Masing-masing orang punya caranya sendiri-sendiri dalam mengatasi benang kusut yang ada di dalam benaknya. Ada mereka yang melarikan diri lewat tulisan, menumpahkan perasaan pada lembaran-lembaran jurnal. Ada orang-orang yang menenangkan pikirannya lewat meditasi atau bahkan lewat memasak. Sementara aku, aku adalah orang yang sulit untuk menumpahkan pikiran atau perasaan dengan kata-kata. Cara yang paling membuatku nyaman adalah melukis. Menurutku, dalam mencari cara yang paling tepat untuk mengekspresikan diri banyak berkaitan dengan kehilangan atau perasaan tersesat. Ketika kita merasa tersesat atau kehilangan sesuatu yang sulit dijelaskan dalam diri, kita mencoba untuk mencari cara bagaimana membuat perasaan lebih baik. Seperti ketika aku kehilangan Bapak. Aku tidak bisa mengutarakan perasaan dengan kata-kata atau dengan cara lainnya. Namun ketika aku mulai melukis, kegiatan yang paling membuatku nyaman untuk menuangkan pikiran, aku mulai bisa mengatasi perasaan kehilanganku.
Masing-masing orang punya caranya sendiri-sendiri dalam mengatasi benang kusut yang ada di dalam benaknya.
Sedari kecil aku memang sudah melukis. Bapak yang adalah pelukis serta Ibu yang gemar melukis dan bekerja di bidang kesenian, memengaruhiku untuk berkesenian. Mereka tidak pernah menuntun atau mengajariku secara langsung, tapi aku ingat mereka selalu memberikan fasilitas jika aku ingin membuat karya seni. Seperti ketika aku ingin membuat pernak-pernik, mereka menyediakan bahan-bahannya. Begitu pula ketika aku ingin melukis di mana pun, sebanyak apapun. Mereka memperbolehkan. Aku sangatlah beruntung memiliki memori masa kecil yang sangat berkesan, tumbuh di rumah yang membebaskanku untuk berkarya. Akan tetapi, meskipun aku sudah melukis dari sejak kecil, kegiatan itu lebih banyak aku lakukan setelah Bapak tiada. It was a big turning point in my life. Padahal aku tidak sangat dekat dengannya. Inilah yang paling aku cintai dari melukis. Aku mungkin tidak bisa memahami Bapak lewat kegiatan melukisnya. Tapi saat berproses membuat lukisan, aku merasa seperti bisa mencoba untuk menerima hal-hal yang tidak aku mengerti tentang diriku sendiri dan orang lain. Melukis seolah menjadi caraku untuk melakukan refleksi diri. A way to cope with things.
Ketika aku kehilangan Bapak, aku tidak bisa mengutarakan perasaan dengan kata-kata atau dengan cara lainnya. Namun ketika aku mulai melukis, kegiatan yang paling membuatku nyaman untuk menuangkan pikiran, aku mulai bisa mengatasi perasaan kehilanganku.
Memang, tidak bisa dipungkiri karya lukisku bisa dibilang memiliki kemiripan dengan karya Bapak. Sebagian besar karyanya bertemakan portrait dan tentu saja karena waktu kecil itulah yang banyak kulihat, jadi aku merasa paling familiar dan nyaman melukis portrait. Aku menemukan banyak hal yang menarik ketika melukis wajah-wajah. Saat aku melukis wajah-wajah tersebut, aku seakan mencoba mencari identitas dan dalam prosesnya menerima identitasnya. Aku sendiri tidak pernah mengerti mengapa Bapak suka menggambar wajah tanpa nama atau identitas. Dan meski karyaku sangat dipengaruhi oleh beliau, di saat yang sama aku berupaya untuk menemukan suaraku sendiri, keluar dari pengaruhnya. Jadi hingga saat ini pun aku terus berusaha mencari suaraku sendiri dari setiap lukisan yang kuhasilkan.
Melukis seolah menjadi caraku untuk melakukan refleksi diri. A way to cope with things.
Sebenarnya kala melukis, aku cenderung lebih fokus pada proses ketimbang objek yang aku lukis. Dengan melukis aku mencoba untuk memahami diriku sendiri dan menerima perasaan atau pikiran apapun yang timbul selama proses berkarya. Aku menemukan perubahan diri dari pemilihan warna lukisan. Dulu sebelum memiliki anak, aku lebih sering menggunakan palet lebih gelap, warna-warna netral. Saat sudah mempunyai anak, warna-warna yang lebih sering aku pakai lebih terang dan warna-warni. Seperti yang kita tahu, warna berhubungan erat dengan emosi sehingga aku meyakini identitasku pun berubah seiring berjalannya waktu dan itu bisa dibuktikan dari lukisanku. Tidak berhenti di sana, di dalam prosesnya aku juga menemukan "moment of clearance", momen yang mencerahkan dan menjernihkan pikiranku. Sangatlah meditatif. Tidak pernah bisa aku membayangkan hidup tanpa seni yang menjadi penyeimbang hidupku di mana aku bisa menjadi diriku sendiri terlepas dari segala label yang disematkan.
Dalam hidup kita pasti punya peran yang berbeda-beda di setiap lingkaran sosial. Misal aku sebagai aktor di pekerjaan atau sebagai ibu di rumah saat bersama anak. Peran ganda yang kita emban ini terkadang bisa sangat melelahkan. Kita seakan bertanggung jawab atas peran-peran tersebut. Namun aku merasa saat melukis aku bisa kembali ke diri aku sendiri sebagai seorang Salvita yang bukan seorang ibu, aktor, figur publik, atau label apapun itu yang masyarakat atau lingkunganku berikan. Aku bisa jadi diriku sendiri. Momen inilah yang aku cari saat melukis. Momen menjadi diriku sendiri yang secara tidak langsung sedikit demi sedikit melengkapi pemahaman tentang diri sendiri. Jadi aku merasa bisa lebih memahami diriku sendiri serta menerima hal-hal yang mungkin masih tidak aku mengerti tentang diri sendiri, orang lain atau dunia.
Saat melukis aku bisa kembali ke diri aku sendiri sebagai seorang Salvita yang bukan seorang ibu, aktor, figur publik, atau label apapun itu yang masyarakat atau lingkunganku berikan. Aku bisa jadi diriku sendiri.
Art is a powerful tool. Seni adalah medium untuk mengutarakan pesan yang tidak bisa disampaikan dengan kata-kata. Satu lukisan bisa punya arti lebih luas dari beribu kata yang tertulis atau terucap. Saat sebuah karya seni membuatku merasakan sesuatu, sekalipun perasaan yang tidak menyenangkan, memikirkan sesuatu, itulah karya seni yang memiliki makna lebih. Dan sebenarnya bukanlah tanggung jawab seorang seniman untuk menyampaikan sebuah pesan lewat karya seninya tapi tanggung jawab kita sendiri untuk menginterpretasikan pesan apa yang hadir lewat sebuah karya. Di kala melihatnya lalu kita mulai memikirkan sebuah isu sosial atau isu apapun itu, di situlah karya tersebut berbicara pada kita.