Mengikuti perkembangan zaman sepertinya sekarang ini sedikit terasa tidak mungkin jika harus menghapus media sosial dari kehidupan kita. Apalagi untuk keperluan bisnis-bisnis tertentu yang memang membutuhkan media sosial sebagai ruang pemasaran. Hanya saja semakin berjalannya waktu banyak orang yang akhirnya masuk ke dalam lubang hitam media sosial. Secara tidak sadar terhisap dalam lautan konten di dalamnya dan seolah terhipnotis terus menggeser layar telepon pintar. Dari yang tadinya berpikir cuma akan 15 menit ternyata sampai satu jam. Lalu kita malah lalai dan membuang waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif.
Hubungan saya dengan media sosial sebenarnya di garis tipis perbatasan benci dan cinta. Dengan segala fitur dan kemudahannya, media sosial sangat membantu saya mengembangkan pekerjaan, memberikan banyak inspirasi. Tapi sisi gelapnya seringkali saya merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan namun tidak membuat saya merasa nyaman sesudah melihat konten-konten di dalamnya. Bahkan dulu saking merasa berlebihan konsumsi saya pernah menghapus akun media sosial di telepon genggam. Momen itulah saya tahu ternyata media sosial bisa berdampak buruk pada kesehatan mental jika kita tidak menyadari secepatnya dan tidak berpikir dan bertindak bijak ketika menggunakan.
Seringnya media sosial secara tidak sadar dijadikan pelarian. Contohnya ketika kita tahu akan bekerja seharian dan tidak punya waktu untuk melihat satu-dua konten, tiba-tiba justru kita malah membuka media sosial. Melarikan diri dari kenyataan bahwa harus segera fokus pada pekerjaan. Akhirnya malah menunda tugas dan justru mengurangi produktivitas. Saya pernah pada fase “kehilangan” arah gara-gara konsumsi media sosial berlebih. Tadinya tujuan saya eksplorasi media sosial hanyalah untuk hiburan tapi terntaya malah merasakan emosi tertentu setelah melihat konten orang lain. Dalam pikiran saya mulai mengomentari isi kontennya. Lambat laun suara dalam hati saya pun semakin gusar seakan ingin mengeluarkan kalimat negatif. Kemudian sesaat saya tutup akun aplikasinya, saya sadar dampak buruk media sosial berpotensi sekali membuat manusia stres.
Seringnya media sosial secara tidak sadar dijadikan pelarian.
Secara otomatis kita manusia pasti akan bereaksi saat melihat konten yang memunculkan argumen dalam diri. Dan itu wajar. Makanya kita yang harus amat bijak mengetahui persis kapan waktu yang tepat memulai dan kapan mengakhiri. Terlebih lagi, kita harus pintar-pintar membangun kepercayaan diri, kecintaan, dan kebanggan pada diri sendiri sebelum terjun ke dalam kolam posting. Mudah sekali untuk membandingkan diri dengan orang lain di sana. Kalau kita belum bisa berpikir bahwa hidup semua orang berbeda dan tidak perlu kita menginginkan apa yang mereka tunjukan di publik, saya rasa kita belum siap menggunakan media sosial. Itulah yang saya alami. Oleh karenanya belakangan tidak jarang saya menjauhkan smartphone di luar jangkauan bila perlu fokus pada pekerjaan atau waktu-waktu bersama keluarga dan pasangan. Begitu pula saat tidur. Sebisa mungkin saya tidak menaruh telepon genggam di dalam kamar agar tidak terganggu dengan segala notifikasi yang bisa membangunkan. Saya rasa itu jalan yang cukup memaksa kita memahami kapan harus putus kontak sebentar dengan media sosial. Sebab meskipun kini sudah ada fitur yang dapat mengatur untuk membatasi penggunaan aplikasi media sosial kita pasti akan tetap mudah untuk kembali lagi.
Akan pemahaman tentang media sosial ini pun saya dengan tim Monstore dan Maika mengambil tema media sosial untuk menyampaikan pesan kesehatan mental di Humanize Us lewat ekshibisi dan instalasi seni. Satu dan lain hal kami merasakan hal yang sama ketika menjelajah media sosial. Pengalaman-pengalaman menyenangkan dan kurang menyenangkan ketika berinteraksi di dunia maya. Instalasi pun kami buat seperti perjalanan hidup manusia di mana pengunjung dibawa menikmati setiap ruang untuk menafsirkan pengalaman mereka sendiri, untuk kembali berkontemplasi. Bahwa era sosial jaman sekarang begini adanya dan tinggal kita bagaimana sebagai manusia menanggapinya.
Pada ruang instalasi The Origin, misalnya, di sana menampilkan gambaran manusia yang masih polos dan jujur, belum bersentuhan dengan kehidupan sosial di sekitarnya. Diikuti dengan ruang The Exaggeration di mana terdapat banyak cermin selayaknya menyampaikan inisiatif merefleksikan diri apakah ingin kejujuran atau bukan yang disajikan lewat media sosial. Dilanjutkan ke ruang ketiga, The Emphaty. Ruangan ini bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwa adanya evolusi sosial yang terjadi di masyarakat dari kedatangan media sosial. Interaksi di dalamnya mengantarkan kita pada pandangan yang sempit dan tak terukur. Setiap ruang instalasi sengaja dibuat demikian untuk mempertemukan masyarakat dengan pertempuan sosial dirinya sendir. Pada akhirnya di ruang The Honesty dan The Society di mana manusia dipertemukan kembali pada esensi hidup, pada kejujuran perasaan dan emosi, itulah saat manusia mengakhiri perdebatan sosial untuk mencapai ketenangan. Besar harapan saya inisiatif-inisiatif kecil ini dapat membantu masyarakat untuk kembali berkontemplasi pada kehidupan yang semakin marak dengan kebisingan yang tidak perlu. Sehingga kita tidak mudah menyerah pada emosi-emosi negatif yang dapat merusak jiwa.