir, “Kenapa dia marah-marah dia kan biasanya lucu.” Pada saat itu buat saya adalah tidak masuk akal seseorang yang selalu tampak ceria bisa marah-marah. Namun semakin berjalannya waktu dan saya ingat lagi kejadian itu barulah saya sadar bahwa yang namanya manusia pasti bisa marah. Tidak mungkin senang terus. Kalau senang terus pasti ada yang salah. Namanya hidup pasti ada emosi-emosi selain senang yang muncul.
Yang namanya manusia pasti bisa marah. Tidak mungkin senang terus.
Mungkin itu yang didapati orang lain terhadap saya. Melihat saya sebagai satu sosok yang selalu ceria seakan tidak pernah marah atau sedih. Padahal sebenarnya saya ini orangnya pemarah. Orang-orang yang kenal dekat pasti tahu saya pemarah. Hanya saya tahu waktu dan cara yang tepat untuk menyalurkan kemarahan tersebut. Belajar dari ayah saya – yang juga pemarah, ketika marah beliau tidak pernah mau menyakiti orang lain. Begitu pun saya. Marah ya marah tanpa harus berkata kasar atau sampai melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain. Begitu juga dengan kesedihan. Tentu saja hidup saya tidak luput dari kesedihan. Saya percaya what you resist persists. Bagi saya tidak perlu kita mencoba menolak untuk tidak sedih. Memang sulit karena secara alami manusia pasti akan menolak kesedihan. Tapi kemudian saya mengingatkan diri berkali-kali ketika momen itu datang, "Ya sudah tidak apa-apa. It’s okay for me not to be okay."
Terdapat satu film yang menurut saya dapat menggambarkan makna dari kesedihan. Film itu berjudul Inside Out. Di dalamnya ada dua karakter bernama Joy dan Sadness. Joy selalu berpikir bahwa Sadness hanyalah akan membuat segala sesuatu menjadi buruk. Seharusnya manusia bisa tidak sedih karena segala sesuatu bisa dibuat menyenangkan. Tapi akhirnya Joy sadar bahwa antara joy (kebahagiaan) dan sadness (kesedihan) dapat berjalan beriringan. Suka tidak suka kebahagiaan dan kesedihan adalah satu paket dalam hidup. Tidak akan ada kesenangan tanpa kesedihan. Dari film ini saya belajar bahwa ketika sedih saya tidak perlu memaksakan untuk senang. Sebab ketika saya mencoba keras untuk senang di saat masih merasa sedih, semua akan percuma. Kesedihan tidak akan hilang begitu saja. Sebaliknya saya akan merasa lebih setelah mengakui kesedihan tersebut. Menerima kesedihan sebagai bagian dari hidup dan nantinya akan berlalu. Kesedihan atau ketakutan akan kematian, misalnya, adalah sesuatu yang harus diterima sebagai konsekuensi hidup. Nyatanya hidup adalah untuk mati dan kesedihan itu akan selalu ada bahkan terkadang dibutuhkan.
Suka tidak suka kebahagiaan dan kesedihan adalah satu paket dalam hidup. Tidak akan ada kesenangan tanpa kesedihan.
Contoh pengalaman yang paling dekat saat ini adalah ketika saya dan semua orang menghadapi pandemi. Semua tiba-tiba berubah. Yang tadinya jadwal penuh bisa melakukan ini-itu sekarang tidak bisa melakukan apa-apa. Kita menghadapi kondisi di mana kita bahkan tidak tahu apakah bisa bertahan atau tidak. Peristiwa ini benar-benar menghajar kita habis-habisan. Menghilangkan hal yang paling dasar untuk saya dan kita semua: rasa aman. Di awal minggu saya diam di rumah, mulai mengetahui sudah ada pasien di negara kita yang positif terkena COVID-19, saya benar-benar stres. Setiap hari seolah merasa sakit. Dalam hati sering bilang, “Jangan-jangan saya kena.” Benar-benar paranoid mau melakukan apapun. Bahkan sampai jarang makan saking takut makanannya kurang bersih atau tidak bergizi. Kalau tidak sampai kelaparan saya tidak akan menyentuh makanan. Diikuti oleh ketakutan-ketakutan lain yang bermunculan di kepala. Ketakutan yang dulu bisa dikesampingkan sekarang harus dihadapi semua termasuk ketakutan terbesar saya: sendirian. Ditambah dengan membaca berita yang menambah stres. Jadilah hampir setiap hari saya menangis. Sempat saya mencoba melakukan distraksi seperti menonton tayangan yang membuat tertawa. Tapi ternyata tidak semudah itu. Pada saat nonton di kepala masih berputar pikiran-pikiran yang mengganggu. “Kalau saya positif bagaimana? Kalau harus sampai diisolasi di luar sendirian bagaimana? Kalau sampai meninggal bagaimana?” Setiap hari begitu.
Akhirnya titik balik saya adalah saat mencoba menerima keadaan, tidak memaksa untuk langsung kembali ceria. Kebetulan saya tergabung dalam sebuah komunitas stress management di mana saya diajarkan untuk menerapkan teknik-teknik penyembuhan di situasi darurat seperti sekarang. Di akhir minggu kedua berada di rumah perasaan cemas, takut, sedih itu barulah mereda. Saya mulai bisa berpikir, “Kenapa harus saya pikirkan sesuatu yang belum terjadi? Itu kan baru ketakutan saya saja. Sampai saat ini saya masih bisa bernapas, masih bisa hidup”. Pernyataan tersebut saya katakan pada diri berulang-ulang setiap hari. Sampai setiap kali bangun tidur yang saya ucapkan adalah, “Alhamdulilah, saya masih hidup”. Hari demi hari saya jalani dengan mencoba berpikir, “Sekarang kalau masih hidup apa yang bisa dilakukan?” Itulah yang kemudian membantu saya bisa menggeser emosi-emosi yang mengganggu.
Akhirnya titik balik saya adalah saat mencoba menerima keadaan, tidak memaksa untuk langsung kembali ceria.
Kejadian ini memang bisa jadi titik terendah dalam hidup kita namun sekaligus menjadi titik balik. Dari kejadian ini saya baru bisa melihat jelas betapa banyaknya hal yang bisa disyukuri dalam hidup. Seperti pada saat ada anjuran untuk sering-sering cuci tangan. Betapa beruntungnya saya bisa cuci tangan dengan air bersih. Bagaimana dengan orang lain yang bahkan tidak punya akses ke air bersih? Juga pada saat dianjurkan untuk work from home dan diam di rumah. Saya menyadari betapa bersyukurnya saya bisa punya tempat untuk pulang, tempat yang aman. Saya masih punya keluarga. Saya tidak ada keharusan untuk bekerja di luar rumah seperti sebagian orang yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sampai harus keluar rumah. Hingga akhirnya salah satu tindakan yang dapat membuat saya keluar dari kondisi stres dan sedih tadi adalah membuat pergerakan yang bisa dilakukan untuk mereka yang tidak punya keberuntungan seperti saya. Saya dan kakak-kakak beserta Gusdurian menggalang dana untuk memberikan donasi pada mereka yang masih harus bekerja di luar rumah. Memberikan hand sanitizer untuk mereka yang mungkin tidak bisa mendapatkan akses air bersih juga kebutuhan pokok sehari-hari. Mungkin kecil tapi paling tidak ini yang bisa saya lakukan. Sesuatu yang paling tidak bisa membantu kita melewati masa sulit ini bersama.
Saya menyadari betapa bersyukurnya saya bisa punya tempat untuk pulang, tempat yang aman. Saya masih punya keluarga. Saya tidak ada keharusan untuk bekerja di luar rumah seperti sebagian orang yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sampai harus keluar rumah.