Ketika Gregor Samsa, karakter fiktif di novela Metamorphosis terbangun di pagi hari sebagai dirinya dengan tubuh yang menyerupai kecoa, sikap defensif membuatnya berusaha meyakinkan diri kalau dia sedang bermimpi buruk dan akan segera terbangun. Namun saat dia beranjak dari tempat tidur dan melihat tangannya tidak lagi berupa telapak dengan lima jari dan kakinya telah berubah menjadi tungkai berbulu, di momen itulah seorang Gregor Samsa mau tidak mau mengakhiri fase penyangkalan. Hal yang dialami Gregor Samsa kurang lebih serupa dengan kondisi yang saat ini sedang kita alami secara kolektif, pada satu hari yang biasa kita terbangun di kehidupan kita yang sama saja seperti hari-hari kemarin, namun dengan realitas yang jauh berbeda.
Sebelum sibuk membicarakan perihal produktivitas seperti yang semarak dibicarakan orang-orang, baik di semua lini media sosial dan webinar, kita sama-sama perlu menyadari bahwa situasi yang sedang kita alami bukanlah situasi yang normal. Kita semua sedang menjadi Gregor Samsa yang (syukurlah) masih dalam wujud manusia.
Sebelum sibuk membicarakan perihal produktivitas seperti yang semarak dibicarakan orang-orang, baik di semua lini media sosial dan webinar, kita sama-sama perlu menyadari bahwa situasi yang sedang kita alami bukanlah situasi yang normal.
Saya masih ingat di awal tahun 2020, ketika menyambut tahun sekaligus dekade baru dengan penuh kegembiraan, sarat dengan ambisi dan impian. Daftar hal-hal yang ingin saya lakukan luar biasa panjangnya, karena rasanya memang kurang afdol kalau tidak menyiksa diri sepenuh hati di awal tahun. Dalam seketika, ketika secara emosional dan psikologis diri sedang dipenuhi harapan, semuanya berbalik arah dengan kecepatan yang tidak kira-kira. Kita kehilangan rutinitas harian dan privilese untuk beraktifitas di luar rumah sebebas-bebasnya. Lalu dengan kondisi seperti ini, dimana semua ambisi dan impian itu kita simpan? Ada yang menyimpannya di bawah kolong tempat tidur atau gudang yang penuh debu di halaman belakang. Karena, toh, saat ini ternyata bukan kedua hal itu yang penting untuk diperjuangkan.
Perjuangan berubah haluan ke hal yang sangat mendasar: bagaimana cara melewati hari-hari yang abnormal ini dengan baik-baik saja, atau setidaknya berpura-pura untuk merasa baik-baik saja? Selama tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan diri sendiri dan orang lain, cara apapun menjadi sah untuk dilakukan.
Banyak kutipan motivasional yang bilang, saat ini kita memiliki semua waktu yang kita butuhkan untuk melakukan hal-hal yang sudah lama kita inginkan. Berkebun, menjahit, memasak, belajar bahasa asing, melukis, membuat patung, atau mulai menyicil perubahan dunia. Padahal yang kita hadapi bukanlah persoalan manajeman waktu yang berlimpah, namun proses adaptasi rumit terhadap bentuk normal baru yang memakan banyak energi dan emosi. Ada beberapa tahap yang perlu dilewati untuk tiba pada titik penerimaan. Penyangkalan, kecemasan, kemarahan, kesedihan, dan penerimaan. Bahkan, ketika tiba di titik penerimaan kita akan merasakan emosi-emosi baru seperti kelelahan dan ketidaberdayaan secara bergantian. Kenapa demikian? Karena manusia adalah makhluk emosional yang rapuh, sarat kontradiksi, dan pecandu ruang nyaman. Ketika ruang nyaman dirampas, gelombang emosi akan datang tanpa aba-aba dan kadang berwujud tanpa nama. Memusingkan? Tentu saja. Mekanisme manusia dalam merespon hal-hal yang terjadi di luar tubuh tidak sederhana seperti tanaman putri malu yang otomatis menutup ketika disentuh dan terbuka ketika dalam beberapa saat tidak mendapatkan sentuhan apa-apa.
Ada beberapa tahap yang perlu dilewati untuk tiba pada titik penerimaan. Penyangkalan, kecemasan, kemarahan, kesedihan, dan penerimaan
Menemukan hal-hal yang dapat menghibur atau menguatkan dalam menjalani hari merupakan sebuah perjalanan personal. Proses ini tidak memiliki pakem mana yang benar atau salah. Bagi saya pribadi yang menyukai kehidupan penuh rencana dan keteraturan, di momen awal pembatasan sosial, saya merasa bingung dan kehilangan arah. Saya kewalahan dalam manajemen emosi dan pikiran. Kepala saya dipenuhi hal-hal yang sulit saya deskripsikan. Saya bahkan kehilangan alasan untuk bangun dari tempat tidur di pagi hari. Ditambah lagi saya baru saja memasuki fase baru dalam hidup dan karena itu mesti pindah kota untuk beberapa waktu, saya merasa tidak punya pijakan sama sekali. Saya hidup di sebuah lingkungan baru tanpa pondasi rutinitas harian. Saya merasa hari-hari saya hanyalah soal beradaptasi dari realitas satu ke yang lain, dan hal itu sangat melelahkan.
Di tengah kebingungan tersebut, saya bersyukur sejak kecil selalu diajarkan agar selalu bisa menemukan hal-hal untuk disyukuri dalam kondisi paling sempit sekalipun. Jika bisa memilih, mungkin hal yang patut disyukuri adalah saya jadi punya cukup waktu untuk melongok ke dalam diri. Melihat hal-hal yang perlu dirapikan, didaur ulang, dipertahankan, dan dibuang. Ternyata, manusia dengan semua perangkat keras dan lunak di dalam tubuhnya jika digunakan tanpa henti akan tiba pada titik lemah, yang memerlukan proses perawatan, reparasi, dan instalasi ulang yang panjang. Bagi saya, saat ini adalah momen melihat yang langka. Sulit untuk melihat jelas ketika terus bergerak cepat, pemandangan sekitar akan berbayang, dan warna bercampur aduk menjadi satu. Ketika bergerak lebih lambat semuanya menjadi lebih nyata dan terang, yang buruk dan baik, yang nyaman dan tidak.
Jika bisa memilih, mungkin hal yang patut disyukuri adalah saya jadi punya cukup waktu untuk melongok ke dalam diri. Melihat hal-hal yang perlu dirapikan, didaur ulang, dipertahankan, dan dibuang.
Sebelum hidup di tengah krisis dan masa pembatasan sosial, secara tidak sadar saya kerap mendorong diri untuk selalu produktif. Mudah merasa bersalah kalau tidak mengerjakan sesuatu, merasa bersalah kalau tidak olahraga, dan rasa-rasa bersalah lainnya. Sekarang, hidup saya menjadi jauh lebih kecil dan sederhana. Kira-kira alurnya seperti ini, setiap hari saya bangun dengan susah payah, berusaha menggerakkan tubuh dan terkena sinar matahari, mengerjakan hal-hal yang memang harus dikerjakan, menonton film sampai terbosan-bosan, ingin menulis buku tapi kok rasanya terlalu muluk-muluk, berinteraksi dengan anggota keluarga di rumah sebisanya, mengerjakan sedikit-sedikit proyek personal, menulis jurnal harian karena waktu terasa semakin meninggalkan saya, melakukan pertemuan di aplikasi video chat untuk merasa lelah setelahnya, melamun banyak sekali, berupaya membaca buku walaupun sulit menangkap makna. Iya, memang sungguh tidak inspiratif, karena jika ada yang bisa selalu tenang dan konsisten melakukan aktivitas di rumah seakan-akan situasi sedang baik-baik saja, sudah jelas orang itu bukan saya.
Situasi yang sedang berlangsung membutuhkan penerimaan apa adanya. Bukan lagi perihal bagaimana mencapai sesuatu, tapi bagaimana kita dipaksa melihat hal-hal yang membuat kita tidak nyaman, misalnya kepincangan, ketidaksetaraan, dan ketidakseimbangan yang selama ini ditutupi jargon tanpa pernah menolong siapa-siapa. Untuk pertama kalinya di dalam fana, hidup sedang berteriak untuk tidak lagi dibalut gula-gula. Tidak ada yang perlu dipermanis dengan sikap optimis berlebihan, karena di situlah kita akan terpuruk lebih dalam. Angka dan realita adalah teman, seburuk apapun dia. Lebih baik berupaya mengurangi kemungkinan kecewa daripada terus menyangkal kenyataan dengan meninggikan harapan keberhasilan.
Untuk pertama kalinya di dalam fana, hidup sedang berteriak untuk tidak lagi dibalut gula-gula. Tidak ada yang perlu dipermanis dengan sikap optimis berlebihan, karena di situlah kita akan terpuruk lebih dalam.
Beberapa orang berusaha menolong diri dengan mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang produktif, meditasi, dan olahraga. Bagus untuk dia! Beberapa lagi merasa tidak cukup berdaya dan hanya sanggup menatap langit-langit kamar atau layar gawai tanpa menggerakkan satupun otot di tubuhnya. Bagus untuk dia! Ada yang bilang bermalas-malasan adalah sebuah tindakan melawan, di saat seperti ini untuk melawan siapa? Ketika Gregor Samsa menyadari kalau dirinya tidak mungkin berangkat ke kantor dengan tubuh menyerupai kecoa, pembaca dapat merasakan tekanan yang dia rasakan sebagai tulang punggung dari keluarga yang tidak malu-malu menuntutnya secara ekonomi. Tubuh kecoa menyiksanya karena dia tidak dapat berangkat ke pekerjaan membosankan sekaligus tempat menyembunyikan diri dari keluarga yang menyebalkan. Kita juga sedang tersiksa karena hidup di dalam kondisi tidak menentu, kita tersiksa karena tidak dapat keluar rumah untuk duduk di kedai kopi favorit melamunkan hal-hal yang tidak penting, kita tersiksa karena menyayangkan pakaian yang menumpuk sia-sia di dalam lemari, kita tersiksa karena harus olahraga di rumah di antara wadah pakaian kotor dan kabel listrik yang saling melilit, kita tersiksa karena hanya dapat menumpukan harapan terhadap mereka yang membuat regulasi, kita tersiksa karena tidak lagi dapat meraba hari esok, kita tersiksa karena orang yang kita sayang harus tetap bekerja di lingkungan yang beresiko, kita tersiksa karena harus sendirian selama 24 jam sehari di dalam apartemen yang sempit, kita tersiksa karena kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal secara bersamaan, kita tersiksa membaca gempuran informasi yang meningkatkan rasa putus asa, kita tersiksa karena tidak lagi memiliki jarak dan ruang privasi dari keluarga, kita tersiksa dengan semua keterbatasan yang kita miliki untuk membantu orang yang membutuhkan, kita tersiksa karena tinggal bersama pasangan yang selalu menyakiti baik fisik dan mental, kita semua sedang tersiksa, tersiksa dengan alasan masing-masing yang tidak membutuhkan validasi orang lain.
Siksaan-siksaan yang sedang kita alami adalah sebuah pertanda, bahwa kita sedang melalui sebuah proses metamorfosis besar-besaran. Karena manusia memang ditakdirkan menjadi makhluk hidup yang harus selalu berubah, walaupun tidak selalu menuju ke arah yang lebih baik, dan semoga saja tidak ikut-ikutan menjadi kecoa seperti Gregor Samsa.
Siksaan-siksaan yang sedang kita alami adalah sebuah pertanda, bahwa kita sedang melalui sebuah proses metamorfosis besar-besaran.