Manusia hanya bisa berencana. Namun pada akhirnya semesta dan Tuhan yang menentukan.
Di setiap lini masa hidup kita pasti ada kalanya segala rencana telah terucap, segala upaya telah dikerahkan. Namun kemudian ternyata waktu berkata, “Belum saatnya.” Lalu ada juga kalanya kita tidak terlalu banyak berharap tapi ternyata mendapatkan lebih dari ekspektasi. Tak pernah menyangka apa yang kita tabur ternyata bisa dituai sebaik atau sebanyak itu. Aku percaya semua akan indah pada waktunya jika memang apa yang kita tuju adalah hal baik. Satu yang pasti, dalam menunggu terjadinya harapan tersebut dibutuhkan proses dan usaha. Jalannya mungkin tidak mudah. Terkadang bahkan berbeda dengan apa yang direncanakan. Tapi jika kita berserah, nantinya akan ada jawaban yang paling tepat untuk kita.
Semua akan indah pada waktunya jika memang apa yang kita tuju adalah hal baik.
Percayalah bahwa keberhasilan membutuhkan proses. Tidak mungkin hari ini belajar memotret besok langsung jadi fotografer top. Aku bisa berkata begini karena sebenarnya aku tidak pernah merencanakan atau menyangka sebelumnya untuk mencapai titik sekarang, memiliki bisnis fotografi sendiri. Bahkan bisa dibilang aku cukup terlambat untuk mengetahui passion-ku. Dulu berbagai bidang kutelusuri. Kuliah di bidang seni rupa cukup memberikanku ruang untuk melakukan banyak eksplorasi diri. Mulai dari fashion design, makeup, sampai fotografi. Tapi pada satu saat aku menjatuhkan pilihan pada fotografi. Aku merasa bidang itulah yang tidak pernah membuatku bosan belajar sampai bertahun lamanya.
Memang, aku cukup beruntung mendapatkan jalan yang mudah di awal. Bisa berjajar dengan para fotografer ternama di saat aku masih dalam label junior. Aku bisa memiliki agensi fotografi sendiri di usia yang belum menyentuh kepala tiga. Terasa seperti di atas angin, aku seakan bisa menaklukan apapun. Sayangnya, di usiaku nan terhitung muda itu sepertinya aku kurang bijak memanfaatkan kemampuan dan kesempatan yang diberikan. Ada masanya aku justru berada pada titik terbawah hidup karena arogansi dan ambisiku yang terlalu besar. Di saat aku mendapat semua terlalu mudah aku berpikir aku bisa melakukan apa saja. Aku berpikir aku pantas mendapatkan semua itu dan lupa bahwa keberhasilanku sebenarnya berasal dari karya kolektif. Berkat adanya orang-orang yang mendukung dan berkarya bersama.
Lama kelamaan aku bekerja dengan ambisi yang tidak sehat sampai tidak memikirkan kesejahteraan anggota tim. Urusan makan saja aku perhitungan. Kalau aku bisa tahan lapar berarti anggota tim juga bisa tahan lapar. Bahkan, aku sempat berpikir mengapa harus kerja bersama orang lain kenapa tidak individual saja, mencari keuntungan sendiri.
Sebegitu angkuhnya aku merayakan keberhasilan hingga seolah Tuhan menjatuhkanku dalam lubang kekelaman. Ya, aku juga hanya manusia biasa. Yang mengalami proses gagal, ditolak, dan jatuh karena kesombongan. Dalam waktu yang tidak sebentar aku dibuat menyadari banyak hal. Seperti ada suara yang mengatakan kalau berjalan sendiri aku hanya akan ditemani oleh ambisi, rasa tidak pernah puas, tak ada habisnya mengejar prestasi yang tidak berujung. Dari pengalaman tersebut aku mendapatkan realisasi diri di mana tercetus berbagai pertanyaan dalam benak. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apakah popularitas, banyak follower, daftar klien bonafit? Kalau sudah sampai di sana apa lagi yang dicari? Ambisi yang berlebihan ternyata menggerogoti ketenangan dan kesehatan mental. Lambat laun aku mengerti bahwa bukan itu yang dapat membuatku bahagia. Bertambahnya usia dan pengalaman pun membuatku memahami itulah proses hidup yang tidak bisa kuhindari. Mungkin kalau tidak ada proses itu aku malah menjadi pribadi manja yang bisa seenaknya.
Ambisi yang berlebihan ternyata menggerogoti ketenangan dan kesehatan mental.
Perlahan, aku mengubah mindset bahwa sukses berarti bersama-sama. Aku sadar kebaikan bersama terasa lebih memuaskan. Melihat para rekan kerja bisa maju jauh lebih berharga daripada menang award atau mendapat pekerjaan dengan nominal bombastis. Apapun yang dilakukan secara kolektif pasti bisa menyebar lebih luas ketimbang sendirian. Seperti halnya mencapai keseimbangan hidup. Aku tidak bisa sendirian. Saat aku sudah ingin menyerah ada mereka, rekan kerjaku yang selalu mendorong untuk maju terus. Ada mama yang selalu memberi wejangan, “Kalau tidak berat semua orang bisa bikin. Kalau mau bikin yang berbeda dengan tujuan baik kamu harus percaya pada tujuanmu. Jadi kamu harus bisa tunjukkan kepercayaanmu itu.”
Tidak hanya orang-orang terdekat saja, aku juga menemukan orang-orang yang menuntun pada keseimbangan tubuh dan pikiran dalam komunitas jiu-jitsu. Di sanalah tempat “pelarian” dari pekerjaan. Aku menemukan komunitas yang mendukungku mencapai kebugaran fisik dan mental. Meski aku anak baru —yang tidak mengerti apa-apa soal jiu-jitsu, mereka tidak pernah mengejek kekuranganku. Justru sebaliknya mereka melatihku, mengarahkanku pada meditasi, pola makan sehat, dan menemukan titik keseimbangan antara duniawi dan spiritual.
Jujur, sampai sekarang aku masih menjadi control freak. Terkadang masih suka mengendalikan sesuatu agar sesuai seperti yang kuinginkan. Namanya manusia, aku tidak berhenti belajar dan mengingatkan diri pada tujuan hidup yang sebenarnya. Untuk tidak membatasi kebahagiaanku pada pencapaian di masa depan. Tidak membatasi diri untuk bahagia kalau sudah dapat klien internasional, atau kalau sudah menyentuh negara tertentu, atau bahkan mendapat profit sekian ratus juta. Semakin aku memberikan tekanan berlebih pada hidup aku tidak akan bahagia karena aku akan terus mengorbankan fisik dan mental untuk (1) mencari validasi, (2) mengejar ambisi yang tiada habisnya. Buat apa? Kalau sekarang aku sudah bisa bahagia kenapa aku harus terus menaruh kebahagiaanku di masa depan? Kenapa tidak membebaskan semuanya dan sampai pada potensi yang sesungguhnya. Kalau sudah berusaha segigih yang kita bisa, selanjutnya tinggal mengatakan pada diri, “I have done my best.” Kalau belum saatnya sekarang, mungkin kita harus menunggu. Kalau memang tidak dapat, mungkin itu bukan jalan yang harusnya dilalui. Mungkin semesta mengarahkan ke jalan lain yang lebih baik.
Kalau belum saatnya sekarang, mungkin kita harus menunggu. Kalau memang tidak dapat, mungkin itu bukan jalan yang harusnya dilalui.