Tempat tinggal adalah tempat hidup. Baik-buruknya, mau tidak mau, suka tidak suka harus ditelan sebab di sinilah kita melakukan segalanya. Dari survival sampai self-actualization. Sejak kecil, saya tinggal di sebelah selatan Jakarta. Namun, saya baru benar-benar merasa “hidup” di Jakarta sejak kuliah. Dulu saya bersekolah di daerah Parung yang praktis membuat saya tidak pernah merasakan benar-benar bagaimana cepat dan terhubungnya Jakarta sehari-harinya. Sewaktu akhirnya mengalami itu, saya pun terkesima dan merasa tertantang untuk bisa bertahan dan jadi bagian dari arus kota yang amat besar ini.
Tempat tinggal adalah tempat hidup. Baik-buruknya, mau tidak mau, suka tidak suka harus ditelan sebab di sinilah kita melakukan segalanya.
Saya selalu merasakan adanya kesan bahwa orang-orang tinggal dan bertahan di Jakarta hingga mereka bisa mengupayakan (baik secara emosional dan material) keluar dari ibu kota. Pada titik tertentu, sebenarnya kota ini memang sudah pada tingkatan yang kurang manusiawi untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Banyak sekali faktor yang membuatnya menjadi tempat yang sudah kurang layak untuk hidup, tidak nyaman untuk tinggal atau membesarkan keturunan. Salah satunya adalah faktor populasi. Kepadatan penduduk yang sudah melewati batas rasanya membuat kota ini tak lagi nyaman. Akibat dari masalah ini pun banyak. Misalnya waktu untuk dirinya sendiri yang sedikit karena penduduknya hanya punya sedikit waktu. Akhirnya, kesempatan untuk berkembang jadi terbatas.
Harus diakui memang, Jakarta adalah episentrum kehidupan negara ini. Di atas kertas, segala hal yang mau dicapai siapapun memang ratusan kali lebih dekat dilihat dari lokasi. Urusan berhasil atau gagal adalah urusan belakangan. Menurut saya, kalau Jakarta sudah tidak lagi jadi episentrum negara ini, dengan kata lain kalau sudah tidak terlalu penuh, sudah tidak terlalu cepat, tidak terlalu sibuk, dan sebagainya, barulah ia bisa jadi tempat yang nyaman untuk menjadi tempat tinggal. Ini juga bisa berarti bahwa kalau kota ini sudah lebih manusiawi.
Semua orang di Jakarta bisa punya kemewahan yang berupa kesempatan untuk menyia-nyiakan kota ini. Jadi sebenarnya, kita harus menyadari betul apakah yang kita lakukan di sini sebenarnya hanyalah untuk take it for granted. Tapi memang perlu juga kita akui bahwa berada di Jakarta berarti harus bisa terus mencari cara bertahan hidup. Survival of the fittest. Ini sangatlah berlaku dan mungkin berada di Jakarta konsep ini berkali-kali lipat lebih keras harus diupayakan. Bisa dibilang, ini adalah kesimpulan saya tentang Jakarta setelah merasa tertantang untuk bisa bertahan di ibu kota.
Jadi sebenarnya, kita harus menyadari betul apakah yang kita lakukan di sini sebenarnya hanyalah untuk take it for granted.
Kalau ingin bertahan, saya meyakini kita harus sebisa mungkin memasang “kacamata kuda”. Kapanpun, di manapun. Jika kita mau bertahan hidup dan terus berjuang, kita harus tetap fokus kepada tujuan yang ingin dicapai tanpa melihat orang di kanan kiri sudah sejauh apa. Kalau tidak, kita tidak akan maju dan mungkin saja terlindas dengan kemajuan kota ini.
Jika kita mau bertahan hidup dan terus berjuang, kita harus tetap fokus kepada tujuan yang ingin dicapai tanpa melihat orang di kanan kiri sudah sejauh apa.