Butuh perjalanan panjang dan kerja keras untuk akhirnya aku sadar bahwa ada yang salah dengan diriku. Butuh waktu yang panjang juga untuk aku sampai di titik ini. Naik turun kehidupanku terbilang cukup ekstrem. Jika ditanya dari mana sumber gangguan psikisku, rasanya terlalu banyak faktor pendukungnya hingga menjadi-jadi. Aku tinggal di area kumuh di mana aku mengalami kekerasan mental dan fisik. Pernah juga aku mengalami pelecehan seksual ketika kecil. Meski awalnya aku tidak menyadari ada masalah karena dianggap anak nakal saja oleh kedua orang tuaku, tapi sekarang aku paham dari kecil emosiku tidak stabil. Saat TK misalnya, aku sering sekali menangis, teriak-teriak tidak berhenti. Setiap hari selalu mencari perhatian dengan melepaskan tantrumku. Emosi tidak terkendali. Kalau sedih bisa sedih sekali bahkan bisa merasa jijik dengan diri sendiri.
Puncaknya adalah ketika SMP. Aku mengalami konflik dengan keluarga sampai kabur dari rumah karena mama mengusir. Aku menghabiskan waktu di luar dengan teman-teman pria sampai ada yang memanfaatkan secara mental dan fisik. Tidak terkecuali percobaan bunuh diri. Semua ada di momen itu. Setiap hari aku lelah secara mental. Setiap hari pikiranku dipenuhi delusi dan halusinasi. Aku merasa di sekolah tidak diterima. Minim juga punya teman perempuan juga dicap anak nakal karena rumor jarang pulang ke rumah. Jadilah aku sering di-bully. Aku tidak tahu mau pulang ke mana karena hubunganku tidak baik dengan orang tua. Mereka tidak mengerti bahwa aku memiliki gangguan jiwa. Mereka yang religius hanya berpikir aku salah pergaulan dan hanya butuh mendekatkan diri dengan Tuhan. Namun akhirnya aku memberanikan diri untuk memeriksakan kejiwaan ke profesional sampai hari ini sudah merasa lebih baik. Selain juga aku punya karyaku yang jadi harapan hidup.
Awalnya aku berkesenian seperti tidak ada pilihan lain. Saat di SMA aku ke sekolah cuma bawa sketchbook dan drawing pen. Buku-buku aku tinggal semua di laci meja kelas. Lama-kelamaan aku mulai sering mendesain di warnet sampai akhirnya terobsesi untuk dikenal lewat karya. Dulu aku berfantasi betapa kerennya kalau bisa begitu. Ternyata mimpiku jadi kenyataan saat aku mendapat komisi dari desain untuk pertama kalinya. Di saat yang sama juga aku merasa seperti ada harapan hidup. Momen orang lain memberikan apresiasi pada karyaku memberikanku motivasi untuk bertahan hidup. Membuatku punya teman di komunitas para seniman. Bisa dibilang seni menyelamatkanku. Betapa akhirnya aku bersyukur berkat karya yang dihasilkan, aku jadi bisa berkolaborasi dengan seniman internasional. Membuat hidupku kembali berarti. Brand yang mempekerjakan bahkan tidak masalah dengan gangguan kejiwaanku. Mereka tetap memberikan apresiasi karyaku meskipun dengan kondisiku begini. Lewat karya seniku juga akhirnya aku mendapatkan apresiasi dari orang terdekat. Membuat mereka menyadari kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Lewat karya seniku juga akhirnya aku mendapatkan apresiasi dari orang terdekat. Membuat mereka menyadari kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Bahkan lewat karyaku aku bisa menyampaikan pesan-pesan tentang masalah kejiwaan dengan santai. Bahwa masalah kejiwaan tidak harus berbalut kekelaman. Hasil karyaku didominasi dengan keceriaan. Warna-warni dan gambaran yang bisa diterima semua kalangan, anak kecil sekalipun. Ini sekaligus merepresentasikan diriku yang meskipun memiliki gangguan mental tapi bukan berarti aku selalu berada dalam energi negatif. Secara tidak langsung pun aku mendukung gerakan artivisme di mana mendukung inklusivitas bahwa figur disabilitas juga bisa berkarya secara profesional tanpa harus dikelompokkan. Menyampaikan pesan ini seakan memberikanku kekuatan. Membuatku ingin berjuang untuk mereka yang juga mengalami hal yang sama denganku. Ingin memberikan pengaruh pada orang lain bahwa membicarakan kesehatan mental bukanlah hal yang tabu. Bahkan kita bisa membicarakannya sambil ngopi atau minum bir.
Secara tidak langsung pun aku mendukung gerakan artivisme di mana mendukung inklusivitas bahwa figur disabilitas juga bisa berkarya secara profesional tanpa harus dikelompokkan.
Alhasil kini aku sudah bisa jauh lebih berdamai dengan diriku. Sudah bisa memetakan kondisi mental. Aku pun membuat gangguan mental seperti gangguan fisik saja. Seperti penyakit lainnya yang butuh dicek sewaktu-waktu. Seperti kalau Mamaku menelepon dan bertanya kapan pulang aku bisa menjawab, “Belum bisa Ma, aku sedang depresi berat.” Semudah itu untuk diucapkan. Sekarang aku berpikir memang mungkin semuanya harus melalui perjalanan panjang itu. Prosesnya butuh kerja keras dan segala tangis untuk bisa sampai ke situasi sekarang dengan keluargaku. Dengan adanya pengalaman ini aku juga jadi belajar untuk tidak menghakimi orang lain sebab aku tidak pernah tahu kondisi mereka seperti apa. Aku belajar menghargai orang lain. Terlebih orang tuaku. Pasti ada alasan mengapa mereka religius, konservatif. Mengapa mereka juga tidak bisa memahami kondisiku saat itu. Namun yang terpenting sekarang adalah aku merasa diriku berharga karena banyak orang yang menganggap aku berharga. Sekarang selain karena karyaku, merekalah yang juga menjadi motivasiku untuk terus bertahan.
Dengan adanya pengalaman ini aku juga jadi belajar untuk tidak menghakimi orang lain sebab aku tidak pernah tahu kondisi mereka seperti apa. Aku belajar menghargai orang lain. Terlebih orang tuaku.