Maulana Jalaluddin Rumi, atau lebih dikenal sebagai Rumi, adalah seorang penyair besar beraliran sufi yang hidup di abad ke-13. Semasa hidupnya, ia banyak menulis ghazal, atau sebuah ungkapan tentang kasih sayang, penderitaan, dan kesunyian yang biasanya diucapkan sambil diiringi musik. Cinta, ego, dan penderitaan adalah beberapa topik yang kerap ia bahas dalam syair-syairnya, yang dipercaya, memiliki kekuatan kata-kata sebab tidak hanya indah, namun juga kedalaman. Syairnya pun bersifat universal, melintasi beragam ajaran agama dan ras sehingga semua orang dapat merasa relevansinya. Ia mampu menyegerakan kasih sayang menjadi bahagia, dan tidak pernah memperdebatkan soal istilah. Bila dianalogikan, apabila sejumlah bahasa membedakan penyebutan untuk kata ‘anggur’, maka Rumi akan menghancurkan anggur tersebut, dan membuatnya menjadi arak yang mampu memabukkan semua orang.
Berbicara mengenai melepaskan, maka kita akan berbicara mengenai keberserahan, penerimaan, mengikhlaskan, dan memaafkan, yang semuanya adalah sifat yang dimiliki oleh hati. Suatu hadits menyebutkan;
Ingatlah di dalam jasad ada sebuah materi. Bila ia baik, maka baik juga jasad itu. Jika ia rusak, maka rusak juga seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa itu adalah kalbu. Kalbu, atau dapat diterjemahkan sebagai hati nurani, adalah sesuatu yang selalu mengusik bila tidak selaras dengan kehendak hati.
Bagi Rumi, hati ibarat dasar telaga, yang memiliki tangan-tangan yang menyebarkan air dari gulma yang menutupinya dari cahaya matahari. Hanya ketakwaan yang mampu menggerakan angan-angan dari hati – dan itu bila Tuhan berkehendak demikian. Di sini, gulma menyimbolkan hasrat dan kekotoran jiwa. Jadi, saat hati ini tertutup dan dikotori banyak ‘sampah’, hati sebenarnya memiliki tangan yang mampu menyibakkan kotoran tersebut, bila kita memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ada suatu hadits yang menyebutkan;
Ingatlah di dalam jasad ada sebuah materi. Bila ia baik, maka baik juga jasad itu. Jika ia rusak, maka rusak juga seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa itu adalah jantung.
Dalam hadits tersebut disebutkan, bahwa hati adalah rumah Tuhan, dan kita meyakini bila Tuhan ada dalam diri kita, yang bermanifestasi dalam bentuk sifat-sifat kelilahian, yang berdiam dalam hati atau kalbu. Kalbu, atau dapat diterjemahkan sebagai hati nurani, adalah seseuatu yang selalu megusik bila tidak selaras dengan kehendak hati.
Sifat kelilahian yang paling utama adalah sifat pengasih, penyayang, dan pemberi ampunan. Oleh karenanya, saat kita masuk ke dalam hati dengan menggunakan rasa belas kasih, sebenarnya itu adalah bentuk dari Ilahi itu sendiri yang mengundang kita untuk kembali. Ketika kita bisa merasakan momen hening saat kita memberikan sedekah pada sesama, lalu kita diliputi perasaan bahagia dengan hati dan pikiran menjadi hening, di momen inilah, Tuhan hadir dalam diri kita.
Saat kita ditanya ‘siapa kamu’, maka biasanya yang akan kita jelaskan adalah dari hal-hal yang bersifat eksternal. Seperti apa pekerjaan yang kita lakukan, siapa orangtua kita, siapa pasangan kita, dan lain sebagainya. Padahal, bila satu persatu aspek eksternal ini dilepaskan, maka akan makin sulit bagi kita untuk menjelaskan ‘siapa kita’.
Akan tetapi, untuk dapat masuk ke dalam hati, terlebih dahulu kita harus melepaskan ego. Ada banyak definisi mengenai ego, namun secara singkat, ego adalah rasa keakuan, kesombongan, dan juga identitas diri yang palsu, atau identitas diri yang kerap kita tunjukkan secara eksternal. Saat kita ditanya ‘siapa kamu’, maka biasanya yang akan kita jelaskan adalah dari hal-hal yang bersifat eksternal. Seperti apa pekerjaan yang kita lakukan, siapa orangtua kita, siapa pasangan kita, dan lain sebagainya yang sebenarnya bisa membuat kita jauh dari diri kita sebenarnya. Padahal, bila satu persatu aspek eksternal ini dilepaskan, maka akan makin sulit bagi kita untuk menjelaskan ‘siapa kita’.
Ketika kita menyukai sesuatu, maka pikiran serta hati kita akan terus diisi oleh hal tersebut, dan dapat menimbulkan ‘ketegangan’ karena takut akan kehilangan sesuatu yang kita senangi tersebut.
Keberserahan, atau melepaskan ego, bukan berarti kita menjadi lemah dan pasif. Justru sebaliknya, kekuatan sejati, yaitu kekuatan yang muncul dari dalam, ada pada keberserahan. Kerap keberserahan dianggap sebagai pasrah, dimana terdapat unsur menyerah dan tidak berdaya. Memang benar, ada kepasrahan dalam keberserahan. Akan tetapi, ada juga rasa yakin di keberserahan. Keyakinan bahwa segalanya akan baik-baik saja menurut kehendak-Nya, bukan kehendak kita. Dengan demikian, kita akan membuat hati kita senantiasa ‘kosong’. Kosong di sini berarti terbebas dari ketakutan dan ketegangan, karena yakin semua akan baik-baik saja. Dan ketegangan di sini bukan hanya sesuatu yang tidak kita sukai, namun juga hal-hal yang kita cintai. Karena justru, hal-hal yang kita sukai itu, umumnya akan membuat pikiran menjadi tidak fokus. Ketika kita menyukai sesuatu, maka pikiran serta hati kita akan terus diisi oleh hal tersebut, dan dapat menimbulkan ‘ketegangan’ karena takut akan kehilangan sesuatu yang kita senangi tersebut.
Karena kedamaian, ketentraman, penerimaan, keberserahaan, keikhlasan, dan kebahagiaan, itu semua munculnya dari keheningan.
Maka cobalah kita melepasnya. Tidak hanya kedukaan, namun juga kesukaan. Karena kedamaian, ketentraman, penerimaan, keberserahaan, keikhlasan, dan kebahagiaan, itu semua munculnya dari keheningan. Pada saat semuanya pergi, maka kita akan diliputi oleh hening yang khas, yang akan memunculkan perasaan bahagia.
Dan orang-orang yang cintai Tuhan, tidak akan kehilangan kesabaran, karena mereka tahu, bulan akan perlu kesabaran untuk bisa menjadi bulan yang penuh.
Terkait dengan memaafkan, dalam syair Rumi lainnya, dikisahkan seorang pengelana yang bertanya pada gurunya mengenai arti pemaafan. Sang guru pun menjawab;
Pemaafan adalah wangi dari sekuntum bunga yang tetap dapat mengeluarkan baunya setelah diinjak dan dihancurkan. Pemaafan adalah bentuk dari penerimaan lainnya, yang ditambahkan dengan keberserahan, keikhlasan, dan kesabaran, karena proses memaafkan seseorang atau sesuatu tidak semudah itu.
Kita akan akhirnya menyadari bahwa rahasia untuk menjadi terbebaskan, bukan dengan pelampiasan dendam. Tetapi dengan, membiarkan hal-hal untuk berkembang dengan sendirinya, dan dalam waktunya sendiri.
Kembali dalam salah satu syair lainnya, Rumi pun berbicara tentang kesabaran. Disebutkan, kesabaran bukanlah tentang bertahan secara pasif. Kesabaran artinya, memandang jauh ke depan. Seperti melihat sesuatu di depan, tetapi Anda menyaksikan beberapa langkah ke depan. Seperti saat Anda melihat duri, tapi apa yang Anda saksikan adalah bunga mawar. Kemudian saat Anda melihat langit gelap, Anda melihat fajar. Dan orang-orang yang cintai Tuhan, tidak akan kehilangan kesabaran, karena mereka tahu, bulan akan perlu kesabaran untuk bisa menjadi bulan yang penuh. Dengan kesabaran, suatu saat nanti kita akan melupakan semua luka yang membuat kita menangis, dan siapa yang menyebabkannya. Kita akan akhirnya menyadari bahwa rahasia untuk menjadi terbebaskan, bukan dengan pelampiasan dendam. Tetapi dengan, membiarkan hal-hal untuk berkembang dengan sendirinya, dan dalam waktunya sendiri. Yang lebih penting bukanlah awal atau penyebab, tapi bagaimana kita bisa menjalani dan mengakhirinya dengan baik. Dan itu semua tentunya, memerlukan kesabaran.
Yang lebih penting bukanlah awal atau penyebab, tapi bagaimana kita bisa menjalani dan mengakhirinya dengan baik.