Self Health & Wellness

Puasa, Momentum Sehat Lahir Batin

Inge Tumiwa-Bachrens

@ingetumiwa_bachrens

Praktisi Gaya Hidup Sehat

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Usai menjalankan puasa setidaknya 14 jam menahan lapar dan haus, orang pada umumnya menanti saatnya berbuka untuk kemudian 'balas dendam'. Rupa-rupa hidangan di meja makan dilahap habis, secitra dengan bayangan pada saat lapar sepanjang hari. Berbuka menjadi momentum yang sangat dinanti-nantikan dibanding menikmati dan menghayati proses puasa itu sendiri.

Gencarnya kampanye marketing dan gaya hidup modern yang serba cepat mendorong pola berbuka puasa dengan yang serba mudah dan instan. Bulan puasa menjadi ajang saling menunjukan makanan siapa yang paling “wah”. Kita rela mengantri dari pukul 17.00, dan setelah berbuka, bisa berlama-lama duduk ngobrol bersama teman yang mungkin sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Setelah itu kekenyangan karena semua dengan lahap kita konsumsi. Usai berbuka biasanya kita justru ngobrol alih-alih beribadah bersama.

Konsentrasi bulan puasa kini berpindah ke skena kuliner. Kuliner dan gaya hidup manusia modern. Makanan menjadi alat pemenuhan emosi dan status sosial, termasuk di dalamnya konten untuk media sosial dan sosialisasi. Bahwa kalau berbuka di restoran tertentu akan menjadi keren dan mendongkrak status sosial. Tentu beda jika dibanding berbuka dengan tiga buah kurma dan air putih lalu kita posting di Instagram, apa kerennya? Di dunia modern ini fungsi makanan sudah bergeser. Tidak terkecuali di saat Ramadan. Yang tadinya berbuka puasa dengan sesuatu yang sederhana, kini pengeluarannya justru berlipat ganda.

Di dunia modern ini fungsi makanan sudah bergeser. Yang tadinya berbuka puasa dengan sesuatu yang sederhana, kini pengeluarannya justru berlipat ganda.

Sayang sebenarnya. Puasa padahal bisa menjadi kesempatan untuk kembali sehat lahir dan batin. Kembali ke filosofi dasar manusia: makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Makan supaya badan bisa berfungsi dengan baik agar bisa menjalankan hidup dengan baik. Untuk bekerja, berkarya, mengurus anak, kita perlu bahan bakar agar badan bisa berfungsi dengan baik. Agar tubuh tidak mudah stres.

Makanan menjadi alat pemenuhan emosi dan status sosial, termasuk di dalamnya konten untuk media sosial dan sosialisasi.

Sebaiknya tidak makan berlebihan dengan nutrisi yang tidak seimbang, apalagi saat berbuka puasa. Organ-organ tubuh kita yang sudah seharian puasa harusnya mendapatkan gizi yang lebih baik dari makanan yang baik. Kita pada umumnya justru tidak. Setelah istirahat seharian, dibersihkan selama seharian, begitu bedug berbunyi, tubuh justru dihajar dengan gula dan gluten. Pencernaan akan menangis karena harus kerja berat lagi.

Menghindari craving atau makan berlebihan saat berbuka sebenarnya sangat mudah. Dimulai saat sahur. Sahur sebaiknya tetap makan dengan komposisi seimbang yang terdiri dari karbohidrat kompleks, sayuran yang banyak, dan protein. Komposisi yang paling mudah adalah setengah piring sayuran, seperempat piring karbohidrat, dan seperempatnya lagi protein. Dengan komposisi ini niscaya kita akan tahan menjalankan puasa sepanjang hari. Namun perlu juga diingat harus tetap minum air yang cukup. Pemenuhan air juga bisa dibantu dengan sayuran yang mengandung banyak air seperti mentimum dan selada.

Puasa bisa menjadi kesempatan untuk kembali sehat lahir batin. Kembali ke filosofi dasar manusia: makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.

Apakah asupan makanan saja sudah cukup? Tentu tidak. Kita tetap harus bergerak, beraktivitas, terpapar sinar matahari, dan olahraga. Olahraga yang dimaksud tentu saja yang ringan. Tidur seharian selama puasa juga sebenarnya bukan aktivitas yang dianjurkan.

Saat berbuka sebaiknya jangan langsung mengudap makanan yang bisa menaikkan gula darah secara drastis, dalam waktu cepat juga bisa menurunkan gula darah dengan drastis karena inilah pemicu craving. Cara terbaik untuk berbuka puasa adalah minum air putih hangat supaya pencernaan tidak kaget. Bisa dilanjutkan kemudian dengan mengudap makanan manis. Kalau Sunnah Rasul itu makan kurma tiga biji. Kurma sebenarnya berkadar gula tinggi, tapi di dalam kurma itu mengandung serat yang menyebabkan pelepasan gula dalam darah tidak drastis.

Perlu diingat, setelah makan kurma, tidak juga dianjurkan makan kolak manis, lalu es teler, atau sirup beraneka rasa. Itulah yang membuat gula darah kita naik dengan cepat. Usai makan kurma biasanya dilanjutkan dengan sholat lalu makan malam. Saat makan malam sebisa mungkin tetap menerapkan komposisi makanan seimbang yang kita terapkan di sahur. Jangan lupa juga minum air putih. Pada saat puasa sebisa mungkin perbanyak sayur yang mengandung banyak air karena badan akan kekurangan air seharian.

Tibalah saat sholat tarawih. Di saat-saat ini biasanya serat sayur dan kabohidrat kompleks itu akan dicerna pelan-pelan dalam tubuh kita. Dengan demikian tidak ada craving. Sekitar jam 22.00 mungkin akan timbul rasa lapar sedikit. Kita dapat mengudap pisang, kurma, atau semangkuk salad.

Dengan demikian, seturut pengalaman saya selama sembilan tahun menjalani puasa sehat justru biasa-biasa saja, tidak ada cerita lemas, craving, sakit perut, kram, atau maag kambuh. Hal itu karena bahan makanan yang dimakan tidak mengandung toksin, makan tidak berlebihan, gula darah terkontrol. Jika kita menjalankan puasa dengan cara yang benar, puasa itu akan membawa banyak manfaat, baik untuk pemulihan tubuh maupun secara emosional.

Related Articles

Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024
Card image
Self
Pendewasaan dalam Hubungan

Pendewasaan diri tidak hadir begitu saja seiring usia, melainkan hasil dari pengalaman dan kesediaan untuk belajar menjadi lebih baik. Hal yang sama juga berlaku saat membangun hubungan bersama pasangan.

By Melisa Putri
06 April 2024