Resilience. Itu adalah kata favorit saya dalam bahasa Inggris. Cambridge Dictionary menjabarkan kata tersebut sebagai kemampuan untuk bisa kembali bahagia, berhasil, atau bangkit setelah mengalami rintangan atau kesusahan dalam hidup. Kata tersebut juga menggambarkan sifat kelenturan pada sebuah benda setelah ditekan atau dibengkokan ke berbagai arah. Benda itu akan kembali ke sifatnya yang semula: utuh, tanpa tanda.
Walau saya menyukai kata tersebut, resilience belum sepenuhnya menjadi kemampuan saya. Orang-orang sering bilang bahwa “gagal adalah hal yang biasa”. “Kegagalan akan disusul dengan keberhasilan. Gagal hari ini belum tentu gagal besok”. “Jangan sedih, hati kita bisa sembuh”.
Semua kata-kata itu membuat kita merasa lega sesaat. Membuat kita semangat menjalani hari. Kita sudah tahu sejak dulu, bahwa hidup kita tidak hanya berpusat pada kegagalan. Hari berganti, berbagai kegiatan menunggu diselesaikan. Jadi, mari sibukkan diri dan nantikan hari esok.
Tapi, menyibukkan diri tidak selalu berujung pada hati yang kembali pulih. Saat tidak sibuk, bayang-bayang kegagalan itu bisa melemahkan kita. Saat akan beristirahat, bayang-bayang kegagalan itu membuat kita ragu. Bagaimana caranya agar bisa bangkit lagi? Bagaimana jika gagal lagi setelah ini?
Keraguan adalah serangkaian pertanyaan yang menahan diri kita untuk pulih. Mereka yang memiliki resilience tadi bukannya tidak pernah merasa ragu. Mereka tahu rasa sakit yang ditimbulkan kegagalan. Tapi keraguan itu mereka kendalikan dan tidak mereka biarkan berlama-lama dalam hati mereka.
Saya mengamati dan bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa melupakan kegagalan yang mereka buat dan kembali seperti semula? Bagaimana mereka bisa kembali tertawa setelah semua rencana yang mereka buat hancur berantakan? Bagaimana mereka bisa tersenyum lebar walau keberhasilan belum pasti datang?
Mereka dengan resilience yang besar memiliki sebuah sikap yang penting: lapang dada. Sikap ini membuat mereka paham bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa mereka kendalikan.
Bagi mereka, kegagalan adalah cara merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil. Kegagalan adalah keberhasilan mereka untuk menjadi lebih rendah hati di kali berikutnya. Kegagalan membuat mereka berhasil menjadi lebih bijaksana, atau membuat mereka lebih berpikir sebelum berbicara.
Mereka melihat kegagalan sebagai persiapan mereka untuk menerima keberhasilan. Mereka menerima kegagalan bukan sebagai bayang-bayang, tetapi sebagai sahabat yang mereka rangkul. Sikap lapang dada inilah yang membuat mereka menjadi lebih tenang, lebih kuat, dan percaya diri bahwa keberhasilan akan datang. Sikap ini membuat mereka berfokus pada hal-hal penting, bukan hanya sekadar mencari distraksi.
Mereka dengan resilience yang besar sangat percaya bahwa tidak ada yang salah untuk mencoba sekali lagi. Tidak ada usaha yang benar-benar sia-sia, karena hasil yang baik pasti akan datang.
Bagi mereka, usaha yang berujung pada kegagalan itu tampak seperti ombak yang sedang ditarik laut. Seolah-olah semua usaha kita menghilang tanpa jejak dan hanya meninggalkan kaki kita dengan pasir yang basah. Tapi, ombak selalu kembali ke pantai. Hal-hal baik milik kita yang pernah ‘terbuang’ karena kegagalan kita, pasti akan kembali lagi. Mungkin dengan keadaan yang jauh lebih baik.
Resilience bukanlah kemampuan yang mudah didapatkan. Kita perlu lapang dada dan rendah hati menerima kegagalan, dan meyakini bahwa semua hal baik akan segera datang kembali. Semua itu tidak datang dengan cepat, sehingga mereka yang memiliki resilience juga pasti memiliki rasa sabar yang cukup untuk selalu percaya.
Namun, sesuatu yang tidak mudah didapatkan bukan berarti mustahil didapatkan bukan? Resilience ada dalam diri kita selama kita belajar untuk lapang dada. Saya pun tidak sabar ingin mendapatkannya.