Diet itu bisa dibilang seperti layaknya pacaran. Untuk tahu diet apa yang paling cocok untuk tubuh, kita perlu mengenali diri sendiri seperti masa pengenalan di awal pacaran. Untuk sampai di jenjang yang lebih serius tentu saja kita perlu mengetahui kekurangannya, kelebihannya, hingga akhirnya mengenal betul dan akhirnya yakin dialah orang yang tepat.
Kadang prosesnya lama dan tidak masalah. Salah-salah justru sesuatu yang terjadi instan malah tidak berbuah baik. Sebelum kita akhirnya menentukan satu pola makan yang cocok untuk tubuh, sebaiknya kita membebaskan pikiran dari tekanan tertentu. Seperti membuat tujuan besar dari diet itu sendiri adalah untuk sehat dalam waktu panjang. Sehingga kita harus menghargai prosesnya. Tidak bisa dengan memasang target yang tidak realistis seperti keinginan turun 10 kg dalam waktu satu bulan. Gol yang tidak rasional hanya akan membuat tubuh merasa tertekan dan akhirnya menyerah.
Gol yang tidak rasional hanya akan membuat tubuh merasa tertekan dan akhirnya menyerah.
Saya memang bukan ahli gizi atau praktisi kebugaran. Tapi saya mengalami betul proses panjang menemukan pola makan yang tepat untuk tubuh hingga kini tidak lagi perlu takut untuk makan apapun. Setelah hamil saya merasa kesulitan untuk mengembalikan berat badan ke ukuran semula. Sekitar tujuh tahun lalu belum banyak tren diet atau restoran dengan menu sehat seperti sekarang. Awalnya saya hanya penasaran, “Masa tidak ada cara yang lebih nyaman untuk menurunkan berat badan? Masa harus selalu kelaparan untuk kurus?” Lalu lama-kelamaan rasa penasaran tersebut menuntun saya pada riset dan percobaan akan segala jenis diet yang ada. Seiring berjalannya waktu saya mendapati ternyata tidak semua cara diet itu bisa diaplikasikan pada semua orang. Banyak dari kita selalu ingin melewati jalur cepat. Saya juga menemukan bahwa mengeliminasi satu bahan makanan selamanya tidak akan baik untuk tubuh. Contohnya diet yang menganjurkan hanya makan hidangan yang mengandung lemak saja. Bukannya justru akan menimbulkan penyakit lain, sakit jantung misalnya?
Pada dasarnya, tubuh kita hanya perlu makan besar dua kali sehari. Tetapi bukan berarti kita bebas menjejali tubuh dengan makanan apapun setiap kali makan. Utamanya adalah harus punya kesadaran dulu atas kebiasaan makan kita. Tidak perlu harus empat sehat lima sempurna setiap sekali makan. Tapi paling tidak satu dari dua kali makan tersebut ada porsi lengkap dengan karbohidrat, protein, lemak, sayur, dan buah. Yang sering terjadi adalah kita tidak sadar bahwa apapun yang masuk lewat mulut sudah terhitung makan. Kita sering menganggap remeh soal camilan. Merasa camilan yang tidak mengenyangkan perut tidak berpengaruh apa-apa. Padahal kalori dua gelas boba tea dalam satu hari sama saja dengan sepiring nasi padang. Ketidaksadaran kita pada apa yang dikonsumsi sebenarnya membuat kita tidak menghargai dan mencintai tubuh. Kadang makanan yang sudah terbilang sehat dengan bahan-bahan yang mengandung nol kalori saja masih bisa terhitung tidak sehat karena digoreng menggunakan minyak goreng kelapa sawit.
Ketidaksadaran kita pada apa yang dikonsumsi membuat kita tidak menghargai dan mencintai tubuh.
Bagi sebagian orang mungkin menghitung setiap kalori dalam makanan bisa jadi amat menyusahkan. Tapi inilah bagian dari proses. Jika sudah jadi kebiasaan pasti nanti di luar kepala. Apalagi sekarang sudah banyak sekali aplikasi yang dapat membantu kita menghitung kalori. Memudahkan untuk mengendalikan seberapa banyak sebaiknya makanan yang kita konsumsi dan seberapa banyak kalori yang harus dibuang. Dulu pun saya merasa demikian. Sekarang secara otomatis saya sudah langsung menentukan makanan apa yang harus dimakan di malam hari jika saat siang makan nasi padang.
Berawal dari kesadaran yang kita tanamkan ke dalam diri perlahan kita belajar kandungan apa yang bisa membuat bobot cepat naik. Mana yang membuat tubuh terasa ringan. Semua tentang mengenali tubuh sendiri. Nantinya kita juga bisa lebih mudah membedakan sinyal lapar atau sekadar nafsu. Mengerti bagaimana menahan diri, seberapa banyak porsi yang diambil, dan kapan harus berhenti. Sama saja seperti ketika kita melakukan hal lain dalam hidup, bukan? Kadang kita harus berpikir sejenak sebelum memutuskan sesuatu. Mempertanyakan langkah yang akan diambil. “Haruskah saya makan hidangan itu?” “Kenapa harus?” Semakin sering kita memberikan jeda dan memproses pertimbangan, semakin peka kesadaran kita untuk membedakan apa yang sekadar ingin dan apa yang dibutuhkan tubuh.