Lima tahun lalu aku pernah mengalami gangguan kecemasan atau anxiety. Tapi dulu aku tidak sadar bahwa aku mengalami gangguan tersebut. Isu kesehatan mental pun belum ramai dibicarakan masih sangat tabu. Aku justru pergi ke dokter penyakit dalam untuk mencari tahu apa yang terjadi pada tubuhku yang sering merasa tidak enak. Tiba-tiba Tuhan seperti memberitahu bahwa sepertinya yang aku derita bukanlah penyakit asam lambung selayaknya diagnosa dokter. Aku merasa sepertinya ada yang salah dengan kesehatan mental hingga akhirnya aku pergi ke fasilitator self-healing.
Dalam prosesnya, banyak sekali trauma yang aku sadari sudah ada sejak lama lalu bertumpuk dengan hal-hal baru yang mungkin belum siap aku hadapi. Aku menikah dengan suami yang terpaut 22 tahun lebih tua. Ibu mertuaku saat itu berusia 90 tahun. Perbedaan-perbedaan tersebut ternyata menambah segala tekanan yang sudah aku simpan dalam diri sejak masa remaja. Tanpa kusadari. Kemudian satu saat ada kata-kata dari seorang teman yang benar-benar melekat hingga saat ini:
“Semua niat yang kamu lakukan itu baik. Kamu mau jadi ibu, anak, istri, dan menantu yang baik. Tapi, ada satu yang kurang dari semua itu. Kamu kurang berserah pada Tuhan.”
Mendengar itu, aku langsung menangis karena menyadari bahwa kita manusia memang seringkali lupa untuk ikhlas. Kita sering mendengar konsep bagaimana mendapatkan, atau memberikan. Tapi kita tidak mengenal konsep bagaimana melepaskan. Padahal kita sering sekali mendengar, “Sudah ikhlas saja, pasrah saja”, tanpa tahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata berserah pun menjadi sesuatu yang menyadarkan sekaligus membingungkanku karena di saat yang sama aku tidak mengenal konsep tersebut.
Setelah semakin belajar, semakin bisa mengeluarkan segala trauma yang dimiliki, aku baru menyadari bahwa aku punya masalah melepaskan. Salah satu faktor terbesarnya adalah masalah dengan mama. Ternyata, aku memiliki kemelekatan dengan mama. Kami dua orang yang sangat berbeda sehingga secara tidak sadar, aku ingin mengubah mama seperti yang aku mau. Padahal jelas-jelas bahasa cinta setiap orang pasti berbeda.
Guruku pun memberikan saran bahwa kita manusia sebenarnya harus belajar seperti sebuah pohon. Mengakar tapi tetap fleksibel. Aku harus berupaya untuk bisa melepaskan segala ikatan yang ada di dalam diri agar dapat menyerap kebaikan yang ada di sekitarku. Di saat itu aku adalah pribadi yang sangat keras, teguh pada apa yang aku percaya. Namun ternyata, diberikan nutrisi kehidupan dengan kasih sayang dapat membuatku sadar bahwa hidup itu butuh keluwesan. Bahwa melepaskan adalah seni kehidupan. Bahwa apapun yang kita lakukan pasti ada waktunya, ada masa berlakunya.
Ada orang yang pernah bertanya padaku tentang bagaimana caranya cepat lepas dari masalah yang dihadapi. Satu yang harus diingat adalah kita terkadang tidak bisa buru-buru melepaskan sesuatu karena konsep melepaskan bukanlah konsep dengan hasil yang pasti. Oleh sebab itu, kita harus melibatkan Tuhan berperan dalam melepaskan. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk mencapai konsep tersebut. Namun pada akhirnya, Tuhanlah yang berperan dalam menentukan apakah kita bisa melepaskan atau tidak, kapan kita melepaskannya. Selama kita punya niat dan menunjukkannya, pasti akan ada jalan untuk kita belajar dan merasakan keindahan dari melepaskan.
Tuhanlah yang berperan dalam menentukan apakah kita bisa melepaskan atau tidak, kapan kita melepaskannya.
Dalam proses belajar melepaskan, aku juga belajar banyak tentang merasa cukup di mana rasa cukup sangatlah subjektif bagi setiap orang. Bahkan hal baik yang kita lakukan saja sebenarnya harus ada kata cukup. Contohnya ketika kita sedang belajar self-healing. Kalau kita terus-terusan memelajari hal baru tentang self-healing, kita bisa kewalahan nantinya. Jadi menurutku, rasa cukup sebenarnya ibarat kita mengosongkan gelas setiap harinya. Setiap kali kita sudah merasa cukup akan sesuatu berarti kita siap untuk mengosongkannya lalu mengisinya lagi esok hari. Jangan sampai yang tadinya kita berproses untuk memulihkan diri sendiri malah jadi membuat kita menyiksa diri sendiri tanpa kita sadar.
Aku meyakini bahwa kita tidak akan pernah merasa dicukupkan dengan apa yang ada di sekitar kalau kita tidak merasa cukup dengan diri sendiri. Semua orang tidak akan pernah bisa mencukupi apa yang diperlukan sebab yang paling bisa mencukupi rasa cukup adalah diri kita sendiri. Kalau kita masih terus merasa orang di sekitar tidak cukup menyayangi, terus mempertanyakan, “Kok dia gini ya, kok dia kurang gini ya?’”, ini berarti kita sebenarnya kurang menyayangi diri sendiri. Yang bisa mencukupi dan menghargai diri kita adalah diri sendiri. Walaupun memang tidak semudah yang terucap, tapi ketika aku sedang berada dalam situasi paling damai, itulah yang aku rasakan. Ternyata, saat aku sedang merasa dikecewakan oleh orang lain, mungkin masalahnya bukan tentang orang itu. Mungkin masalahnya adalah aku masih punya rasa kecewa dalam diri yang belum dipulihkan. Atau bisa jadi aku kecewa pada diri sendiri sebab tidak bisa menyayangi diri sebaik-baiknya.
Aku meyakini bahwa kita tidak akan pernah merasa dicukupkan dengan apa yang ada di sekitar kalau kita tidak merasa cukup dengan diri sendiri.