Self Lifehacks

Secukupnya Saja

Masyarakat modern saat ini punya banyak pilihan. Setiap hari kita dihadapkan dengan beragam pilihan mulai dari pagi hari mau baca apa sampai keluar rumah mau pergi ke mal yang mana. Tanpa sadar banyaknya pilihan ini sebenarnya bisa jadi masalah. Terlalu banyak pilihan membuat kita memiliki banyak keinginan. Nantinya punya keinginan yang berlebihan yang —menurut saya, dapat menjadi kesengsaraan karena kita sulit merasa puas dengan apa yang dimiliki. Contoh kita pergi ke sebuah restoran hamburger. Di dalam menu terdapat 10 varian rasa. Lalu kita memilih salah satu dari varian tersebut dan berpikir, “Kalau tadi saya pesan yang nomor 4 atau nomor 5 bagaimana? Jangan-jangan rasanya lebih enak.” Ini bisa buat kita sulit menikmati pilihan ketimbang kalau kita dihadapkan pada dua pilihan saja.

Saya percaya bahwa mengurangi pilihan dalam hidup bisa membuat saya mengurangi keinginan-keinginan yang tidak esensial. Apalagi masyarakat kita seringkali mengaitkan sebuah benda dengan image. Sampai-sampai seseorang dapat dinilai hanya berdasarkan barang apa yang dimiliki. Ini membuat saya berpikir, “Kok hidup rasanya nggak asyik lagi ya kalau saya dinilai dari benda apa yang dipunya?”

Secara tidak sengaja saya bertemu dengan konsep minimalisme yang ternyata secara tidak sadar sudah saya lakukan sebelum tahu terminologinya. Dari kecil saya adalah seseorang yang tidak suka banyak distraksi. Tidak suka punya banyak buku yang nantinya akan hilang atau berserakan. Tidak mau punya banyak baju karena tidak mau susah payah berpikir keras harus keluar pakai baju apa. Saya merasa cocok dengan konsep minimalisme ini. Menurut saya kita hanya punya sedikit waktu untuk hidup di dunia dan sepertinya tidak penting kalau dihabiskan hanya untuk memikirkan hari ini mau keluar pakai baju apa. Bagi saya, daripada menghabiskan lima menit untuk memilih pakaian apa untuk dikenakan hari ini lebih baik saya menggunakan lima menit itu untuk membuat sesuatu. Saya tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk hal yang kurang esensial. 

Selama setahun belakangan saya mempraktikan gaya hidup minimalis yang membuat pikiran terasa lebih ringan. Semakin sedikit yang dipikirkan dan semakin banyak waktu yang bisa difokuskan pada hal-hal esensial. Misalnya soal barang. Dulu saya suka sekali membeli jam tangan hingga lama-lama saya sadar bahwa tidak semua jam tangan itu dipakai. Akhirnya saya jual semua koleksi jam tangan lalu hasilnya saya belikan satu jam tangan yang bernilai lebih bagi saya. Ternyata, ketika saya rela melepaskan koleksi jam tangan yang punya nilai emosional tersendiri untuk saya dan hanya memiliki satu yang paling bernilai tinggi, saya merasa lebih ringan dan lebih bahagia. Seperti tidak usah berpikir keras setiap pagi harus pakai jam tangan yang mana saat hendak keluar rumah. 

Selama setahun belakangan saya mempraktikan gaya hidup minimalis yang membuat pikiran terasa lebih ringan. Semakin sedikit yang dipikirkan dan semakin banyak waktu yang bisa difokuskan pada hal-hal esensial.

Menariknya, ini bukan hanya tentang barang. Saya juga meminimalisir penggunaan aplikasi di smartphone. Sebisa mungkin buat semua aplikasi ada di dalam satu layar saja. Kalau bisa bahkan setengah halaman. Saya tidak lagi mengunduh aplikasi-aplikasi yang tidak setiap hari dipakai. Seperti Twitter. Saya tidak lagi menggunakannya karena merasa tidak lagi ada esensi dari media sosial tersebut. Dulu memang saya aktif sekali. Tapi lama kelamaan saya merasa semakin banyak orang yang berargumen tidak penting di Twitter dan ini membuat saya merasa sepertinya Twitter tidak lagi berarti penting untuk hidup saya.

Sebagai kreator konten akhirnya saya hanya punya Youtube, untuk membuat video agak panjang, Instagram untuk versi video pendek, serta Spotify untuk diskusi mendalam di atas 30 menit. Setiap platform punya tujuan sendiri-sendiri yang kontennya tidak tumpang tindih. Begitu juga masalah perbankan. Saya meyakini satu prinsip masalah finansial yaitu uang masuk harus banyak dari uang keluar. Itu saja. Saya tidak punya hutang atau piutang, tidak punya keinginan berlebihan untuk menghabiskan uang terlalu banyak dan saya selalu punya bujet setiap bulan bersama istri. Jadi saya hanya punya satu rekening dengan dua jenis investasi saham: reksadana dan individual.

Tidak lain di dalam aspek sosial. Bukan berarti saya tidak mau berteman atau bersosial, tapi saya membatasi interaksi seperti berada dalam grup WhatsApp. Saya hanya punya dua grup yaitu grup SMA dan grup founder standup comedy. Tidak punya grup pertemanan lain. Setiap kali ada yang mencoba memasukkan ke dalam satu grup pertemanan, saya pasti mencari alasan untuk tidak bergabung. Selain itu, saya juga tidak pernah nongkrong bersama  teman-teman kecuali untuk rapat. Bahkan teman-teman seperti sudah tahu saya akan menolak sampai tidak lagi pernah mengajak nongkrong

Tentunya ini tidak berarti saya merendahkan arti persahabatan. Saya hanya ingin mengurangi hal-hal yang non-esensial. Kalau hanya untuk minum-minum, duduk-duduk, buat apa? Ketika saya menghabiskan waktu satu jam untuk ngobrol, lebih baik saya menghabiskan waktu untuk ngobrol dengan anak saya. Kecuali makan. Saya suka sekali berkumpul untuk makan. Ayah saya pernah bilang, “Hal paling baik yang bisa kamu lakukan untuk orang lain adalah dengan mentraktir orang makan.” Selain saya meyakini bahwa berkumpul untuk makan bersama sudah pasti akan mendatangkan rasa komunal dan kebersamaan. Jadi saya suka sekali makan bersama keluarga atau karyawan. 

Namun, minimalisme adalah konsep yang sangat personal. Tiap orang menjalaninya dengan cara yang berbeda. Buat saya menjadi minimalis adalah mengurangi hal-hal yang berlebihan tapi bukan soal harga murah atau mahal. Melainkan soal menyimpan apa yang paling esensial buat saya. Celakanya sebagian orang selalu mengaitkan konsep minimalisme dengan harga.  Ada saja orang yang bilang, “Katanya minimalis kok rumahnya besar? Kok punya mobil mewah?”. Saya meyakini bahwa minimalisme bukan tentang berlomba siapa yang lebih hemat atau punya sedikit barang. Harapannya orang-orang yang mempraktikan minimalisme juga jangan sampai terjebak pada pemikiran: saya lebih minimalis karena punya barang lebih sedikit. Kalau begini akhirnya jadi kontraproduktif. Sama saja kita melekatkan barang pada identitas diri.

Minimalisme adalah konsep yang sangat personal. Tiap orang menjalaninya dengan cara yang berbeda. Buat saya menjadi minimalis adalah mengurangi hal-hal yang berlebihan tapi bukan soal harga murah atau mahal. Melainkan soal menyimpan apa yang paling esensial buat saya.

Menurut saya, konsep minimalisme juga tentang bagaimana kita bisa memotong pikiran-pikiran negatif, ego, atau emosi terhadap keinginan menghakimi pilihan orang lain. Menghargai pilihan masing-masing orang menjalani hidupnya. Istri saya bukan orang yang minimalis dan itu tidak masalah untuk saya. Kami adalah dua individu yang berbeda dengan pandangan yang berbeda pula dalam menjalani hidup. Selama dia tahu apa yang membuatnya bahagia, saya tidak pernah mencoba memengaruhinya untuk melakukan apa yang saya jalani. Begitu juga ketika kami memutuskan sesuatu untuk anak. Saya tidak pernah belanja mahal kecuali melihat value di dalamnya tepat dan tahan lama. Mungkin saya tidak boros untuk diri sendiri tapi kalau istri saya mau membelikan sesuatu yang mahal untuk anak dan dia senang akan itu, saya akan berkompromi juga. Tidak mendebatkan perbedaan gaya hidup sampai merasa harus mengalahkan gaya hidup istri. 

Konsep minimalisme juga tentang bagaimana kita bisa memotong pikiran-pikiran negatif, ego, atau emosi terhadap keinginan menghakimi pilihan orang lain. Menghargai pilihan masing-masing orang menjalani hidupnya.

Akan tetapi, saya paham betul bahwa segala hal dalam hidup selalu berkembang. Sepanjang hidup kita akan terus belajar mengenal diri sendiri. Bicara tentang gaya hidup minimalis tidak membuat saya tertutup pada segala perubahan yang mungkin terjadi di kemudian hari. Saya tidak mau membatasi diri, menolak dan menyerah pada ego ketika berhenti jadi minimalis. Saat ini, gaya hidup minimalis tepat untuk saya. Tapi mungkin saja suatu saat saya merasa bahagia menjalani gaya hidup lain. Buat saya hidup semudah itu. Kalau memang bahagia menjalaninya, pasti akan dijalani. 

(Disclaimer: Tulisan ini dibuat oleh tim editorial berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber)

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024