Tanda koma bukan tanda titik yang mewajibkan kita berhenti. Ialah tanda yang secara halus mengingatkan kita untuk memelankan kecepatan, mengajak kita untuk beristirahat, mengambil jeda, dan kembali melanjutkan sapuan mata melaju untuk membaca rentetan aksara yang terdapat setelahnya. Ia tidak memaksa berhenti, namun hanya meminta kita melambatkan kecepatan.
Apa maksud dibalik dari melambatkan kecepatan? Ia mengajak kita merasa. Saat kita tengah menikmati seni atau apapun itu yang menstimulasi indera kita, baik buku, film, musik, lukisan, tari, fotografi, dan lain sebagainya, kita harus memelankan diri untuk dapat sepenuhnya menyerap makna dan esensi suatu hal tercipta. Saat kita bergerak cepat, apakah mungkin bagi kita untuk menikmatinya secara penuh dan sadar?
Dunia kini seolah bergerak sangat cepat dengan adanya perkembangan teknologi digital. Di satu sisi, kemajuan ilmu pengetahuan ini sangat dibutuhkan. Namun di sisi lain, kecepatan ini pula secara tidak kita sadari selalu menuntut diri kita untuk selalu bergerak – dengan ritme yang diharapkan cepat pula. Implikasi kecepatan ini juga turut terefleksi dalam konten media yang kita peroleh. Saat ini, kita lebih banyak terpapar dengan beragam konten yang belum tentu dapat dinikmati sepanjang waktu. Kualitas konten yang aktual dan long lasting menjadi sulit didapat. Padahal, di saat kita menghabiskan waktu kita untuk mencerna suatu narasi, di saat itu pulalah kita tengah mendapat kesempatan untuk memperkaya diri kita secara keseluruhan. Oleh karenanya, melalui Comma Books, divisi penulis muda dibawah Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia yang saya naungi, kami ingin mengingatkan, mulai dari diri kami sendiri lalu orang lain, kadangkala kita butuh ‘tanda koma’ di hidup kita, yang akan lebih baik bila diisi dengan hal-hal yang akan memberi makan tubuh, pikiran, serta jiwa kita.
Mungkin kita telah mendapati, bila saat ini, kita cenderung merasa mendapat tuntutan untuk selalu diburu-buru. Mulai dari diburu-buru secara fisik seperti mengejar waktu dalam perjalanan, secara mental dengan terus bekerja karena bila tidak rasanya tidak produktif, hingga diburu-buru secara emosional dimana kita tidak boleh lama-lama sedih atau marah. Emosi-emosi yang demikian seolah harus lekas diatasi untuk sejumlah alasan seperti profesionalisme pekerjaan, pencitraan, hingga masih banyak lagi. Itu bukan hal yang mudah. Oleh karenanya, banyak orang yang mencari ketenangan dan katarsis di sastra, dimana mereka bisa tenggelam dan mendapat kedamaian dalam buai tulisan. Jujur, saat kita sedih, ada kalanya kita memilih menyendiri dan menikmati bacaan yang kita sukai dan menentramkan, bukan?
Spektrum emosi sendiri sebenarnya sangat banyak, dan tiap orang pasti memiliki definisi akan hal yang membuatnya merasa tenang. Ada mereka yang mencari ketenangan dengan membaca buku spiritual, ada pula yang memilih membaca buku dengan tema penerimaan yang lebih umum atau justru beberapa praktik kehidupan yang dapat dijadikan panduan. Banyak sekali. Oleh karenanya, dalam konteks buku, kisah yang ditawarkan pun sudah pasti akan sangat beragam untuk mampu mengakomodasi kebutuhan penentraman diri yang diharapkan pembaca. Untuk mendapatkannya, para penulis dan editor Comma umumnya memilih karya yang mengangkat sisi emosional. Kami mencoba merasakan setiap sudut spektrum kedamaian yang mungkin diraih.
Sebuah buku layak memosisikan diri sebagai teman, yang mampu mengajak seseorang menaruh tanda koma dalam hidupnya, untuk memberi waktu kedamaian walau mungkin sekejap, agar membuat mereka kembali merasa. Layaknya pembaca yang membaca suatu karya, para penulis pun akan merasa damai saat menuangkan curahan pikirannya pada lembaran-lembaran bercetak tinta. Bahwa ketika penulis menutup tulisannya, bisa jadi mereka juga menutup suatu bab dalam hidupnya sendiri yang mampu membuat dirinya merasa lebih baik. Terlepas peran penulis atau pembaca yang sedang dimainkan, saat sebuah buku ada dalam genggam tangan serta cengkram pikiran, di sanalah sebuah tanda koma sebenarnya tengah disisipkan – untuk hidup dan kesadaran kita merasa.