Adakalanya, kepala seorang penulis macet, menyebabkan kata terhambat mengalir dari jarinya. Tapi, meski tak selalu mudah, tentu ada cara membuka sumbatan itu.
Menulis adalah sebuah proses yang sangat berbeda bagi satu orang dengan orang lainnya. Bagiku, menulis merupakan hobi menyenangkan yang aku lakukan saat memang sedang ada ide yang mengalir. Agak jarang aku memaksakan diri untuk mencari-cari ide. Aku membiarkan proses itu mengalir apa adanya. Aku mengasah kepekaan terhadap apa yang kulihat, kudengar, kubaca, dan kualami, karena biasanya percikan ide bisa lahir dari situ. Prosesnya sendiri tidak sistematis sama sekali. Aku hanya membiarkan ide itu mengalir satu per satu saja. Aku bahkan tidak pernah menggunakan outline atau kerangka tulisan saat menulis, kubiarkan saja ceritanya mengalir sejalan dengan lahirnya inspirasi di dalam kepala.
Sejujurnya tidak ada proses kreatif terutama menulis yang berjalan mulus tanpa hambatan, pasti ada saja tantangan yang hadir seperti kebuntuan inspirasi, ide yang lantas kuanggap kurang matang, konflik yang kurasa kurang tajam. Ini merupakan bagian yang wajar dalam proses berkarya. Siapa pun, sangat bisa mengalami ini. Menulis selalu punya tantangan. Bagiku, tantangan itu salahnya satunya adalah tekanan dari diri sendiri untuk dapat terus berkarya lebih baik, menguasai teknik storytelling yang lebih baik, penguasaan diksi yang lebih baik, dan sebagainya. Itu sebabnya, menurutku, terus belajar sambil berkarya merupakan sebuah langkah penting yang perlu dilakukan seorang penulis. Proses pembelajaran itu pula yang menjadikan diriku ‘terus hidup’ sebagai penulis.
Writer’s block atau kebuntuan menulis, tentu pernah dialami semua penulis. Tak terkecuali aku. Hampir di setiap buku yang kutulis sejauh ini, bahkan penulisan naskah film yang sedang aku kerjakan, selalu ada masa ketika aku belum bisa lanjut ke bagian berikutnya karena menurutku konsepnya belum matang. Hal yang biasa kulakukan dalam keadaan seperti itu adalah ‘memasak’ ide hingga lebih matang terlebih dahulu di dalam kepala, termasuk memainkan adegan demi adegan dalam cerita, mencoba berbagai angle penceritaan sampai kemudian menemukan formula dan angle yang paling pas untuk menyampaikan level emosional yang aku ingin bisa dirasakan oleh pembaca. Jika terasa belum matang, aku tidak akan menuangkannya ke atas kertas.
Selain itu, aku juga selalu berusaha memiliki sumber inspirasi tentu dengan memperkaya pengalamanku termasuk lewat bacaan, tontonan, komunikasi, dan perjalanan. Melakukan riset lebih mendalam baik dengan melalui referensi bacaan maupun berbincang dengan narasumber juga bisa menjadi cara lain yang bisa dicoba untuk mengatasi writer’s block ini. Dalam menulis, sumber inspirasi itu sebenarnya bisa datang dari mana saja. Dari berbagai kejadian dalam kehidupan kita sehari-hari, atau dari interaksi kita dengan orang lain atau sebuah peristiwa. Tentu makin exciting hidup kita dan makin terpapar kita pada banyak karya – mulai dari musik, film, buku, lukisan, drama, dan banyak lagi – maka makin kaya juga isi kepala dan hati kita untuk bisa ‘dimasak’ menjadi ide.
Jadi, sepanjang kita selalu mau berusaha menemukan sumber-sumber inspirasi tersebut, writer’s block itu sama sekali tak perlu dikhawatirkan. Kebuntuan ide itu, mungkin saja hanya rajukan pikiran dan tubuh kita untuk beristirahat sejenak karena dia sudah lelah. Berhenti dulu, mengambil jeda, melakukan hal yang menyenangkan hati, pasti akan memberi kita waktu kesempatan untuk menyegarkan lagi pikiran. Seperti mesin yang bisa ‘hang’ bila terus menerus digunakan, pikiran dan ketahanan tubuh seorang penulis tentu saja bisa ‘hang’ juga. Biarkan pikiran beristirahat dulu. Dengarkan tubuh. Pasti tubuh kita akan berterima kasih dengan segera berlari manakala kita mulai menulis lagi.
Kebuntuan ide itu, mungkin saja hanya rajukan pikiran dan tubuh kita untuk beristirahat sejenak karena dia sudah lelah.