Hampir semua standar kehidupan modern kini muncul dari media sosial; berapa banyak pendapatan dan aset kita di usia 25 tahun, dengan siapa kita berhubungan dan berafiliasi, sandang merek apa yang kita kenakan untuk malam Minggu, ke mana kita berlibur, sampai kursus daring apa yang kita ikuti. Seringkali, jika standar kehidupan tersebut belum bisa tercapai atau terpenuhi, kita sebagai manusia biasa kemudian berkecil hati, iri, bahkan depresi. Apakah ini normal? Apakah ini sehat?
Bekerja sebagai praktisi di bidang periklanan digital, saya tidak pernah absen membuka berbagai media sosial. Selain karena tuntutan profesi, ada kebutuhan sosial yang juga perlu saya penuhi. Namun, sebagai manusia (yang juga) biasa, saya juga pernah berkecil hati, iri, bahkan depresi ketika melihat puluhan; bahkan ratusan rekan saya di media sosial dan dunia nyata yang kini lebih baik kehidupannya. Sedangkan saya? Hanya mampu melihat semua perkembangan itu dari layar ponsel sembari merokok di sela-sela kekalutan pekerjaan. Siapa yang salah?
Mereka yang pamer kesuksesan dan kebahagiaan tanpa peduli perasaan dan pikiran kita, atau kita yang malas dan takut untuk berkembang?
Mereka yang hidupnya lebih beruntung, atau kita yang terlalu baper?
Apakah media sosial merupakan sebuah kesalahan; sebuah toxic?
Saya bukanlah ahli dalam psikologi; saya juga bukanlah seorang sosiolog. Namun rasanya sudah jadi rahasia umum bahwa pada dasarnya, manusia tidak luput dari iri hati dan seringkali membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Manusia juga memiliki ego ataupun kesadaran akan dirinya sendiri, yang jika berlebihan akan berujung arogansi. Semua itu merupakan kesalahan manusia; terhadap dirinya sendiri dan orang lain. So, what do we do?
Pertama, penting bagi kita untuk menyadari dan mengakui kesalahan apa yang kita perbuat dalam konteks ini. Bisa jadi, kita terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Bisa jadi, kita terlalu cepat menunjuk orang lain tanpa menyadari bahwa jari kita juga kotor.
Bisa jadi, kita terlalu cepat menunjuk orang lain tanpa menyadari bahwa jari kita juga kotor.
Seseorang berlibur ke Bali, atau melakukan swafoto di cermin toilet dengan iPhone 12 Pro Max barunya? Bisa jadi, itu adalah hasil jerih payahnya di saat kita sedang tertawa dan bergurau di siang bolong.
Seseorang sedang berfoya-foya dengan teman-temannya di kafe kenamaan? Bisa jadi, dalam hati ia merasa kesepian.Bisa jadi, kesalahan kita adalah bereaksi terlalu cepat dari apa yang kita lihat. After all, you can’t always react to everything, and only we can control how we respond to things we can’t control.
Jika kita sudah menyadari dan mengakui kesalahan kita, maka akan jauh lebih mudah untuk kita memahami bahwa setiap orang memiliki waktu, proses, dan daya yang berbeda.
Seorang rekan saya pernah tanpa sengaja menuliskan gajinya di Instagram Story. Dengan status kami yang sama-sama fresh graduate, gaji saya saat itu bahkan di bawah separuh gajinya. Jika saat itu saya bereaksi, maka tentunya saya akan iri hati, bahkan mempertanyakan kepantasan saya. Namun saya mencoba untuk tidak bereaksi akan hal itu, dan justru berpikir bahwa itu bukanlah waktu yang tepat untuk saya memiliki gaji tinggi.
“Nanti malah dipakai untuk mabuk-mabukan,” canda saya dalam hati, menghibur diri.
Mencoba untuk menikmati dan menjalani segala rintangan dalam proses ternyata lebih baik dibanding mengandalkan keberuntungan. Thanks to time and process, kini saya bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa kemampuan menabung saya lebih baik dari rekan saya itu.
Menikmati dan menjalani segala rintangan dalam proses ternyata lebih baik dibanding mengandalkan keberuntungan.
Terakhir, ketahuilah bahwa hanya kamu yang mampu menentukan standar hidupmu. Memiliki usaha dan pendapatan di atas Rp100.000.000,- per bulan atau menjadi salaryman, mengenakan tas Gucci atau tas dengan harga yang wajar, menikmati malam Minggu di kafe atau di rumah; semua adalah pilihanmu.
Pertanyaan saya di awal adalah, apakah normal dan sehat menentukan standar kehidupan dari sebatas apa yang kita lihat di media sosial? Kalau kamu sudah membaca sampai sejauh ini, seharusnya kamu tahu jawabannya.
Tidak perlu berkecil hati, iri, bahkan depresi akan kemampuan dan kebahagiaan orang lain yang kamu lihat di media sosial. Bahagia itu milikmu, dan milikmu seorang. Media sosial juga bukanlah sebuah kesalahan ataupun racun, melainkan taman kota di mana berbagai macam makhluk hidup bermain.
Media sosial juga bukanlah sebuah kesalahan ataupun racun, melainkan taman kota di mana berbagai macam makhluk hidup bermain.
Kita tidak perlu iri dengan burung yang bisa dengan bebas bernyanyi dan terbang dari pohon ke pohon, dan kita juga tidak perlu membandingkan keterbatasan fisik kita dengan bunga mawar yang indah parasnya sejak tumbuh. Kita tidak perlu berkecil hati dengan orang yang bermain sepeda seharga jutaan rupiah di taman, dan kita juga tidak perlu membenci orang yang duduk membaca buku di bangku taman.
Kita juga bisa bahagia. Kamu, juga bisa bahagia.
After all, semua akan kembali kepada bagaimana kita memilih untuk beraksi dan bereaksi di media sosial. Jangan sampai, kita yang justru jadi toxic di media sosial.
Ingatlah, #HealthierDigitalEcosystem starts with you.